Sinta menunduk. "Aku... Maaf, aku sudah memikirkannya matang-matang, Fadil. Kamu lelaki yang baik, sholeh dan tak pernah kurang ajar padaku, ... Tapi... aku butuh lebih dari sekadar cinta."
Fadil merasa dadanya sesak, seperti ada sesuatu yang pecah di dalamnya. Selama ini, ia mencintai Sinta dengan sepenuh hati, menganggap cinta dan kesetiaan cukup untuk membangun masa depan bersama. Namun kini sungguh beda kenyataannya, ada hal lain yang tak pernah ia pikirkan.
"Apa yang dia bisa berikan yang aku tidak bisa?" tanya Fajar, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang.
"Stabilitas, Fad ... Masa depan yang jelas. Aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian," jawab Sinta pelan.
Fadil terdiam, kata-kata Sinta menusuk hatinya. Semua janji, semua mimpi yang pernah mereka rajut, hancur seketika.
Layar 5: Perpisahan di Kereta
Fadil terkenang saat hari itu terakhir kali mereka bertemu di kereta. Dan ... Hari ini Fadil duduk diam, menatap pemandangan kota Jakarta yang berlalu cepat di balik jendela kereta. Sinta sudah tidak di sampingnya lagi, tidak ada senyum yang menyambutnya, tidak ada lagi janji-janji yang harus dipegang.
Tak ada yang mengingatkan  jenggot dan kumisnya sudah harus dicukur.
Di dompet Fadil, ada sepotong kenangan---foto mereka berdua saat SMA, tersenyum bahagia. Seakan sudah jadi serpihan .Â
Senyum Sinta yang dulu selalu menguatkannya, kini hanya menjadi sisa masa lalu yang tak lagi berarti.
"Aku tak bisa gelar pesta megah untukmu, Sinta," gumam Fadil lirih, mengingat kembali puisi yang pernah ia tulis untuk Tinne. Teman-temannya demikian memanggilnya.Â