Irma akhirnya menangis pelan.
"Mas, rujak berulat itu mungkin tampak menggoda, penuh bumbu dan rasa yang kuat. Tapi itu hanya sementara. Setelah itu, yang tersisa hanyalah rasa pahit dan sakit di perut. Sementara di rumah, ada makanan yang bersih, penuh berkah, tapi kamu abaikan. Apakah aku tak lagi pantas untukmu?"
Fikri menunduk. Kata-kata Irma menghantam dirinya dengan keras, namun kebiasaannya seolah sudah mendarah daging.
"Aku... aku tak tahu," jawabnya lirih. "Mungkin aku hanya... butuh sesuatu yang lain, yang liar ..."
Irma tersenyum pahit. "Sesuatu yang lain? Yang liar ? Seperti racun yang kamu tahu berbahaya, tapi tetap kamu telan?"
Malam itu, tak ada lagi kata-kata yang keluar dari mulut Fikri. Irma tertidur dalam kelelahan batin, sementara Fikri terjaga dalam gelisah.
Di benaknya, pertanyaan Irma terus terngiang. Apakah ia benar-benar tak tahu mengapa ia terus mencari yang lain? Ataukah ia hanya tak mau mengakui bahwa ia terlalu lemah menahan godaan?
***
Keesokan harinya, Irma tetap melayani Fikri seperti biasa, tanpa memendam kebencian. Namun ada sesuatu yang berubah. Fikri mulai merasakan jarak yang tumbuh di antara mereka. Meskipun Irma tetap baik, tetap lembut, ada kehampaan di balik senyumnya. Dan Fikri mulai merasakan kehilangan---bukan karena Irma berubah, tetapi karena ia mulai sadar bahwa dirinya yang telah merusak segala yang indah itu.
***
Waktu berlalu, namun kebiasaan buruk Fikri tak jua berhenti. Hingga pada suatu malam, Fikri pulang dengan tubuh letih dan pikiran kacau. Wanita yang ia temui terakhir kali ternyata hanya menginginkan uangnya, tidak lebih. Semua yang ia kejar selama ini hanyalah bayangan kosong.