Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Serpihan Senyummu yang Hilang

26 Oktober 2024   01:53 Diperbarui: 26 Oktober 2024   02:58 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sinta menunduk. "Aku... Maaf, aku sudah memikirkannya matang-matang, Fadil. Kamu lelaki yang baik, sholeh dan tak pernah kurang ajar padaku, ... Tapi... aku butuh lebih dari sekadar cinta."

Fadil merasa dadanya sesak, seperti ada sesuatu yang pecah di dalamnya. Selama ini, ia mencintai Sinta dengan sepenuh hati, menganggap cinta dan kesetiaan cukup untuk membangun masa depan bersama. Namun kini sungguh beda kenyataannya, ada hal lain yang tak pernah ia pikirkan.

"Apa yang dia bisa berikan yang aku tidak bisa?" tanya Fajar, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang.

"Stabilitas, Fad ... Masa depan yang jelas. Aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian," jawab Sinta pelan.

Fadil terdiam, kata-kata Sinta menusuk hatinya. Semua janji, semua mimpi yang pernah mereka rajut, hancur seketika.

Layar 5: Perpisahan di Kereta

Fadil terkenang saat hari itu terakhir kali mereka bertemu di kereta. Dan ... Hari ini Fadil duduk diam, menatap pemandangan kota Jakarta yang berlalu cepat di balik jendela kereta. Sinta sudah tidak di sampingnya lagi, tidak ada senyum yang menyambutnya, tidak ada lagi janji-janji yang harus dipegang.

Tak ada yang mengingatkan  jenggot dan kumisnya sudah harus dicukur.


Di dompet Fadil, ada sepotong kenangan---foto mereka berdua saat SMA, tersenyum bahagia. Seakan sudah jadi serpihan . 

Senyum Sinta yang dulu selalu menguatkannya, kini hanya menjadi sisa masa lalu yang tak lagi berarti.

"Aku tak bisa gelar pesta megah untukmu, Sinta," gumam Fadil lirih, mengingat kembali puisi yang pernah ia tulis untuk Tinne. Teman-temannya demikian memanggilnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun