Usaha lain yang coba ditempuhnya adalah perusahaan jasa bantuan utang. Sayangnya, biaya layanan itu cukup besar, sedangkan perempuan itu sudah tidak memiliki uang lagi.
Sangking prustasinya, dia sampai menyebut lebih mudah memberitahu kepada keluarganya  kalau dia memiliki orientasi seksual yang menyimpang ketimbang memiliki utang yang segunung.
Dia pun menghubungi the Australian Financial Security Authority (AFSA), lembaga saluran bantuan utang milik Australia.
Di sana, dia mendapatkan dua pilihan yakni, terus membayar utang hingga sisa  hidupnya atau mengakui kebangkrutan. Opsi pertama jelas  bakal sangat sulit dilakukan, dia pun langsung memilih opsi kedua.
Dampak dari pengakuan kebangkrutan adalah selama lima tahun ke depan, status perempuan itu adalah bangkrut sehingga tidak bisa mengajukan pinjaman lagi.
Namanya pun tercatat ke dalam indek kepailitan pribadi nasional seumur hidupnya. Selama itu, dia bisa saja kehilangan aset seperti, rumah, mobil, perhiasan, dan barang berharga lainnya.
Lalu, dia tidak akan bisa naik jabatan hingga ke level direksi dengan status bangkrut tersebut.
Terakhir, dia bakal sulit pergi ke luar negeri. Jika terpaksa, dia harus mendapatkan izin dari wali amanat dan membayar sejumlah biaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H