Dokter Bimo, yang kini terbaring tak sadarkan diri di dunia nyata, perlahan mulai kembali ke kesadarannya.
Pulau kecil yang jauh dari kota besar, dengan rumah sakit yang kurang peralatan dan tenaga medis, adalah saksi bisu perjuangannya.
Teriakan keluarga calon pengantin pria yang memarahinya masih terngiang di telinganya.
Namun, di balik semua mimpi aneh itu, satu hal mulai jelas bagi Bimo: hidupnya adalah sebuah perjalanan panjang yang penuh dengan tantangan.
Beda dengan teman-teman seangkatannya. Terutama yang berasal dari keluarga kaya-raya atau pejabat  mereka dengan cara yang tak biasa, bisa memilih kota penempatan yang diinginkan.
Tapi bagi Bimo, tujuan hidup baginya adalah mencari ridho Allah. Bukan mencari harta kekayaan. Seperti yang dulu selalu diajarkan Ibu dan Ayahnya.
Kini memar-lebam dan terluka seluruh tubuhnya, di tempat ia mengabdi, di pulau terpencil.
Bimo kini harus menghadapi kenyataan pahit yang baru. Ia tidak hanya harus bertahan dari luka fisik, tetapi juga dari luka batin akibat amarah dan kekecewaan manusia.
Meski peralatan rumah sakit sederhana itu tak memadai, ia tahu bahwa semangatnya untuk bangkit kembali harus tetap ada.
Mimpi-mimpinya di ICU darurat, telah membawanya pada satu kesimpulan: terkadang yang terpenting bukanlah kekuatan fisik, tetapi ketangguhan hati.
Dan di tengah kesunyian ruang ICU yang dindingnya kusam dan berjamur di sana-sini, Bimo tersenyum lemah, saat disapa rekan perawat, berharap esok hari akan membawanya kembali pada kehidupan yang lebih baik.
Entah tantangan apalagi yang masih menunggu di depannya.
-------
*Kesimpulan*
Peristiwa yang dialami dokter Bimo adalah cerminan dari bagaimana ketidakpahaman, ketegangan, dan rasa malu dapat menuntun seseorang pada tindakan yang tidak adil.
Keluarga calon pengantin pria sebenarnya sudah mengetahui bahwa calon mempelai mengidap epilepsi, namun mereka memilih merahasiakannya dari keluarga mempelai putri.