Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Semburat Memar Malam di Pulau Terpencil

19 September 2024   15:42 Diperbarui: 19 September 2024   15:42 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dokter Bimo, yang kini terbaring tak sadarkan diri di dunia nyata, perlahan mulai kembali ke kesadarannya.
Pulau kecil yang jauh dari kota besar, dengan rumah sakit yang kurang peralatan dan tenaga medis, adalah saksi bisu perjuangannya.

Teriakan keluarga calon pengantin pria yang memarahinya masih terngiang di telinganya.
Namun, di balik semua mimpi aneh itu, satu hal mulai jelas bagi Bimo: hidupnya adalah sebuah perjalanan panjang yang penuh dengan tantangan.

Beda dengan teman-teman seangkatannya.  Terutama yang berasal dari keluarga kaya-raya atau pejabat  mereka dengan cara yang tak biasa, bisa memilih kota penempatan yang diinginkan.

Tapi bagi Bimo, tujuan hidup baginya adalah mencari ridho Allah. Bukan mencari harta kekayaan. Seperti yang dulu selalu diajarkan Ibu dan Ayahnya.

Kini memar-lebam dan terluka seluruh tubuhnya, di tempat ia mengabdi, di pulau terpencil.
Bimo kini harus menghadapi kenyataan pahit yang baru. Ia tidak hanya harus bertahan dari luka fisik, tetapi juga dari luka batin akibat amarah dan kekecewaan manusia.
Meski peralatan rumah sakit sederhana itu tak memadai, ia tahu bahwa semangatnya untuk bangkit kembali harus tetap ada.

Mimpi-mimpinya di ICU darurat, telah membawanya pada satu kesimpulan: terkadang yang terpenting bukanlah kekuatan fisik, tetapi ketangguhan hati.

Dan di tengah kesunyian ruang ICU yang dindingnya kusam dan berjamur di sana-sini, Bimo tersenyum lemah, saat disapa rekan perawat, berharap esok hari akan membawanya kembali pada kehidupan yang lebih baik.
Entah tantangan apalagi yang masih menunggu di depannya.

-------

*Kesimpulan*

Peristiwa yang dialami dokter Bimo adalah cerminan dari bagaimana ketidakpahaman, ketegangan, dan rasa malu dapat menuntun seseorang pada tindakan yang tidak adil.

Keluarga calon pengantin pria sebenarnya sudah mengetahui bahwa calon mempelai mengidap epilepsi, namun mereka memilih merahasiakannya dari keluarga mempelai putri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun