Di setiap kesempatan, Irma menghadap Fikri dengan penuh kelembutan. Ia tak pernah marah, tak pernah memaki.
Hanya bertanya dengan penuh kesedihan,
"Mengapa, Mas? Apa yang membuatmu mencari yang lain?"
Namun, Fikri hanya tersenyum hambar atau menghindari pembicaraan.
Suatu malam, setelah anak-anak tertidur, Irma menunggu di ruang tamu. Matanya lelah menatap pintu yang belum juga terbuka. Jam menunjukkan pukul sebelas malam, tetapi Fikri belum juga pulang. Pikirannya melayang-layang pada kemungkinan terburuk.
Apakah ia bersama salah satu wanita itu lagi? Apakah Fikri menganggap dirinya sudah tak menarik lagi?
Ketika pintu akhirnya terbuka, Fikri tampak berusaha biasa saja. "Maaf, lembur," katanya pendek, seakan itu penjelasan yang cukup. Ada aroma alkohol dari mulutnya.
Irma menarik napas panjang, menahan tangis. "Mas, kenapa? Apa salahku?"
Fikri memalingkan wajah. Ia tahu persis apa yang dimaksud Irma. Namun, seperti biasa, ia memilih bungkam, pura-pura tak mengerti.
Irma bangkit dari duduknya dan mendekati suaminya. Tatapannya tajam namun penuh kasih.
"Aku sudah mencoba yang terbaik, Mas. Aku merawat diriku, aku menjaga rumah, aku melayani kamu dengan sepenuh hati. Tapi kenapa kamu tetap mencari yang lain? Apa yang kamu cari dari mereka?"
Fikri terdiam, tak bisa menjawab. Di matanya ada kilatan rasa bersalah, tapi itu tak cukup menghentikan kebiasaan buruknya.