Pertanyaan-pertanyaan sederhana yang mencul dibenak publik sebagaimana disebutkan diatas pasti akan menimbulkan berbagai macam persepsi dan dugaan-dugaan minor kepada Densus 88 dan BNPT soal evektifitas dalam pelaksanaan program Deradikalisasi eks napi terorisme di Indonesia.
Dan tentu hanya BNPT dan Densus 88 lah yang tau semua jawaban dari pertanyaan-pertanyaan publik diatas.
Namun sayangnya sampai dengan saat ini, dua lembaga yang bertanggung jawab terhadap masalah terorisme di Indonesia ini belum memberikan klarifikasinya sama sekali.
Pengertian faham RadikalismeÂ
Sebelum kita membahas apa itu program deradikalisasi, ada baiknya kita fahami dulu makna dari istilah "radikalisme" yang merupakan antitesa dari kata "deradikalisasi".Â
Hal ini bertujuan agar kita dapat memahami apa itu program Deradikalisasi secara utuh dan konferhensif.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik; paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; sikap ekstrem dalam aliran politik.
Sedangkan menurut Ariwidodo (2017),
radikalisme adalah suatu paham atau aliran yang dibuat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan tatanan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan atau dengan sikap yang tergolong ekstrem.
Dalam Undang-Undang No 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme disebutkan bahwa faham radikalisme memiliki ciri-ciri diantaranya anti terhadap Pancasila, anti kebhinekaan, anti NKRI dan  anti terhadap Undang-Undang Dasar NKRI tahun 1945.
Sedangkan menurut Masduki (2013), ciri-ciri faham radikalisme yakni antara lain :
1. Mengklaim kebenaran tunggal dan menyesatkan kelompok lain yang tidak sependapat.
2. Mempersulit tata cara Islam yang dianut, bahwa sejatinya ajaran Islam bersifat samhah atau toleran dengan menganggap perilaku, hukum dan ibadah. Â
3. Bersikap berlebihan dalam menjalankan ritual agama yang tidak pada tempatnya.
4. Mutlak dalam berinteraksi, keras dalam berbicara terutama terkait apa yang diyakininya dan emosional dalam berdakwah atau menyampaikan pendapat. 5. Mudah berburuk sangka kepada orang lain di luar golongannya yang tidak sepaham. Serta,
6. Mudah mengafirkan atau memberi label takfiri orang atau kelompok lain yang berbeda pendapat.