Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Layak-kah Ridho Illahi Sujud di Tengah Kehancuran?

7 Desember 2024   08:44 Diperbarui: 8 Desember 2024   07:06 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen  |  Layak-kah Ridho Illahi Sujud di Tengah Kehancuran ?

DikToko
Soetiyastoko

Kabut pagi masih menggantung saat Tamini Ridho memarkir mobilnya di halaman gersang sebuah penjara. 

Pintu besar dari besi berderit pelan ketika seorang lelaki paruh baya berjalan keluar.

Ridho Illahi, ayahnya, kini bebas setelah tiga belas tahun mendekam di balik jeruji besi.

Tiga belas tahun, waktu yang cukup untuk menumbuhkan seorang anak menjadi dewasa, cukup pula untuk menghancurkan kehormatan seorang manusia.

Tamini keluar dari mobil, mengenakan gamis sederhana dan kerudung berwarna lembut. Ia memandang ayahnya sejenak, lalu melangkah mendekat. "Mari, Pak," katanya singkat, tanpa senyum. Ia hanya memberikan anggukan kecil, membantu ayahnya membawa tas yang telah usang.

Ridho yang kaget dengan tampilan putrnya,tersenyum tipis, mencoba mengurai kecanggungan. 

"Kamu tumbuh besar, Min. Ayah hampir tidak mengenalimu."

Tamini hanya mengangguk, lalu membuka pintu mobil.

"Kita bicara di jalan saja, Pak."

Mereka melaju pelan meninggalkan kompleks penjara. Di dalam mobil, suasana hening membungkus. Ridho beberapa kali melirik putrinya yang serius menyetir. Tangan Tamini kokoh di setir, wajahnya tegas namun memancarkan kelembutan seorang perempuan yang sudah melewati banyak badai.

"Tamini," Ridho akhirnya memecah keheningan.

 "Bagaimana kamu bisa bertahan selama ini? Dengan semua yang terjadi?"

Tamini menatap lurus ke jalan. Udara pagi mulai memanas, dan embun di kaca jendela perlahan menguap. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab,

 "Pak, aku bertahan karena belajar berlutut."

Ridho mengerutkan dahi.

 "Berlutut?"

"Berlutut dan sujud, Pak," jawab Tamini. Suaranya tenang, namun terdengar dalam. 

"Aku tahu, sesuatu yang tinggi tidak selalu dicapai dengan jinjit atau melompat. Terkadang, cara terbaik adalah dengan tunduk, menyerahkan semuanya kepada Allah."

Ridho terdiam, kata-kata itu seperti air dingin yang mengguyur hatinya.

"Tapi Tamini, Bapak sudah menghancurkan semuanya. Aku gagal menjadi ayah, gagal menjadi pemimpin. Aku---"

Tamini memotong, suaranya lebih tegas. "Pak, aku tidak akan membahas soal siapa yang salah. Tapi aku ingin Bapak tahu apa yang terjadi setelah Bapak masuk penjara."

Ridho Illahi memalingkan wajahnya ke jendela, melihat jalan yang dipenuhi kendaraan dan keramaian pasar pagi. Suaranya bergetar ketika berkata, 

"Aku ingin tahu, Tamini. Ceritakan padaku."

Tamini menggenggam setir lebih erat.

 "Setelah Bapak dipenjara, rumah kita dijual untuk membayar denda. Ibu sakit karena malu. Kawan-kawan yang dulu dekat dengan keluarga kita, semua menjauh. Tidak ada yang mau membantu, bahkan hanya untuk sekadar bicara."

Ridho memejamkan mata. Ia bisa membayangkan semuanya.

"Tapi, Pak," lanjut Tamini, "dalam keterpurukan itu, aku menemukan sesuatu. Aku sadar bahwa manusia tidak bisa mengandalkan apa pun selain Allah. Aku mulai bangun malam, berdoa, sujud, meminta kekuatan. Aku memohon agar Allah membimbingku melewati semua ini."

Ridho menelan ludah. "Dan Allah mendengar doamu?"

Tamini tersenyum tipis, meski matanya berkaca-kaca. "Tentu saja, Pak. Allah selalu mendengar hamba-Nya yang berdoa dengan tulus. Aku mulai bekerja. Apa saja yang halal, aku jalani. Aku menjadi guru les, menjahit, bahkan menjadi pelayan toko. Tidak mudah, tapi aku tahu, Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya."

Ridho merasa dadanya sesak. "Aku sudah menghancurkanmu, Tamini. Aku menghancurkan hidup kita. Tambang itu... izin yang kuberikan... semuanya salah."

Tamini menarik napas dalam. Ia berhenti di lampu merah, lalu menoleh sejenak pada ayahnya.

"Pak, Bapak memang salah. Ribuan petani kehilangan sawah mereka. Lingkungan hancur, anak-anak mereka tidak bisa sekolah karena orang tua mereka kehilangan mata pencaharian. Tapi aku percaya, tidak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni Allah.
Pertanyaannya, apakah Bapak mau bertaubat?"

Ridho terkejut dengan keberanian putrinya. Ia memandangnya, mencari kepastian di mata Tamini. "Apa kamu benar-benar percaya aku masih bisa berubah?"

"Percaya, Pak. Asal Bapak mau tunduk, mau bersujud, seperti yang aku lakukan selama ini. Allah berfirman dalam Surah Az-Zumar ayat 53: 'Katakanlah: Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.' Bapak hanya perlu memulai, memohon ampun, dan memperbaiki diri."

Ridho tidak bisa menahan air matanya. Ia menangis, sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sejak lama.

Tamini kembali menjalankan mobil saat lampu hijau menyala. 

"Pak, hidup adalah perjalanan. Tidak ada yang tahu kapan kita sampai di akhir. Tapi selama kita masih punya waktu, gunakanlah untuk hal-hal yang berarti."

Ridho mengangguk pelan. Di depan mereka, rumah lama yang kini terlihat usang mulai tampak. Ketika mobil berhenti, Tamini memandang ayahnya dengan lembut. "Pak, aku sudah melakukan bagianku. Sekarang, giliran Bapak. Mulailah dengan sujud. Allah selalu membuka pintu bagi siapa saja yang mau kembali."

Ridho memandang rumah itu, seolah melihat cermin hidupnya yang penuh kehancuran. Namun, di dalam kehancuran itu, ia menemukan secercah harapan. "Tamini," katanya dengan suara serak, "Terima kasih sudah menjadi anak yang lebih kuat dari ayahmu."

Tamini tersenyum. "Kekuatan itu bukan dari aku, Pak. Itu dari Allah. Aku hanya belajar menyerahkan semuanya kepada-Nya."

Ridho turun dari mobil, kakinya terasa berat. Namun, di hatinya, ia tahu perjalanan baru telah dimulai. Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, ia bertekad untuk menebus semua kesalahan dengan cara yang benar.

***

Kesimpulan:

Cerpen ini mengingatkan bahwa dalam setiap kehancuran, selalu ada peluang untuk memperbaiki diri. Seperti firman Allah dalam Surah Az-Zumar ayat 53, Allah tidak pernah menutup pintu taubat bagi siapa pun yang mau kembali kepada-Nya. Tamini menunjukkan bahwa dengan sujud dan berserah diri, manusia dapat menemukan kekuatan untuk menghadapi badai kehidupan.

***

Saran:

Setiap orang punya tanggung jawab menebar benih kebaikan, termasuk mencegah terjadinya perbuatan maksiat.

Seseorang melakukan pidana korupsi, karena pendidikannya telah gagal menginternalisasikan nilai-nilai keberagamaan sejak dini.

Agama kini  lebih banyak sebagai aktivitas seremonial dan status sosial belaka. 

Ceramah-ceramah  di Televisi hanya sampai sebatas sebagai tontonan belaka.
Nyaris tak terlihat memperbaiki akhlak khalayak.

Mari kita perbaiki , mulai dari diri sendiri. Tidak nyogok, tidak minta disogok. Tidak memanfaatkan celah menguntungkan diri sendiri, dengan korupsi.

Jangan pernah jadi maling.

_______

Pagedangan, BSD, Kab.Tangerang, Sabtu, 07/12/2024 08:15:00

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun