Kasus bom bunuh diri yang terjadi di Mapolsek Astana Anyar Kota Bandung Jawa Barat yang terjadi pada Rabu pagi 7 Desember 2022 yang lalu menggegerkan publik seantero tanah air.
Bom bunuh diri yang terjadi di Mapolsek Astana Anyar Kota Bandung tersebut menggerkan publik tanah air karena sudah hampir dua tahun Indonesia tidak pernah lagi mendapat teror dari aksi bom bunuh diri oleh para teroris.
Terakhir, aksi teror bom bunuh diri yang dilakukan oleh para pelaku terorisme di Indonesia tarjadi di Gereja Katedral Kota Makassar pada Minggu 28 Maret 2021.
Publik pun bertanya-tanya, kemanakah Densus 88 Anti Teror dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dengan program deradikalisasi-nya sehingga Indonesia bisa kembali kecolongan oleh aksi teror bom bunuh diri yang dilakukan oleh para teroris?
Adalah hal yang wajar apabila kemudian muncul persepsi publik bahwa Densus 88 dan BNPT telah kecolongan akibat dari aksi teror bom bunuh diri yang terjadi di Mapolsek Astana Anyar Kota Bandung tersebut.
Apalagi sebagaimana yang telah disampaikan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo kepada media massa, bahwa pelaku bom bunuh diri di Mapolsek Astana Anyar Kota Bandung, Agus Sujarno teridentifikasi sebagai mantan napi teroris yang baru bebas tahun lalu dari lapas Nusakambangan karena kasus bom panci di Taman Pendawa, Kelurahan Arjuna, Cicendo, Bandung, pada tahun 2017 yang lalu.
Bukankah seharusnya sebagai seorang mantan napi teroris, pelaku bom bunuh diri di Mapolsek Astana Anyar Kota Bandung ada dalam pengawasan intelejen, Densus 88 dan BNPT?
Lalu mengapa kemudian pelaku bisa kembali mengulangi aksinya tanpa bisa di deteksi sebelumnya oleh intelejen, Densus 88 dan BNPT?
Apakah benar pelaku bom bunuh diri di Mapolsek Astana Anyar ini telah mengikuti program deradikalisasi?
Atau jangan-jangan BNPT dan Densus 88 telah gagal dalam melakukan program deradikalisasi kepada para napi dan mantan napi teroris?
Pertanyaan-pertanyaan sederhana yang mencul dibenak publik sebagaimana disebutkan diatas pasti akan menimbulkan berbagai macam persepsi dan dugaan-dugaan minor kepada Densus 88 dan BNPT soal evektifitas dalam pelaksanaan program Deradikalisasi eks napi terorisme di Indonesia.
Dan tentu hanya BNPT dan Densus 88 lah yang tau semua jawaban dari pertanyaan-pertanyaan publik diatas.
Namun sayangnya sampai dengan saat ini, dua lembaga yang bertanggung jawab terhadap masalah terorisme di Indonesia ini belum memberikan klarifikasinya sama sekali.
Pengertian faham RadikalismeÂ
Sebelum kita membahas apa itu program deradikalisasi, ada baiknya kita fahami dulu makna dari istilah "radikalisme" yang merupakan antitesa dari kata "deradikalisasi".Â
Hal ini bertujuan agar kita dapat memahami apa itu program Deradikalisasi secara utuh dan konferhensif.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik; paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; sikap ekstrem dalam aliran politik.
Sedangkan menurut Ariwidodo (2017),
radikalisme adalah suatu paham atau aliran yang dibuat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan tatanan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan atau dengan sikap yang tergolong ekstrem.
Dalam Undang-Undang No 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme disebutkan bahwa faham radikalisme memiliki ciri-ciri diantaranya anti terhadap Pancasila, anti kebhinekaan, anti NKRI dan  anti terhadap Undang-Undang Dasar NKRI tahun 1945.
Sedangkan menurut Masduki (2013), ciri-ciri faham radikalisme yakni antara lain :
1. Mengklaim kebenaran tunggal dan menyesatkan kelompok lain yang tidak sependapat.
2. Mempersulit tata cara Islam yang dianut, bahwa sejatinya ajaran Islam bersifat samhah atau toleran dengan menganggap perilaku, hukum dan ibadah. Â
3. Bersikap berlebihan dalam menjalankan ritual agama yang tidak pada tempatnya.
4. Mutlak dalam berinteraksi, keras dalam berbicara terutama terkait apa yang diyakininya dan emosional dalam berdakwah atau menyampaikan pendapat. 5. Mudah berburuk sangka kepada orang lain di luar golongannya yang tidak sepaham. Serta,
6. Mudah mengafirkan atau memberi label takfiri orang atau kelompok lain yang berbeda pendapat.
Apa itu program Deradikalisasi?
Deradikalisasi adalah sebuah program yang bertujuan untuk menetralkan pemikiran-pemikiran bagi mereka yang sudah terpapar dengan faham radikalisme.
Yang menjadi sasarannya yaitu para teroris yang ada di dalam lapas maupun di luar lapas.
Deradikalisasi memiliki tujuan untuk menetralisir pemikiran radikalisme. Maksudnya, untuk membersihkan pemikiran-pemikiran radikalisme yang ada pada para teroris sehingga mereka bisa kembali menjadi masyarakat biasa sebagaimana masyarakat lainnya.
Program Deradikalisasi sendiri dijalankan oleh paling tidak tiga instansi secara bersama-sama yakni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dimana para napi terorisme di tahan, Densus 88 anti teror selaku pihak yang paling mengetahui profil dari para teroris dan BNPT selaku lembaga yang bertanggungjawab mencegah dan menangani masalah terorisme di Indonesia.
Dikutip dari kompas.com, Dyah Ayu Kartika, peneliti dari the Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Jakarta mengatakan program Deradikalisasi yang dijalankan oleh BNPT meliputi identifikasi, rehabilitasi, reedukasi, dan resosialisasi yang dilakukan, baik di Pusat Deradikalisasi maupun dengan mendatangi lapas-lapas, dan melakukan pendampingan.
Sementara itu program Deradikalisasi yang dijalankan oleh Lapas lebih menyasar napi teroris di penjara dengan keamanan maksimal dan supermaksimal.
Sedangkan Densus 88 dalam menjalankan program Deradikalisasi mereka menyasar tokoh-tokoh napi teroris dengan pendekatan personal, mengingat mereka adalah pihak yang menangkap para teroris tersebut, sehingga mereka tahu persis profil dan personality dari para napi teroris untuk kemudian lebih mengetahui cara apa yang bisa digunakan untuk mendekati secara personal para napi dan mantan napi teroris tersebut dalam rangka menjalankan misi Deradikalisasi. Â
Efektivitas program Deradikalisasi
Peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di Markas Kepolisian Sektor Astana Anyar, Kota Bandung, Jawa Barat pada Rabu, (7/12), membuat banyak pihak menyoroti soal efektivitas dan seberapa jauh keberhasilan program Deradikalisasi yang dilakukan pemerintah.
Pasalnya, pelaku pengeboman, Agus Sujarno, adalah mantan terpidana kasus terorisme.
Agus bebas tahun lalu setelah mendekam dalam penjara di Nusakambangan selama empat tahun karena terlibat Bom Cicendo pada tahun 2017.
Dikutip dari voaindonesia.com, pengamat sekaligus pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian Noor, Huda Ismail menjelaskan sekitar 8 hingga 10 persen dari jumlah mantan narapidana kasus terorisme terlibat kembali baik secara langsung atau tidak langsung dalam tindak pidana terorisme.
Noor Huda mengakui program deradikalisasi tidak akan berhasil jika hanya mengandalkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), kepolisian, dan badan intelijen yang memiliki personel terbatas.
Keterbatasan sumber daya tambahnya, juga dianggap menjadi kendala besar untuk mengawasi secara saksama para mantan terorisme yang sudah kembali ke masyarakat.
Selain itu, Noor Huda juga mengatakan negara tidak bisa memaksa narapidana kasus terorisme mengikuti program Deradikalisasi atau bersifat sukarela.Â
Hal inilah juga, tambahnya, yang membuat program Deradikalisasi tidak berjalan ideal.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit menyebutkan Agus menolak mengikuti program deradikalisasi selama di penjara.
Sigit mengatakan Agus masuk ke dalam kelompok merah karena dia sulit untuk diajak bicara dan masih cenderung menghindar.
Selain hal tersebut diatas, proses masa transisi kehidupan dari para mantan napi terorisme dari penjara kembali kepada kemasyarakat juga perlu mendapatkan perhatian yang serius dari Pemerintah.
Masyarakat harus diberikan pemahaman untuk bisa kembali berbaur dan menerima para mantan napi teroris kembali ke kehidupan bermasyarakat.
Atau dengan kata lain, pemerintah harus melakukan upaya mempersiapkan masyarakat sedemikian rupa untuk menerima kembali kehadiran mantan narapidana kasus terorisme di lingkungan mereka.
Hal ini penting dilakukan agar resistensi terhadap para mantan napi terorisme tidak terjadi di masyarakat saat para mantan napi teroris tersebut menghirup udara bebas dan kembali ke lingkungan mereka.
Jangan sampai ada stigma negatif di masyarakat yang dapat membuat mereka kembali lagi ke jaringan terorisme.
Karena kebanyakan mantan napi terorisme yang kembali menjadi teroris salah satu penyebab utamanya adalah adanya stigma negatif dan resistensi dari masyarakat ini ketika yang bersangkutan sudah bebas dari tahanan.
Masyarakat masih banyak yang menilai negatif para mantan napi teroris dan enggan untuk menerima mereka kembali dengan baik di lingkungan masyarakat.
Selain soal resistensi dari masyarakat, pemerintah juga perlu memberikan pendampingan dan bantuan untuk dalam rangka memulihkan perekonomian para mantan napi terorisme saat mereka keluar dari penjara.
Hal tersebut perlu dilakukan oleh Pemerintah karena ketika dibebaskan dari penjara, eks narapidana kasus terorisme rata-rata tidak memiliki pekerjaan atau uang sehingga jika hal tersebut tidak mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah dikhawatirkan akan berpotensi membuat mantan narapidana kasus terorisme menjadi kecewa dan bingung sehingga akan kembali lagi ke jaringan terorisme.
Bantuan pemulihan ekonomi untuk eks napi teroris oleh Pemerintah ini misalnya dapat berupa bantuan modal untuk membuka usaha bagi para mantan narapidana kasus terorisme.Â
Diharapkan, dengan adanya penerimaan yang baik dari masyarakat terhadap para mantan napi teroris dan pendampingan secara ekonomi yang serius dari Pemerintah proses reintegrasi eks narapidana kasus terorisme di masyarakat dapat berlangsung dengan baik.
Karena berkaca pada hal-hal tersebut diatas, jika eks narapidana kasus terorisme ini tidak ditangani dengan baik oleh Pemerintah, maka keinginan mereka untuk bertobat dan kembali ke pangkuan NKRI bisa saja gagal.
Agus Sujarno, pelaku bom bunuh diri di Mapolsek Astana Anyar Kota Bandung adalah salah satu contohnya.
Jadi, penulis menyimpulkan bahwa saat ini program Deradikalisasi yang dijalankan oleh Pemerintah masih belum bisa disebut maksimal dalam mengcounter aksi-aksi terorisme yang dilakukan oleh para eks narapidana kasus-kasus terorisme di Indonesia.
Sekian dari Jambi untuk Kompasiana. Semoga bermanfaat!
Pematang Gadung, 12 Desember 2022
Referensi :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H