Dalam hal penyosialisasiannya, misalnya, pada saat Kurikulum 2013, guru-guru difasilitasi dengan pelatihan dan pendampingan berjenjang oleh pemerintah. Namun tidak pada Kurikulum Merdeka. Tidak ada pelatihan semacam itu. Bahkan, guru dituntut untuk mempelajarinya secara mandiri lewat platform Merdeka Mengajar (PMM) yang telah disediakan pemerintah.Â
Pada tahap awal, tahap pengenalan kurikulum, persoalan besar sesungguhnya telah muncul. Berdasarkan data yang pernah dirilis oleh Kemendikbudristek, ada 60% guru yang masih terbatas atau belum menguasai teknologi. Hal itu terbukti dari betapa tidak efektifnya pembelajaran jarak jauh dua tahun terakhir.
Pembelajaran daring berjalan seadanya saja. Akibatnya, anak-anak mengalami learning loss yang cukup dalam. Jika mengacu pada data Kemendikbudristek tersebut, artinya hanya sekitar 40% saja guru yang dapat mempelajari Kurikulum Merdeka tanpa mengalami kendala.Â
Selebihnya, butuh sentuhan dari pihak lain. Dinas-dinas pendidikan mungkin dapat mengambil peran di sini. Berbagai cara dan strategi harus dibuat untuk dapat memastikan seluruh guru di wilayahnya telah mempelajari kurikulum baru itu dengan baik.
Apakah hal itu tidak mudah. Tentu sulit. Sebab sangat mungkin ada daerah yang kurang peduli untuk menggerakkan dan memfasilitasi para tenaga pendidiknya untuk belajar. Komitmen yang kuat dari pemerintah daerah untuk memajukan pendidikan di daerahnya sangat dibutuhkan di sini.Â
Selama ini kita melihat, ada banyak daerah yang tidak serius meningkatkan kualitas pendidikan daerahnya. Harus diakui, ini menjadi salah satu efek buruk otonomi daerah. Hal lain yang perlu disoroti dari penerapan Kurikulum Merdeka adalah adanya kewajiban bagi sekolah untuk melaksanakan proyek penguatan profil pelajar Pancasila.Â
Untuk SD, sebanyak 20% dari jumlah beban jam belajar, wajib dialokasikan untuk tugas proyek. Untuk tingkat SMP meningkat lagi menjadi 25%, Dan, SMA 30%. Sementara di Kurikulum 2013 tidak ada kewajiban untuk melaksanakannya.
Sesungguhnya, kewajiban proyek ini, jika dilaksanakan dengan perencanaan dan eksekusi yang tepat tentunya menjadi salah satu cara terbaik untuk meningkatkan kemandirian, kemampuan bernalar kritis, dan kemampuan berkolaborasi anak didik.Â
Lagi-lagi, masalahnya, sudah siapkah guru-gurunya? Mungkin bagi sebagian kecil guru, sudah terbiasa dengan penugasan proyek, tetapi bagi yang lain, ini masih sesuatu yang teramat baru. Pemerintah harus menyadari hal ini. Sebab tidak mudah mengubah pola pikir guru serta mengharapkan mereka dapat keluar dari zona nyamannya, dari yang sebelumnya tidak pernah melaksanakan penugasan proyek menjadi sebuah keharusan.Â
Kita sudah melihat pada pelaksanaan kurikulum-kurikulum sebelumnya, cara mengajar kebanyakan guru, apa pun kurikulumnnya, tidak banyak berubah. Baik itu Kurikulum 2013, KTSP, KBK, bahkan CBSA.Â
Rendahnya budaya literasi kita mungkin menjadi salah satu penyebabnya. Saat ini, membaca belumlah menjadi sebuah tradisi bagi banyak orang di negeri ini, tak terkecuali para guru. Maka, sesungguhnya, sebelum mengubah kurikulum, pemerintah seharusnya terlebih dulu mengatasi masalah pelik ini.Â