Cerpen  |  Semburat Memar Malam di Pulau Terpencil
DikToko
(Soetiyastoko)
Kegaduhan mendadak meledak di tengah-tengah keramaian. Saat itu, calon pengantin pria baru saja hendak mengulurkan tangannya kepada penghulu.
Senyum dari tamu undangan tetiba pudar, berubah menjadi kepanikan yang menyelimuti ruangan. Tubuh pria muda itu tiba-tiba kejang-kejang, menggeliat dan terjungkal di depan banyak orang.
Matanya membelalak dan memutar, mulutnya berbusa, dan keringat deras mengalir di dahinya.
"Hentikan! Tolong dia! Ada yang tahu ini kenapa?!" teriak seseorang dari keluarga mempelai wanita.
Keluarga mempelai putri segera bereaksi. Salah satu dari mereka mengeluarkan ponsel dan menelpon rumah sakit terdekat dengan panik. "Cepat! Dokter! Kami butuh dokter sekarang juga!"
Dalam kekacauan itu, di sebuah rumah sakit sederhana yang hanya berjarak beberapa kilometer dari tempat berlangsungnya akad, Dokter Bimo, seorang dokter muda, sedang menikmati waktu liburnya. Hari itu dia tidak dijadwalkan untuk berjaga, tetapi panggilan darurat  mengharuskannya datang.
Dia langsung bergegas tanpa pikir panjang. Bersama seorang perawat senior, Pak Amir. Mereka menempuh perjalanan singkat ke tempat pernikahan, menggunakan sepeda motor trail. Satu-satunya kendaraan yang cukup tangguh menembus jalan-jalan terjal pulau kecil itu.
Ketika tiba, suasana sudah panas. Keluarga calon pengantin pria terlihat cemas dan marah. Seorang bibi dari pihak pengantin pria langsung menyambut kedatangan Dokter Bimo dengan wajah memerah,
"Kenapa lama sekali?! Sudah hampir setengah jam kami menunggu! Dia sekarat!"
Bimo mengangkat tangan, mencoba menenangkan mereka. "Maaf, saya sudah datang secepatnya."
Bimo segera mendekati calon pengantin pria yang masih tergolek di lantai. Tanda-tanda kejang epilepsi terlihat jelas. Dia memeriksa denyut nadi pria itu dan memastikan napasnya stabil.