Saat bayi sudah menjadi anak, dan duduk di bangku sekolah maka, keterampilan dasar mendengar, membaca, berbicaranya dipakai hingga akhirnya dapat menulis.Â
Itulah proses bayi lahir bila dianalogikan dengan keterampilan berbahasa yang urutannya tidak dapat dibolak-balik, yaitu mendengar, membaca, berbicara, dan menulis (MMBM).Â
Bila hal ini betul-betul disadari oleh sertiap masyarakat, khususnya guru/dosen/para pelatih dll di sekolah/perguruan tinggi/tempat olahraga dll, maka setiap memberikan materi baik pelajaran maupun pelatihan atau ceramah atau nasihat, maka jangan asal langsung tancap gas.Â
Lihat dulu anak/siswa/mahasiswa/audiennya, apakah mereka benar-benar konsentrasi menjadi pendengar yang sudah benar? Inilah pemicu utama kegagalan pendidikan di Indonesia. Tetap memaksakan pembelaran/pelatihan/ceramah, meski siswa/mahasiswa/audien tidak dalam kondisi konsentrasi untuk mendengar.Â
Jadi apapun asupan materi/pelajaran/pelatihan/ceramah, hanya masuk telinga kanan terus kabur lewat telinga kiri. Tidak ada yang membekas, alias gagallah upaya pembelajaran itu.Â
Setali tiga uang, bila akhirnya Tae-yong menyebut "passing" pemain timnas sepak bola kita "gagal" tak ubahnya maka sangat signifikan dengan kegagalan cara pendidikan dasar keterampilan berbahasa di Indonesia, telah gagal dari pondasi: mendengar dan membaca.
Memperhatikan keterampilan mendengar siswa/mahasiswa/audien, bukan hanya tanggung jawab guru/dosen bahasa Indonesia, namun menjadi tanggungjawab semua guru/dosen bidang studi lain, pun para pelatih olahraga, seni, penceramah dll.Â
Setop bicara, bila ada siswa/mahasiswa/audien yang tidak memperhatikan, tidak menyimak. Budaya dan kebiasaan ini sangat lemah. Sampai anak-anak ini lolos menjadi orang dewasa. Keterampilan mendengar/menyimak yang menjadi dasar kualitas individu manusia Indonesia terus terabaikan, bahkan di kelas dan situasi formal, maka bagaimana anak-anak hingga orang dewasa atau masyarakat Indonesia akan terbudaya menjadi pembaca yang benar?Â
Dalam situasi wabah corona sekarang ini, kita dapat melihat wujud lemahnya keterampilan mendengar dan membaca masyarakat Indonesia. Masyarakat itu khususnya, tadinya adalah bayi, anak-anak, siswa, mahasiswa yang telah mengenyam bangku pendidikan. Bagaimana dengan masyarakat yang tidak mengenyam bangku pendidikan?Â
Masyarakat yang mengenyam bangku pendidikan saja gagal dalam keterampilan mendengar dan membaca, apalagi dalam keterampilan berbicara dan menulis.Â
Tak paham, tapi sok tahu