Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memahami Keterampilan Berbahasa Rakyat Indonesia, di Tengah Wabah Corona

25 Maret 2020   11:01 Diperbarui: 25 Maret 2020   13:22 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: doc.Supartono JW

Bukti-buktinya misalnya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam sepak bola nasional, selama puluhan tahun timnas di besut pelatih lokal maupun asing, baru Shin Tae-yong lah yang berani mengungkap dan menyebut bahwa menyoal "passing" saja pemain nasional masih salah. 

Lebih tepatnya kesalahan ini sudah terjadi sejak mereka di bina di kawah candradimukanya sepak bola usia dini, yaitu di pembinaan sepak bola akar rumput (usia dini dan usia muda). Mengapa? 

Tentu karena kemampuan mendengar dan membaca dalam proses latihan lemah, yang dipastikan pula sumber kelemahannya adalah dari para pelatih yang belum mumpuni dalam teknik mentrasfer ilmu yang seharusnya layaknya sebagai guru di sekolah formal. Buntutnya, dasarnya saja salah, maka ujungya juga kaprah.

Wahai PSSI, tidak cukup untuk membuat sepak bola nasional berprestasi, para pelatih, khususnya di sepak bola akar rumput hanya berbekal lisensi D atau C atau bahkan B atau A, yang diperoleh hanya dalam pelatihan hitungan minggu dan bulan. 

Ini menangani anak usia dini, yang tidak hanya menyoal terampil teknik. Tetapi seorang pelatih sepak bola atau olah raga lainpun wajib terampil dalam ketampilan berbahasa dan keterampilan mengajar terutama aspek pedagogi. 

Lihat, urusan "passing" saja sudah salah dari dasar! Karena para pemain sepak bola kita tidak dibudayakan untuk menjadi pendengar yang benar dan pembaca atau pemaham yang benar (baca: pembelajar yang benar). 

Bagaimaan bila program Mas Nadeim, Merdeka Belajar benar-benar direalisasikan. Tahukan Mendikbud kita atas kondisi kegagalan ini akarnya dari mana?

Lalu, fakta bahwa kemampuan baca masyarakat Indonesia rendah pun, telah gagal sejak mereka masih duduk di bangku pendidikan dasar dan menengah (SD, SMP, SMA). 

Bahkan peringkat Indonesia merosot dalam evaluasi Programme for International Student Asessment (PISA). Sejak empat tahun terakhir, posisi Indonesia menurun di semua bidang yang diujikan: membaca, matematika, dan sains. 

Tes PISA yang menguji anak-anak sekolah berusia 15 tahun di berbagai negara, dalam dirilis terbaru, Selasa, 3 Desember 2019, skor membaca Indonesia ada di peringkat 72 dari 77 negara, lalu skor matematika ada di peringkat 72 dari 78 negara, dan skor sains ada di peringkat 70 dari 78 negara. 

Tiga skor itu kompak menurun dari tes PISA 2015. Kala itu, skor membaca Indonesia ada di peringkat 65, skor sains peringkat 64, dan skor matematika peringkat 66. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun