Bahkan banyak tugas-tugas pokok guru yang mereka abaikan hanya untuk mengejar status lulus.
Sampai di sini, dipahami bahwa kebijakan Kemendikbud-Ristek sebagian besar energi dikerahkan kepada guru penggerak. Iming-iming calon kepala sekolah, bahkan perubahan nama kantor menjadi serba guru penggerak hanya akan berdampak pada kuantitas yang belum tentu berkelanjutan.
Ada logika, pola pembelajaran daring melalui LMS dengan sesekali pertemuan luring tidak sepenuhnya mengubah pola pikir dan pola tindak. Apalagi kriteria lulus yang lebih bersifat administratif belaka hanya mengejar kuantitas dan sangat jauh dari cita-cita perubahan paradigma pembelajaran yang berkualitas.
Maaf, bila terus dianalisis di setiap episodenya, sudah berapa episode? Tentu akan semakin nampak pencapaian kuantitasnya saja, tidak masuk pada kualitas. Sehingga, salah satu dampaknya, lihatlah! Waktu anak-anak Indonesia bermasyrakat berkurang, anak-anak kehilangan waktu berkegiatan nonformal sesuai passion dan hobinya, yang mustahil dapat diperoleh oleh para gurunya yang belum tentu profesional dalam hal minat dan bakat. Gurunya saja, banyak yang tidak memiliki kompetensi minta bakat, bagaimana mampu mengarahkan peserta didik dalam hal minat dan bakat?
Tetapi ikut terjebak dengan program merdeka belajar yang justru tidak membuat anak-anak Indonesia merdeka mengejar kompetensi minat dan bakatnya dari para profesional di kegiatan pendidikan nonformal kemasyarakatan.
Kembali ke Ki Hajar Dewantara
Bila tanggal lahirnya kini, diperingati yang ke-64 di Indonesia, tetapi isinya jauh panggang dari api? Apa Ki Hajar, tidak sedih? Pasti sedih, tetapi mau bagaimana lagi?
Pahamilah, tentang Ki Hajar Dewantara yang benar. Saya kutip dari laman kemdikbud, Ki Hajar Dewantara memiliki nama asli Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Pada 3 Februari 1928, Raden Mas Suwardi Suryaningrat berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara. Menurut Ki Utomo Darmadi, Hadjar artinya pendidik, Dewan artinya utusan, dan Tara artinya tak tertandingi. Sehingga, makna dari nama Ki Hajar Dewantara adalah bapak pendidik utusan rakyat yang tak tertandingi menghadapi kolonialisme.
Ki Hajar Dewantara dilahirkan di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Ia berasal dari keluarga bangsawan. Ayahnya, Kanjeng Pangeran Ario Suryaningrat dan ibunya, Raden Ayu Sandiah, merupakan bangsawan Puro Pakualaman Yogyakarta. Dia mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa atau "National Onderwijs Institut Taman Siswa" di Yogyakarta pada 3 Juli 1922. Perguruan Nasional Taman Siswa membuka sekolah berbagai tingkat, mulai dari taman kanak-kanak hingga pendidikan menengah atas. Lahirnya Perguruan Nasional Taman Siswa mendapat sambutan baik dari masyarakat banyak. Ratusan Perguruan Nasional Taman Siswa tumbuh di mana-mana dijiwai oleh semangat cinta Tanah Air.
Ki Hajar Dewantara tutup usia di Padepokan Ki Hajar Dewantara pada 26 April 1959. Dia disemayamkan di Pendopo Agung Taman Siswa Yogyakarta. Ki Hajar Dewantara telah meninggalkan warisan yang begitu penting bagi Indonesia, khususnya di bidang pendidikan. Dia mewariskan sistem pendidikan dan semangat juang untuk anak-anak bangsa dalam menempuh pendidikan yang layak. Salah satu semboyannya adalah Tut Wuri Handayani yang saat ini menjadi semboyan pendidikan.
Oleh sebab itu, sesuai arti namanya, pendidik utusan yang tidak tertandingi, maka, meski tanggal lahirnya terus diperingati sebagai Hardiknas Indonesia, siapa pun Pemimpin dan Menteri yang menjabat pada saat Hardiknas diperingati, akan sulit, menerjemahkan bentuk peringatannya, sesuai harapan rakyat.