Cerpen  |  Rujak Berulat
DikToko
(Soetiyastoko)
Di sudut kamar luas ukuran 6 kali 4 meter itu sepi, Irma duduk memandangi cermin.
Hatinya menyempit.
Bayangan itu, yang pernah menghiasi cover majalah ternama.
Wajahnya tetap seindah seperti dulu, saat dia dan Fikri pertama kali bertemu. Tubuhnya yang semampai masih terawat dengan baik, meskipun setelah dua anak lahir dari rahimnya.
Banyak wanita yang iri padanya, tidak hanya karena kecantikannya, tetapi juga karena kebaikan hatinya. Irma dikenal lembut, sabar, dan penyayang. Ia mengurus rumah tangga dengan cermat, menjaga anak-anak dengan kasih sayang, serta selalu berusaha menjadi istri yang baik.
Namun, di balik kesempurnaan yang tampak itu, hatinya tengah berderai pilu. Suaminya, Fikri, berkali-kali menghianatinya. Bukan dengan wanita yang sepadan---bukan wanita dengan paras cantik atau akhlak mulia---melainkan dengan perempuan yang ia ibaratkan sebagai "rujak berulat", murahan dan tak pantas.
Irma terdiam lama, tak bisa mengerti mengapa Fikri lebih memilih perempuan-perempuan seperti itu. Bukankah di rumah ada "sajian yang bersih dan berkah"?
Bukankah ia sudah berusaha menjadi istri yang terbaik? "Apa yang kurang dariku?" pikirnya, perih. Setiap kali ia mendapatkan pesan-pesan dari sahabatnya atau mendengar desas-desus dari tetangga, hatinya selalu terkoyak.
Bahkan secara tak sengaja telah memergoki suaminya di foodcourt sebuah Mal.
Di setiap kesempatan, Irma menghadap Fikri dengan penuh kelembutan. Ia tak pernah marah, tak pernah memaki.
Hanya bertanya dengan penuh kesedihan,
"Mengapa, Mas? Apa yang membuatmu mencari yang lain?"
Namun, Fikri hanya tersenyum hambar atau menghindari pembicaraan.
Suatu malam, setelah anak-anak tertidur, Irma menunggu di ruang tamu. Matanya lelah menatap pintu yang belum juga terbuka. Jam menunjukkan pukul sebelas malam, tetapi Fikri belum juga pulang. Pikirannya melayang-layang pada kemungkinan terburuk.
Apakah ia bersama salah satu wanita itu lagi? Apakah Fikri menganggap dirinya sudah tak menarik lagi?
Ketika pintu akhirnya terbuka, Fikri tampak berusaha biasa saja. "Maaf, lembur," katanya pendek, seakan itu penjelasan yang cukup. Ada aroma alkohol dari mulutnya.
Irma menarik napas panjang, menahan tangis. "Mas, kenapa? Apa salahku?"
Fikri memalingkan wajah. Ia tahu persis apa yang dimaksud Irma. Namun, seperti biasa, ia memilih bungkam, pura-pura tak mengerti.
Irma bangkit dari duduknya dan mendekati suaminya. Tatapannya tajam namun penuh kasih.
"Aku sudah mencoba yang terbaik, Mas. Aku merawat diriku, aku menjaga rumah, aku melayani kamu dengan sepenuh hati. Tapi kenapa kamu tetap mencari yang lain? Apa yang kamu cari dari mereka?"
Fikri terdiam, tak bisa menjawab. Di matanya ada kilatan rasa bersalah, tapi itu tak cukup menghentikan kebiasaan buruknya.
Irma akhirnya menangis pelan.
"Mas, rujak berulat itu mungkin tampak menggoda, penuh bumbu dan rasa yang kuat. Tapi itu hanya sementara. Setelah itu, yang tersisa hanyalah rasa pahit dan sakit di perut. Sementara di rumah, ada makanan yang bersih, penuh berkah, tapi kamu abaikan. Apakah aku tak lagi pantas untukmu?"
Fikri menunduk. Kata-kata Irma menghantam dirinya dengan keras, namun kebiasaannya seolah sudah mendarah daging.
"Aku... aku tak tahu," jawabnya lirih. "Mungkin aku hanya... butuh sesuatu yang lain, yang liar ..."
Irma tersenyum pahit. "Sesuatu yang lain? Yang liar ? Seperti racun yang kamu tahu berbahaya, tapi tetap kamu telan?"
Malam itu, tak ada lagi kata-kata yang keluar dari mulut Fikri. Irma tertidur dalam kelelahan batin, sementara Fikri terjaga dalam gelisah.
Di benaknya, pertanyaan Irma terus terngiang. Apakah ia benar-benar tak tahu mengapa ia terus mencari yang lain? Ataukah ia hanya tak mau mengakui bahwa ia terlalu lemah menahan godaan?
***
Keesokan harinya, Irma tetap melayani Fikri seperti biasa, tanpa memendam kebencian. Namun ada sesuatu yang berubah. Fikri mulai merasakan jarak yang tumbuh di antara mereka. Meskipun Irma tetap baik, tetap lembut, ada kehampaan di balik senyumnya. Dan Fikri mulai merasakan kehilangan---bukan karena Irma berubah, tetapi karena ia mulai sadar bahwa dirinya yang telah merusak segala yang indah itu.
***
Waktu berlalu, namun kebiasaan buruk Fikri tak jua berhenti. Hingga pada suatu malam, Fikri pulang dengan tubuh letih dan pikiran kacau. Wanita yang ia temui terakhir kali ternyata hanya menginginkan uangnya, tidak lebih. Semua yang ia kejar selama ini hanyalah bayangan kosong.
Di rumah, ia menemukan Irma sedang berdiri di depan pintu kamar anak-anak, memandangi mereka yang sedang tidur dengan penuh cinta.
Ketika Irma berbalik, tatapan mereka bertemu. Di mata Irma, Fikri melihat sekilas ketegaran yang ia kagumi, namun juga kesedihan yang mendalam.
"Maafkan aku," bisik Fikri, akhirnya mengakui kebodohannya.
Irma mengangguk pelan, namun ia tak menjawab. Hatinya telah lelah menunggu, namun ia tahu, di dalam hatinya masih tersimpan cinta yang tak akan pernah hilang.
***
"Mas Fikri  tolong besok antarkan aku ke dokter, yaa ..." , ucap Irma sambil melipat mukena dan sajadah.
"Memang kamu sakit apa ?" jawab Fikri, matanya tak beralih dari layar HP nya.
"Aku sibuk, berangkat sendiri saja. Kamu 'kan masih bisa nyetir"
"Tapi, rahimku sakit, Mas ..."
Fikri tak menanggapi malah senyum-senyum sendiri, membaca pesan di WA.
Irma yang tak dipedulikan, mengucap istiqfar. Berusaha bersabar  menahan gumpalan peluru yang ingin meledak.
***
"Maaf, Bu, untuk infeksi yang ibu alami lagi ini , ... Maaf, suami Ibu juga harus diobati  ...
Jika tidak, Ibu akan tertular lagi". kalimat seperti itu telah sekian kali Irma dengar dari dokternya.
Kali ini nadanya dokter itu amat jengkel. Wajah Irma kali ini memerah. Gambaran perasaan yang  tak bisa dituliskan.
"Maaf, Bu Irma, infeksi kali ini bukan G.O. tetapi siphilis !".
"Baik dokter  Wadiarini  terima kasih", hanya itu yang bisa diucapkan Irma.
***
Tetap berusaha melangkah indah seperti dulu saat masih aktif di fashion show. Irma menuju area parkir.
Berhenti sejenak di depan mobilnya, bahkan mengitari pelan-pelan seraya matanya menyelidik.
"Masih mulus, ..." , gumamnya.
Bukan berarti tak pernah beset atau penyok. Kemulusannya di jamin asuransi.
"Lalu, aku dijamin siapa? Mas Fikri tak peduli".
***
Irma, membaca pesan WA,  "Irma  tolong bantu kami yaa, untuk satu kasus saja. Firma Hukum kita sedang kebanjiran order. Jangan ditolak, yaa ...".
Pesan itu dari Pak Rahmat. Profesor yang dulu  membimbingnya praktek pengacara.
***
Di atas mobil yang dikendarainya, Irma ingat, beliau-lah yang men-talangi saat membeli si hitam ini. Beliau melarang Irma, kredit. Riba, katanya.
Lalu dicicil dari honor pengurusan perkara sengketa.
"Mungkin ini saatnya kembali
menemuni profesinya. Bukan mungkin, tetapi harus", itu kata hati Irma.
***
Setelah anak-anak naik mobil jemputan, Â Irma bergegas dengan si Hitam mulus.
SUV itu meluncur ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Irma bertekad mendaftarkan gugatan cerai dari Fikri. Suaminya yang ganteng itu.
Tamat.
---
Kesimpulan & Saran
Untuk para suami yang gemar berselingkuh: Ketahuilah bahwa rujak berulat mungkin menggoda selera sesaat, tetapi akan merusak jiwa dan rumah tangga.Â
Di rumah, ada istri yang setia, yang dengan segala kelebihannya memberikan cinta yang tulus dan berkah. Jika terus menuruti hawa nafsu, Anda tak hanya mengkhianati istri, tetapi juga menghancurkan diri sendiri.Â
Waktu akan membuktikan bahwa yang Anda kejar hanyalah ilusi, sementara yang nyata dan berharga ada di rumah, menunggu Anda kembali.
Untuk para istri yang merasa sempurna: Kesempurnaan bukanlah jaminan kebahagiaan rumah tangga. Cinta dan kepercayaan harus terus dipupuk dari kedua belah pihak. Jangan hanya mengandalkan fisik atau akhlak semata, tetapi pahami bahwa suami dan istri harus saling menguatkan dalam setiap ujian.
Jika ada celah, segera perbaiki bersama sebelum celah itu tumbuh menjadi jurang yang tak tertembus harapan.
***
Pagedangan, Kamis, 03/10/2024 12:52:41
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H