Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Rujak Berulat

3 Oktober 2024   13:42 Diperbarui: 3 Oktober 2024   19:40 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di setiap kesempatan, Irma menghadap Fikri dengan penuh kelembutan. Ia tak pernah marah, tak pernah memaki.
Hanya bertanya dengan penuh kesedihan,

"Mengapa, Mas? Apa yang membuatmu mencari yang lain?"

Namun, Fikri hanya tersenyum hambar atau menghindari pembicaraan.

Suatu malam, setelah anak-anak tertidur, Irma menunggu di ruang tamu. Matanya lelah menatap pintu yang belum juga terbuka. Jam menunjukkan pukul sebelas malam, tetapi Fikri belum juga pulang. Pikirannya melayang-layang pada kemungkinan terburuk.

Apakah ia bersama salah satu wanita itu lagi? Apakah Fikri menganggap dirinya sudah tak menarik lagi?

Ketika pintu akhirnya terbuka, Fikri tampak berusaha biasa saja. "Maaf, lembur," katanya pendek, seakan itu penjelasan yang cukup. Ada aroma alkohol dari mulutnya.

Irma menarik napas panjang, menahan tangis. "Mas, kenapa? Apa salahku?"

Fikri memalingkan wajah. Ia tahu persis apa yang dimaksud Irma. Namun, seperti biasa, ia memilih bungkam, pura-pura tak mengerti.

Irma bangkit dari duduknya dan mendekati suaminya. Tatapannya tajam namun penuh kasih.

"Aku sudah mencoba yang terbaik, Mas. Aku merawat diriku, aku menjaga rumah, aku melayani kamu dengan sepenuh hati. Tapi kenapa kamu tetap mencari yang lain? Apa yang kamu cari dari mereka?"

Fikri terdiam, tak bisa menjawab. Di matanya ada kilatan rasa bersalah, tapi itu tak cukup menghentikan kebiasaan buruknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun