Mohon tunggu...
Sobary Arman
Sobary Arman Mohon Tunggu... Tentara - TNI

Menulis dan Membaca

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Memahami Peran Historis Kepulauan Natuna Guna Mencegah Ancaman di Laut Cina Selatan atas Klaim Tiongkok

13 Mei 2024   09:10 Diperbarui: 13 Mei 2024   09:15 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Arsip Nasional Republik Indonesia)

Pendahuluan

Perseteruan di Laut Cina Selatan bukan hanya mengancam kedaulatan negara Indonesia saja tetapi beberapa negara di sekitar Laut Cina Selatan Tiongkok mengklaim dengan membuat peta alur lautnya sendiri dengan nine dash line[1], maksud dan tujuan dari Tiongkok yang berusaha melakukan okupasi di wilayah Laut Cina Selatan sebagai jalur perlintasan laut yang sangat strategis selain itu pula kekayaan alam di wilayah tersebut sangat beragam seperti contohnya di perairan utara Natuna Indonesia memiliki pengeboran migas[2] dan dengan klaim dari Tiongkok bahwa wilayah natuna merupakan wilayah teritorialnya mereka menuntut Indonesia untuk berhenti melakukan pengeboran, dengan demikian itu sudah menjadi salah satu sebab dari ancaman kedaulatan bagi Indonesia.

Lebih kurang 90% wilayah Laut Cina Selatan yang di klaim oleh Tiongkok dalam nine dash line, sejak tahun 1949 Tiongkok sudah memasukkan nine dash line tersebut didalam peta perairan mereka. Adapula beberapa wilayah laut negara ASEAN yang di klaim oleh Tiongkok selain Indonesia yaitu, Vietnam, Filipina Brunei dan Malaysia.

Namun klaim Tiongkok terhadap Laut China Selatan ditolak oleh negara asean yang lain dengan alasan nine dash line tersebut tidak memiliki asas yang sah, pengakuan Tiongkok tidak melalui lembaga yang sah dan juga tidak di akui oleh United Nation Convention on The Law Of The Sea atau disingkat UNCLOS.

Laut Cina Selatan memiliki daya tarik yang membuatnya menjadi perebutan oleh para negara-negara yang memiliki kepentingan, Laut Cina Selatan menyimpan kekayaan Sumber Daya Alam. Akhir-akhir ini kapal nelayan penangkap ikan Tiongkok terus menangkap ikan diwilayah teritori Laut Cina Selatan yang mereka anggap dalam Nine Dash Line, ini memancing kecaman dari dunia internasional seolah-olah Tiongkok tidak menghargai hasil keputusan UNCLOS[3].

Nelayan penangkap ikan dari Tiongkok melakukan Illegal Fishing bahkan dikawan oleh kapal patroli milik Pemerinah Tiongkok kegiatan ilegal terseut baru-baru ini dipergoki oleh Kapal Perang Indonesia milik TNI di wilayah perairan Natuna Utara, mereka memasuki kawasan ZEE milik Indonesia tanpa rasa bersalah[4].

Laut Cina Selatan menjadi menarik bagi Tiongkok melihat dari Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah seperti ikan dan Gas misalnya. Kapal-kapal penangkap ikan Tiongkok juga ditemukan melakukan illegal fishing di perairan jauh yang bukan termasuk wilayah ZEE nya, bahkan pemerintah Tiongkok ditenggarai memiliki andil aktif dalam kasus tersebut dengan begitu ini akan mengancam produktivitas perikanan bagi negara ASEAN[5].

Natuna utara menjadi perhatian penting selain karena sumber daya hayati yang besar dan juga gas alam ini menjadi daya tarik bagi Tiongkok untuk menseketakan Natuna Utara.[6] Natuna Utara memiliki kandungan cadangan gas bumi dengan jumlah besar menurut survei pada tahun 2022 menunjukkan angka sebanyak 1.045,62 billions of standard cubik feet/BSCF. Eksploitasi gas bumi di wilayah Natuna Timur dan Natuna Utara kini dilakukan oleh Indonesia.[7]

Tiongkok menjadikan dasar okupasi efektif dengan sejarahnya, Tiongkok berdalih kawasan Laut China Selatan dengan menciptakan batas laut mereka sendiri yang biasa disebut nine dash line[8], secara resmi Nine Dash Line telah muncul di peta resmi yang dibuat oleh Pemerintah Tiongkok sejak 1 Desember 1947, sebagai konsepsi bahwasannya seluruh wilayah Laut Cina Selatan merupakan wilayah yurisdikasi nera Tiongkok.[9]

Klaim sepihak tersebut mengatas namakan fakta dan sejarah perikanan tradisional negara Tiongkok bahwasannya mereka berdalih nelayan Tiongkok sudah sejak lama memanfaatkan wilayah Laut Cina Selatan sebagai area tangkap tradisionalnya.[10] Dengan demikian Tiongkok menggunakan pemahaman siapa yang lebih efektif untuk memanfaatkan wilayah Laut Cina Selatan itu sendiri.

Klaim yang dilakukan Tiongkok tersebut tidak serta merta membuat Indonesia mundur dari wilayah Laut Cina Selatan, ada beberapa hal yang bisa Indonesia ajukan apabila melihat dari prespektif Ocupation Effective dari sudut pandang sejarah yang dinilai menguatkan Natuna Utara memang harus diperjuangkan dan mengancam kedaulatan Indonesia.

 

Masa Kerajaan tradisional 

 

A. Kerjaan Sriwijaya

 

            Dalam catatan perjalanan I-Tsing melewati Palembang saat hendak menuju India mengatakan Kerajaan Sriwijaya sudah besar dan memiliki pengaruh yang sangat luar biasa di wilayah pelayaran melayu. Maharaja mampu menghimpun kekuatan mandala diwilayah pelayaran di semenanjung melayu dengan menjadikan para bajak laut menjadi pelayan-pelayan maharaja sehingga para pelayar dari seluruh dunia yang akan berniaga mendapatkan rasa aman dari pembajakan oleh bajak laut yang berada di semenanjung malaya.

 

            Prasasti Kanton pada 1079 menjelaskan betapa jauhnya sang Maharaja berlayar hingga ke daratan Tiongkok dalam rangka memperbaiki sebuah kuil yang dibangun sang Maharaja di daratan Tiongkok yaitu kuil agama Thao. Dalam prasasti tersebut menunjukkan kapal-kapal berlayar ke tujuan mereka masing-masing tanpa takut dengan bahay yangmereka hadapi sebelumnya.[11] Keberhasilan Maharaja Sriwijaya dalam mengatur wilayah pelayaran dari selat malaka pada zaman kejayaannya juga datang dari tulisan-tulisan orang Arab pada abad ke-9 dan ke-10 yang mana tidak tampak adanya catatan yang mengisahkan tentang bajak laut dalam perjalananya beerniaga di semenanjung malaya hingga negeri Tiongkok.

 

            Kekuasaan Maharaja saat itu berhasil mendiplomasikan kekuasaannya dengan melihat dari gengsi dan kuatnya kekayaan Kerajaan Sriwijaya mampu menyerap beberapa orang yang berpotensi menjadi bajak laut tetapi menjadi pelayan Maharaja, sehingga dapat Kerajaan Sriwijaya mampu menyediakan jalur pelayaran yang aman bagi seluruh pedagang yang berniaga di selat malaka hingga ke daratan Tiongkok.

 

            Natuna diasumsikan masuk dalam wilayah pengaruh Kerajaan Majapahit pada masa kejayaannya sebagaimana dari catatan penulis Arab abad ke-12 saat mulai berkurangnya pengaruh Kerajaan Sriwijaya, Ibnu Said menuliskan tentang adanya bajak laut dari Bentan (yang kita kenal sebagai Bintan saat ini) melemahnya pengaruh mandala Sriwijaya di wilayah Bintan terjadi dikarenakan kurang puasnya para datuk-datuk dengan menjalani gaya hidup bebas dengan merampok atau membajak kapal-kapal asing.[12]

 

B. Kerajaan Singasari dan Majapahit

 

            Selain Kerajaan Melayu pada abad ke-12 ada pula pengaruh yang sangat besar di wilayah Nusantara yang itu kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa, berdasarkan kata-kata Mpu Prapanca pada tulisannya 1365 "Sriwijaya sadar tentang adanya Kerajaan di Jawa yang mana di Pulau Jawa adalah yang lebih penting dari pulau-pulau yang banyak.

 

            Pada abad ke-12 saat pengaruh Kerajaan Sriwijaya mulai melemah Kartanegara menyerang melayu pada 1275, dikarenakan sedang lemahnya pengaruh Sriwijaya di semenanjung melayu sehingga Pasukan Kertanegara tidak mendapatkan hadangan dengan kekuatan penuh.

 

            Sumber yang terpercaya dan penemuan yang paling penting tentang Kerajaan Singasari dan Majapahit adalah Naskah Kakawin Nagarakertagama yang mana mengisahkan cukup detil tentang wilayah kekuasaan dan tatacara menjalankan kekuasaannya. Cukup jelas hampir seluruh wilayah Nusantara kala itu diduduki oleh Kerajaan Majapahit, pada abad ke-12 Kekaisaran Mongol di Tiongkok cukup melakukan invasi secara besar-besaran ke wilayah Nusantara dengan mengirimkan utusan-utusannya ke wilayah Nusantara dengan maksud untuk menaklukkan wilayah Nusantara dengan meminta upeti sebagai tanda takluk pada Kerajaan Mongol.

 

            Usaha Mongol tersebut berhasil ditolak oleh Raja Kertanegara yang saat itu memimpin Kerajaan Singasari, saat utusan mongol Meng-qi datang kehadapan Raja Kertanegara telinganya dipotong dan disuruh untuk kembali ke mongol untuk memberitakan kepada Kubilaikhan bahwasannya Raja Kertanegara enggan tunduk kepada Mongol.

 

            Kerajaan Singasari pada akhirnya kalah oleh Jayakatwang yang membelot, namun anak dari Raja Kertanegara yaitu Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit. Setiba Prajurit mongol di tanah jawa yang tadinya ingin menyerang Kerajaan Singasari ternyata melihat Singasari runtuh.

 

 

(Gambar 1)

 

            Dalam Prasasti Kudadu yang ditemukan di Gunung Butak (Gambar 1), dijelaskan bahwasannya Raden Wijaya meminta bantuan Prajurit Mongol untuk mengembalikan tahtanya di Singasari dengan melawan Jayakatwang dengan perjanjian apabila berhasil menaklukan Jayakatwang maka Raden Wijaya beserta Majapahit mau tunduk pada Kerajaan Mongol, pada kenyataannya setelah Jayakatwang berhasil dibunuh Kerajaan Majapahit tidak benar-benar tunduk malah sebaliknya para prajurit dari Mongol dihabisi. Dengan demikian Kekaisaran Mongol Tiongkok yang dipimpin oleh Khubilaikan tidak pernah menduduki wilayah nusantara.

 

 

(Gambar 2)

 

            Dalam tulisan Nagarakertagama pupuh ke-13 dibahas pula tentang wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit yang mana didalamnya dituliskan (Gambar 2):

 

            Bait satu

 

"Lwir ning nusa pranusa sakahawat ksoni ri Malayu, nang Jambi mwang Palembang karitang i teba len Dharma raya tumut, Kandis Kahwas Manangkabwa ri Siyak i Rekan Kampar mwang i Pane, Kampe Harw athawe Mandahiling i tumihang parllak mwang i Barat"

 

            Bait Dua

 

"Hi lwas lawan Samudra mwang i Lamuri Batan Lampung mwang i Barus, yekadinyang watek bhumi Malayu satanah kapwamateh anut, len tekang nusa Tanjung nagara ri Kapuhas lawan ri Katingan, Sampit mwang Katulingga mwang I Kutawaringin Sambas mwang I Lawai"

 

            Dalam Nagarakertagama menyebutkan beberapa wilayah di Melayu yang berhasil ditaklukkan termasuk di dalamnya adalah Bintan dan Batam. Diasumsikan wilayah Natuna dan sekitarnya juga telah masuk dalam wilayah Kerajaan Majapahit karena wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit sampai Champa di Vietnam yang juga tertulis dalam Nagarakertagama pupuh ke-15.

 

Masa Hindia Belanda

 

  • Kerajaan Riau Lingga

(Gambar 3)

 Kerajaan Johor-Riau terbagi menjadi Kerajaan Johor dan Kerajaan Riau -- Lingga, Kerajaan Riau-Lingga memiliki wilayah yang meliputi dan tercantum dalam kontrak perjanjian antara Pemerintahan Hindia Belanda dengan Kerajaan Riau-Lingga. (Gambar 3)

 

Kerajaan Riau-Lingga:

 

  • Lingga serta pulau2 jang hampir sehingga selat Abang pulau Lingga, Pulau sebelah barat pulau Temian, Pulau sebelah timur selat Pintu, Pulau disebelah barat Selat Sebojo, Pulau sebelah barat selat Riau dan sebelah timur selat Durai dan sebelah selatan selat Singapura dan sebelah utara selat Abang, Pulau didalam selat Bulang, Pulau didalam selat Tiung, Pulau Kepala Kain, Pulau Bintan serta pulau-pulau jang hampir pulau Bintan, Pulau-pulau Anambas, Pulau Mubur, Pulau Mangkian Panda, Pulau-pulau Natuna Besar, Pulau Serungas, Pulau Serasan, Pulau Serungas.

 

Arsip Nasional Republik Indonesia
Arsip Nasional Republik Indonesia

(Gambar 4)

 Kepulauan Natuna sudah menjadi wilayah taklukan sejak kerajaan Riau-Lingga berdiri, dalam prepektif okupasi efektif Kerajaan Riau-Lingga berperan sangat penting dalam pemanfaatan Kepulauan Natuna sejak lama dengan ditemukannya beberapa perjanjian atau kontrak pengeboran Sumber Daya Alam (SDA) yang dilakukan di Kepulauan Natuna dengan melibatkan beberapa pihak investor dan ditandatangani oleh Kerajaan Riau-Lingga dan diketahui oleh Kerajaan Belanda atau Gubernur Hindia Belanda (Gambar 4).

 

Arsip Nasional Republik Indonesia
Arsip Nasional Republik Indonesia

(Gambar 5)

Dalam beberapa naskah juga menjelaskan sudah adanya kesepakatan hukum yang dilakukan oleh Kerajaan Riau-Lingga dengan wilayah Taklukannya (Gambar 5), tidak sedikit juga beberapa pedagang cina yang akhirnya menetap di wilayah Kerajaan Riau-Lingga dan melakukan tindak pidana, dengan demikian kami menemukan beberapa naskah tentang hukuman bagi orang-orang cina yang melanggar peraturan di wilayah kekuasaan Kerajaan Riau-Lingga.

 

Arsip Nasional Republik Indonesia
Arsip Nasional Republik Indonesia

(Gambar 6)

 Kerajaan Riau-Lingga menjadi kerajaan yang diakui kedudukannya oleh pemerintahan Hindia Belanda tercatat dalam beberapa naskahnya yang menyebutkan gubernur hindia belanda sebagai "Yang Dipertuan Besar", serta kami menemukan catatan naskah tentang catatan uang kas dari Kerajaan Riau-Lingga yang di dalamnya tertera tentang mutasi keuangan kerjaan. Ada beberapa mutasi keuangan (Gambar 6)  yang keluar untuk memberikan upeti kepada Gubernur Nederland Indische (Pemerintahan Hindia-Belanda).

 

B. Peran Hindia Belanda

 

Kerajaan Riau Lingga yang mengakui Pemerintahan Hindia-Belanda menjadikan sistem dan tatanan Kerajaan Riau-Lingga mengikuti aturan dan ketentuan Hindia-Belanda, dalam beberapa naskah yang mana mengatakan wilayah taklukan Kerajaan Riau-Lingga dibawah kekuasaan Hindia-Belanda.

 

            Wilayah kekuasaan Riau-Lingga seakan menjadi kaki dan tangan pemerintahan Hindia Belanda di wilayah semenanjung Riau hingga ke Kepulauan Natuna, sehingga apapun hal-hal yang terjadi didalam pemerintahan Kerajaan Riau-Lingga secara bersurat dilaporkan kepada Gubernur Jenderal Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia.

 

Arsip Nasional Repulik Indonesia
Arsip Nasional Repulik Indonesia

(Gambar 7)

 Dapat dilihat dari sejak pisahnya Kerajaan Johor dengan Kerajaan Riau-Lingga Belanda sudah mengakuisisi Riau-Lingga menjadi wilayah persemakmurannya, dengan kontrak yang mana Kerajaan Riau-Lingga dan wilayah taklukannya mengakui Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia (Gambar 7).

 

Pasca Merdeka

 

A. Konferensi Meja Bundar

 

            Setelah Indonesia Merdeka tidak serta merta Republik Indonesia diakui oleh belanda dengan melalui serangkaian panjang kesepakatan antara Belanda dan Indonesia, sampai pada akhirnya pada Konferensi Meja Bundar (KMB) Belanda mengakui adanyaa Republik Indonesia Serika serta wilayah kedaulatannya.

 

            Dalam KMB ini juga hadir daripada utusan-utusan setiap dewan perwakilan atau Majelis Permusyawaratan Federal wilayah jajahan belanda yang saat itu disebut Bijeenkomst voor Federale Overlag (B.F.O), dari Riouw juga mengirimkan utusan B.F.O Riouw untuk ikut serta dalam KMB di Denhag.

 

   

Arsip Nasional Repulik Indonesia
Arsip Nasional Repulik Indonesia

(Gambar 8)

            Namun, sebelum dilaksanakannya KMB di Denhag ternyata terlebih dahulu B.F.O seluruhnya melaksankan pertemuan yang dinamakan Konperensi Inter-Indonesia yang dipimpin Muhammad Hatta dengan menghasilkan beberapa kesepakatan termasuk di dalamnya setujunya para B.F.O ini bergabung dengan Republik Indonesia Serikat (Gambar 8).

 

            Setelah Indonesia merdeka demi menjaga kedaulatannya Indonesia secara sah mendaftarkan Natuna Ke Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 18 Mei 1965 dan termasuk dalam Provinsi Kepulauan Riau, dengan demikian dunia internasional mengakui bahwasannya Pulau Natuna milik Indonesia.

 

B. Deklarasi Djuanda

 

Indonesia pernah menerapkan sistem demokrasi liberal dengan pemerintahan parlementer yakni pada tahun 1950-1959 tercata ada tujuh kabinet yang menjalankan roda pemerintahan dan Kabinet Djuanda atau Kabinet Karya merupakan kabinet terakhir pada demokrasi parlementer. Pada awal masa kerjanya mempunyai dan menentukan lima program yang disebut sebagai pancakarya yang meliputi Pertama, membentuk dewan nasional, Kedua normalisasi keadaan Republik Indonesia, Ketiga melanjutkan pembatalan KMB, Keempat memperjuangkan Irian Barat, Kelima mempercepat pembangunan.[13]

 

Program kerja tersbut kemudian diuraikan kembali menjadi beberapa kebijakan yang mana salah satunya tentang kebijakan politik di sektor maritim yakni yang biasa kita kenal denga Deklarasi Djuanda yang dikeluarkan paa tanggal 13 Desember 1957 yang mengatur kebijakan tentang batas wilayah laut Indonesia, hal ini dilakukan untuk mempertahankan Indonesia sebagai negara kesatuan dan juga untuk merubah batas laut teritori Indonesia.[14]

 

Dengan adanya deklarasi Djuanda Indonesia resmi menjadi sebuah negara archipelago atau negara kepulauan melalui usulan dari Mr. Mochtar Kusumaatmajaya[15] Kemudian Deklarasi Djuanda dibawa kedalam forum internasional yakni ke dalam United Nation Conference Law of The Sea (UNCLOS).

 

C. United Nation Convention on The Law Of The Sea (UNCLOS) 1982

 

Adapun beberapa isi kesepakatan yaitu, penetapan Indonesia sebagai negara kepualauan dan negara pantai berhak atas laut teritorial sejauh 12 mil laut, zona tambahan sejauh 24 mil laut, Zona Ekonomi Ekslusif sejauh 200 mil laut dan landas kontinen sejauh 350 mil atau lebih yang lebar masing-masing zona tersebut diukur dari referensi yang disebut garis pangkal.[16]

 

            Kedaulatan wilayah perairan Indoensia semakin luas dibandingkan sebelumnya, dengan demikian Indonesia memiliki pulau sebanyak 17.480 Pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km, sehingga secara geografis Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki total wilayah 7,9 juta km2, yang terdiri dari 1,9 juta km2 daratan dan 5,8 juta km2 lautan. Hal tersebut akan berdampang kepada keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, wilayah Indonesia semaki bertambah menyebabkan wilayah laut lepas tidak ada lagi dan bersatu menjadi kedaulatan wilayah perairan Indonesia.[17]

 

            Beberapa keuntungan dari adanya kesepakatan UNCLOS 1982 bagi Indonesia yang menjadikan Indonesia sebagai kawasan strategis di wilayah Asia Tenggara. Karena, Indonesia berada pada posisi yang strategis bagi kegiatan ekonomi, sosial, budaya yang mana kita ketahui indonesia berada di tengah-tengah persilangan antara dua benua yaitu Benua Asia dan Benua Australi, berada pada dua samudera yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia serta menjadi negara yang menjadi perlintasan kapal-kapal asing dalam malekukan aktifitas perekonomiannya.[18] Tetapi dengan posisi yang sangat strategis ini juga memunculkan peluang terjadinya konflik dengan negara tetangga baik yang berbatasan langsung atau dengan negara yang memiliki kepentingan.[19] Indonesia mulai meratifikasi hasil UNCLOS 1982 melalui Undang Undang No. 17 Tahun 1985 sejak saat itu Indonesia tunduk pada Hukum UNCLOS 1982.

 

Kesimpulan

 

            Dalam hal ini Tiongkok yang mengklaim hampir seluruh bagian Laut Cina Selatan berdasarkan pada jejak historisnya dengan mengklaim lebih efektif sudah memanfaatkan Laut Cina Selatan sejak awal abad-12 berdasarkan catatan-catatan kekaisaran terdahulunya, yang mana dasar tersebut tidak sertamerta disepakati.

 

            Melihat sejarah Indonesia pada zaman kerajaan tradisional dan dilanjutkan pada zaman Hindia Belanda sangat jelas Indonesia lebih kuat dalam fakta sejarahnya telah mejadikan Perairan Laut Cina Selatan bagian Selatan atau Perairan Natuna Utara sebagai wilayah pengaruh Kerajaan Sriwijaya dan menjadi wilayah taklukan Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Riau-Lingga.

 

apabila mengacu pada Okupasi Efektif dalam konsep penguasaan wilayah Indonesia diuntungkan dengan adanya sistem dan adanya pemanfaatan di wilayah perairan Natuna tersebut, dengan demikian pula sudut pandang atau prespektif sejarah dapat berperan sebagai hal preventif menghadapi ancaman kedaulatan di wilayah perairan Natuna Utara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun