Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Praktik Nilai-Nilai Kekeluargaan Membutuhkan Keteladanan

30 November 2024   20:58 Diperbarui: 30 November 2024   20:58 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW


Di dalam wadah apa pun yang fondasinya kekeluargaan, praktik nilai-nilai kekeluargaan di tengah masyarakat kian terkikis. Semakin banyak anggota kekeluargaan yang tidak mau menerima, tidak ada kasih sayang, tidak mau berbagi, tidak mau membantu, tidak jujur, tidak komunikatif, tidak menghormati, tidak menghargai, tidak bersyukur, tidak tahu terima kasih, tidak tahu diri, tidak peduli, tidak simpati, tidak empati, dan tidak rendah hati.

(Supartono JW.30112024)

Kekeluargaan itu, langgeng. Langgeng adalah kekal, abadi, tidak ada habisnya. Sementara, kekeluargaan bermakna hubungan kekerabatan atau hubungan antara orang-orang yang memiliki asal-usul silsilah yang sama. Silsilah tersebut bisa berupa keturunan biologis, sosial, maupun budaya.

Makna kekeluargaan juga dapat diartikan sebagai rasa saling memiliki, saling membantu, dan saling mengasihi, yang terbentuk antara anggota keluarga atau masyarakat. Kekeluargaan merupakan sikap yang dapat mempersatukan anggota keluarga melalui kepercayaan, baik secara sadar maupun tidak.

Nilai-nilai kekeluargaan dalam kehidupan sehari-hari, di antaranya:
Saling menghargai, Kerja sama, Toleransi, Gotong royong, Saling membantu, Penerimaan dan kasih sayang.

Karena itu, nilai-nilai kekeluargaan bukan hanya menjadi panduan moral, tetapi juga fondasi utama dalam membangun hubungan yang sehat dan harmonis khususnya dalam keluarga. Umumnya dalam kegiatan-kegiatan sosial, olahraga, dan  kemasyarakatan yang seirama, tulus, dan ikhlas.

Mengutip dari buku "Pendidikan Karakter Tanggung Jawab Siapa", I Wayan Darna, (2023), makna nilai kekeluargaan adalah sebuah sikap kepercayaan yang secara sadar ataupun tidak yang dapat mempersatukan anggota dalam keluarga.

Selain itu, dari berbagai literasi, nilai-nilai kekeluargaan yang sudah dipraktikan oleh orang-orang yang "sudah selesai dengan dirinya sendiri" antara lain:

(1) Sikap Menerima dan Kasih Sayang

Sesuai nilai-nilainya, dalam kekeluargaan, antar anggota, saat menerima dan mengasihi, apa adanya, tanpa memandang perbedaan pendapat atau kekurangan. Menciptakan ikatan yang kuat di antara anggota keluarga. Membaca dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Memaafkan kesalahan, dan memberikan dukungan dengan kasih sayang. Hingga tercipta lingkungan yang hangat bagi setiap anggota keluarga.

(2). Sikap Berbagi dan Saling Membantu

Berbagi dan saling membantu adalah prinsip untuk menopang kebersamaan dalam keluarga. Selalu bersatu saat mengatasi kesulitan atau merayakan kebahagiaan bersama, bukti kuatnya ikatan emosional dan rasa saling ketergantungan.

Melalui tindakan gotong royong dan berbagi, beban hidup lebih ringan. Kebersamaan selalu bermakna.

(3). Sikap Jujur dan Komunikatif

Kejujuran mutlak menjadi fondasi dalam membangun hubungan yang sehat dan erat di dalam keluarga. Dengan berkomunikasi secara jujur, keluarga dapat memahami perasaan dan kebutuhan satu sama lain, serta menyelesaikan konflik dengan lebih efektif.

(4). Sikap Menghormati dan Menghargai

Menghormati dan menghargai perbedaan menjadi landasan untuk menciptakan lingkungan yang harmonis dalam keluarga. Dengan menghargai privasi dan hak setiap anggota keluarga, menciptakan suasana yang saling menghargai dan nyaman.

(5). Sikap Bersyukur, Tahu Berterima Basih

Keluarga yang harmonis, tercipta karena di antara anggotanya tertanam sikap pandai bersyukur dan tahu berterima kasih. Hidup tidak dapat sendiri. Keberhasilan anggota keluarga dan kekeluargaan, tentu karena andil anggota yang lain. Karena itu, sikap pandai bersyukur dan tahu terima kasih, melanggengkan kekeluargaan.

Sebab, sikap bersyukur adalah ungkapan rasa terima kasih atas segala nikmat yang telah diberikan, seperti, ucapan terima kasih kepada Tuhan, ucapan rasa sayang kepada orang terdekat, menuliskan hal-hal kecil yang membuat tersenyum setiap hari dalam jurnal, nerbagi dengan sesama, merawat dan menjaga berbagai hal yang sudah didapat, mengontrol pikiran agar tidak negatif.

Agar kekeluargaan langgeng, maka hindarkan, jauhkan keluarga dari orang yang tidak tahu berterima kasih, karena sama seperti virus, parasit, penyakit.

(6). Sikap Tahu Diri

Kekeluargaan yang langgeng, ciri-ciri anggotanya tahu diri. Tahu siapa dirinya. Tahu asal muasalnya. Tahu berada dalam lingkungan apa. Tahu situasi dan kondisi. Tahu anggota yang lain.

Sikap tahu diri adalah sikap yang berarti memahami keadaan dan kedudukan diri sendiri, termasuk kelebihan dan kekurangannya. Orang yang tahu diri juga dapat menyesuaikan hak dan kewajiban dengan kedudukannya di hadapan orang lain.

Orang yang tahu diri, maka,
berhati-hati dalam berucap dan berbuat, mempertimbangkan situasi dan siapa yang sedang dihadapi, tidak bertindak melebihi kapasitas atau berusaha mengambil peran yang bukan haknya, tidak merendahkan orang lain atau meremehkan kemampuan orang lain, menerima kelemahan dengan lapang dada dan berusaha memperbaikinya.

(7). Sikap Peduli, Simpati, dan Empati

Peduli, simpati, dan empati merupakan perasaan yang dapat membuat seseorang menjadi penuh kasih dan memberikan dukungan kepada orang lain.

Peduli adalah sikap memperhatikan dan bertindak proaktif terhadap kondisi atau keadaan di sekitar kita.

Simpati adalah perasaan kasihan dan sayang atas kejadian yang menimpa seseorang. Simpati biasanya tidak mendalam, karena hanya sebatas bersifat merasa iba.

Empati adalah kemampuan seseorang untuk memahami dan berbagi apa yang terjadi pada orang lain. Empati memungkinkan seseorang untuk menempatkan diri pada posisi orang lain dan berbagi secara langsung kesedihan mereka.

(8). Sikap Rendah Hati

Rendah hati adalah sifat tidak sombong atau angkuh, dan tidak memandang rendah orang lain. Orang yang rendah hati biasanya bersikap tenang, sederhana, dan menjauhi perbuatan sombong. Sikapnya: gemar membantu tanpa pamrih, berbicara dengan hormat, tidak membandingkan diri dengan orang lain, senang menerima masukan, mengakui kesalahan memberi penghargaan kepada orang lain, selalu mengucapkan terima kasih, memaafkan orang yang telah berbuat salah, lebih banyak mendengar dibandingkan berbicara, dan menghormati pilihan dan keyakinan orang lain.

Dan, masih banyak praktik nilai-nilai kekeluargaan lainnya yang membuat kekeluargaan langgeng.

Miskin keteladanan

Sayangnya, seiring perkembangan zaman, praktik nilai-nilai kekeluargaan di tengah masyarakat kian terkikis.   Semakin banyak anggota kekeluargaan yang sikapnya terbalik.

Tidak mau menerima, tidak ada kasih sayang, tidak mau berbagi, tidak mau membantu, tidak jujur, tidak komunikatif, tidak menghormati, tidak menghargai, tidak bersyukur, tidak tahu terima kasih, tidak tahu diri, tidak peduli, tidak simpati, tidak empati, dan tidak rendah hati.

Kegagalan para anggota dalam kekeluargaan, melanggengkan kekeluargaan, penyebabnya seperti masih gagal dalam agama dan pendidikan, sehingga rendah SQ, IQ, dan EQ.

Parahnya lagi, di negeri ini juga miskin keteladanan. Miskinnya keteladanan karena sampai  hal etika dan moral saja ditanggalkan oleh orang-orang yang mencari makan dari uang rakyat, memakai jalur haram. Yang diincar adalah jabatan pemimpin negeri, pemimpin daerah, dan parlemen. Tetapi selalu menggunakan kedok amanah.

Maka, lihatlah negeri ini. Meski sudah 79 tahun merdeka. Lepas dari penjajahan kolonialisme. Rakyat Indonesia justru "bak lepas dari mulut harimau, masuk kedalam mulut buaya". Nasibnya seperti luput dari satu bahaya, jatuh kembali ke bahaya yang lain.

Bahaya yang pertama, dijajah oleh penjajah dari negara lain (kolonialisme) membuat rakyat menderita, miskin, hingga rela mengorbankan darah dan nyawanya untuk merebut kemerdekaan.

Bahaya kedua, masuk cengkeraman buaya, penjajah dari orang-orang "tamak dan rakus" di negeri sendiri, yang selalu bernyanyi mendewakan etika, moral, dan amanah demi mendapatkan suara rakyat yang konsisten dibikin bodoh, miskin, dan menderita. Lalu dimanfaatkan saat mereka butuh suara untuk kedudukan dan tahta.

Diguyur bansos dan rupiah sekadarnya dengan skenario TSM. Lalu mudah ditebak. Politik utang budi dan pandai bersyukur pun, jitu membangkitkan etika dan moral yang benar dan baik dari rakyat jelata. Miskin, bodoh, menderita.  Belum tentu hari ini dapat makan. Maka, bansos dan lembar rupiah sekadarnya, cukup buat menyentuh mata hati dan pikiran, sehingga akan membalasnya dengan mencoblos "si penjajah bertopeng" yang baik hati dan baik budi itu, di TPS-TPS seantero negeri.

Terlebih, gambar-gambar yang dianggap baik hati itu, didukung oleh sosok-sosok baik hati sebelumnya, yang levelnya sudah "ulung menipu dengan topengnya".

Atas miskinnya keteladanan tersebut. Terutama yang dipertontonkan oleh manusia-manusia "penjajah" yang tidak tulus dan ikhlas terjun ke dunia politik. Karena jalur politik bagi mereka hanya sekadar kendaraan untuk mewujudkan cita-cita menjadi pemimpin demi kepentingan dan keuntungan mereka sendiri.
Saat apa yang mereka dapatkan kurang. Segala muslihat dilakukan sampai yang terang-terangan "korupsi".

Dampak apa yang terjadi dalam masyarakat kita? Bila kita tanya kepada rakyat, terutama rakyat yang sudah cerdas pikiran dan hatinya?

Dari seluruh persoalan bangsa dan negara ini, karena perilaku penjajah pribumi ini, yang terus mau menjajah dengan "skenariomya", satu di antara masalah yang sulit tertolong di masyarakat kita adalah hal tentang kekeluargaan.

Di dunia politik, kekeluargaan yang dipertunjukan oleh para aktornya baik di lingkungan masyarakat mau pun di layar kaca, nampak harmonis. Tapi semua itu hanyalah SANDIWARA, hanya politik mereka. Yang bahkan dalam hitungan detik, kekeluargaan yang harmonis, dapat langsung terpecah. Kawan menjadi lawan.  Hal ini pun justru dibenarkan oleh para aktornya. Katanya dunia politik memang begitu.

Ujungnya, di dalam wadah apa pun yang fondasinya  kekeluargaan, praktik nilai-nilai kekeluargaan di tengah masyarakat kian terkikis.   Semakin banyak anggota kekeluargaan yang sikapnya terbalik.

Tidak mau menerima, tidak ada kasih sayang, tidak mau berbagi, tidak mau membantu, tidak jujur, tidak komunikatif, tidak menghormati, tidak menghargai, tidak bersyukur, tidak tahu terima kasih, tidak tahu diri, tidak peduli, tidak simpati, tidak empati, dan tidak rendah hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun