Layar 4: Perubahan yang Menghancurkan
Fadil menatap Sinta yang baru duduk di depannya. Suasana di warung bakso langganan mereka terasa berbeda malam itu.
Fadil sudah hampir 35 menit di situ  saat Sinta bingung mencari lokasi untuk parkir mobil barunya..
"Maaf, Fad, aku sudah berangkat lebih awal  tapi jalanan begitu macet, .." Sinta tersenyum tipis, tanpa mengulurkan tangan.
Sikapnya, tak biasa. Itu yang dirasa Fadil.
Udara di antara mereka dingin, dan Sinta kini tampak gelisah.
"Aku ingin kita bicara, Fadil" kata Sinta, suaranya pelan tapi tegas. Kalimat  dan nada itu terasa aneh ditelinga Fadil.
"Ada apa, Sin?" Fadil menatapnya dengan penuh tanya.
"Aku... aku bertemu seseorang. Maaf yaa, ... Dia... dia bisa memberikan apa yang selama ini tidak bisa kamu berikan. Aku butuh lebih, Fad ... Â Aku butuh seseorang yang bisa memberikan masa depan yang pasti, yang bisa memenuhi keinginan hidupku," ucap Sinta dengan terbata. Matanya merah dan berlinang.
Fadil terdiam. Dunia seakan berhenti berputar. Janji-janji yang pernah mereka buat, pujian-pujian yang dulu begitu tulus, kini terasa hampa.
"Jadi semua yang kita rencanakan, semua janji itu... tidak berarti lagi bagimu?" tanyanya dengan suara yang hampir tak terdengar.