Tumben, sore ini langit kelihatan begitu cerah serta bersih, anginpun bertiup semilir lembut membelai.
Memang, sudah sejak tiga hari yang lalu, Surabaya terus diguyur hujan lebat, dan cuaca langsung turun menjadi  25C, hawa jadi terasa sejuk segar,  karena biasanya 32C.
Dan aroma sedap sate ayam, sudah mengudara disekitar kediamanku.
Tidak jauh dari rumahku memang ada depot sate ayam Madura yang lumayan terkenal.
Irisan daging ayamnya tebal lebar memanjang ala sate Ponorogo dan empuk, dengan bumbu melimpah legit serta irisan brambang dan sayatan jeruk, Â sambal hanya ditaruh disendok pemesan.
Aku suka dengan  lontongnya yang  kehijauan dengan aroma khas daun pisang, padat kenyal, kombinasi yang pas mantap dengan sate yang menggiurkan.
Jadi tiap hari, sekitaran jam 3 sore, depot itu sudah mulai dibuka, ditandai dengan bau asap sate yang menyebar disekitar kompleks perumahanku.
Tertarik oleh magnet sate ayam yang menggigit, begitu saja aku sudah melangkah keluar rumah, bilang pada mbok Rah, bahwa mau beli sate ayam dekat situ.
Depot itu tidak jauh dari rumahku, jalan kaki saja hanya 15 menit.
Keadaan masih sepi, bahkan ibu Madura sepuh, buk Ropi'ah, pemiliknya yang selalu dibantu oleh anak dan dua kemenakannya, sedang asyik berbenah dan menata ini itu.
Segera senyumnya sumringah menyambut dan mempersilahkan aku duduk ditempat biasa.
Aku sekeluarga memang sudah lama berlangganan untuk kadang mengudap dan njajan di depot itu, Â sejak pindah kedaerah sini, saat suami alm. masih ada.
"Seperti biasa ya bu ?" aku mengangguk, dia segera mengambil sate mentok ayam 7 tusuk dan mulai membakarnya.
"Tolong dibakarkan lagi 15 untuk rumah, campuran saja, lontongnya 5 ya " kataku menambahkan.
Anaknya segera menyiapkan teh panas, juga sepiring kerupuk serta kacang goreng renyah dimejaku, untuk cemilan.
"Kok kacang mentenya gak ada ya buk ?" tanyaku.
"Besok si Barokah baru bisa datang bu, bawa lorjuk dan grinting udang, juga krupuk, mlinjo dan rengginang. Mudah2-an bawa mente, mahal sih sekarang. Kalau jagung manisnya, belum panen bu, mungkin bulan depan  ..." aku mengangguk dan tersenyum.
Barokah itu anaknya yang ada di Madura, sebulan sekali datang ke Surabaya, dengan membawa aneka kuliner khas daerahnya, Â yang selalu bikin ketagihan ... aku saja yang harus waspada menjaga kolesterolku, jangan sampai keterusan waktu ngemilnya.
Tiba2 ada sambaran petir menggeledek memecah dilangit, semua kaget.
Cuaca cepat berubah, langit yang tadi cerah jadi kelabu gelap.
"Adoo- doo, susah bu musim ujan gini, kemarin itu kita sampek hampir jam sebelas malem baru abis satenya, ... " keluh buk Ropi'ah.
Dan hujan seperti dicurahkan dari langit, disertai petir dan geledek yang membahana.
Tetapi sate dan lontong sudah kadung tersedia dimeja.
Jadi apa boleh buat, harus segera disantap.
"Nanti saya antar pulangnya bu, saya sedia payung besar, ..." kata buk Ropi'ah sambil memandang langit yang tiba-tiba murka.
Seorang pembeli datang dengan payung yang tampak basah kuyup, segera disambut oleh buk Ropi'ah.
" Bapak, ... adoo, kapan datangnya pak, mari silahkan, ... silahkan loh pak, mau dahar seperti biasa ya pak ?" sapanya ramah.
" Baru tadi pagi saya datang buk, sudah kangen sama sate ayamnya. Iya seperti biasa, paruhan hati dan daging, sambelnya yang banyak. Â Lha ini tadi kehujanan dideket situ, kok tiba2 hujan ya ..."
Rupanya seorang bapak paruh baya, segera duduk dan memandang sekeliling yang sepi. Memandangku dan mengangguk,
 kubalas dan kuteruskan menikmati hidangan didepanku.
Hujan makin menderu deras, anginpun bertiup kian kencang, aku lihat tempat duduk bapak itu tempias kena angin dan hujan yang membadai diluar sana, dia bingung, tengok kiri kanan.
Buk Ropi'ah segera datang bersama anaknya, bicara sejenak, menunjuk ketempatku serta minta izin padaku untuk berbagi tempat dengan bapak itu, aku mengangguk setuju, karena melihat situasi yang runyam ini.
Lalu beliau segera mengangkat pesanannya kemejaku dibantu buk Ropi'ah, aku pandangi mereka, sambil tetap menikmati sateku.
Tempat dudukku memang strategis, enak nyaman serta aman, agak masuk didalam, jadi terlindung dari tempiasnya jika hujan.
Sekali lagi bapak itu dengan ewuh pakewuh minta maaf sebelum duduk, aku  mengangguk : "Silahkan pak "
Beliau segera mengenalkan diri :
" Saya Achsan, ayah dari Doni, seberang depan rumah ibu " katanya sopan.
Kita berkenalan ditengah curah hujan gemuruh serta petir yang menggelegar, didalam depot sate yang masih lengang.
Mas Doni itu seorang hakim, yang mendapat rumah dinas diseberang depan rumahku.
Doni dan Ajie, anakku bersahabat, kita tetanggaan dekat, masih satu RT.
Ternyata pak Achsan ini seorang pensiunan polisi di Semarang, sudah acap kali berkunjung ke Surabaya, menengok Doni, putra keduanya.
Kitapun segera meneruskan makan dengan bincang awal, sampai pada rencana, kita sepakat nanti bisa pulang bersama, karena jalannya searah, ada kawan berjalan.
Beliaunya membawa payung.
Aneh, tiba2 hujan dan petir berhenti, hanya ada gerimis lembut yang tersisa.
Kitapun pulang bersama, dalam satu payung dibawah gerimis yang masih amat halus.
Ditengah jalan, berpapasan dengan Ajie, yang mau menjemputku dengan membawa payung.
Mereka segera saling menyapa ramah, rupanya pak Achsan dan Ajie sudah kenal.
Sebulan kemudian ...
Pagi hari waktu mau minum teh panas, dimeja makan ada lumpia Semarang sekotak, juga bandeng presto jumbo gendut yang menggiurkan.
"Loh ini dari siapa mbok Rah ?"
" Itu bu, dari ayahnya pak Doni, depan rumah, beliau baru datang dari Semarang pagi tadi, ... "
Siangnya pak Achsan berkunjung, kuucapkan terima kasih atas oleh2-nya.
Entah kenapa, pembicaraan kita langsung nyambung.
Ada benang merah persamaan nasip dari perjalanan hidup kita yang sudah panjang.
Sama2 pernah ditinggalkan oleh orang terdekat dan ada beberapa penyakit yang pernah diderita.
Mungkin ciri khas warga manula, yang dengan gaya hidup kurang sehat, serta pola makan tidak seimbang, karena masih tergoda suka menikmati aneka kuliner, yang seharusnya kita hindari.
Sorenya kita janjian mau makan sate ayam dekat rumah.
Jam tiga pak Achsan sudah dirumah, kita memang janjian agak awal kedepotnya buk Ropi'ah.
Karena kalau hari mulai petang, keadaannya sudah rame, apalagi tampaknya cuaca sedang cerah saat itu.
Buk Ropi'ah menyambut kita dengan ramah.
Segera disediakan teh panas, juga dua piring besar, satu berisi rengginang dan aneka krupuk ikan laut dan mlinjo lapis simping.
Sedang piring satunya terhidang dadar jagung montok empuk anget nggemesin. Juga grinting lorjuk dan grinting udang, cemilan kemremes yang gurihnya bukan main, serta kacang mente, kesukaanku ... aduh jagalah hatiku.
Aku tersenyum, pak Achsan juga
senyum geli melihat kudapan melimpah yang tersaji dimeja, dia merogoh sakunya, menunjukkan beberapa obat tampak dalam satu kantong plastik, Â kita saling terkekeh.
Sate komplit sudah tersedia mengepul sedap, kita segera menikmati sajian itu bersama.
 Pandanganku  beralih keluar, ternyata hujan riwis lembut menyapa kita.
"Waduh, kok hujan lagi ya ... " kataku.
"Tenang saja, kita tunggu sampai terang disini, enak nyantai sambil ngobrol dan ngemil ... " balasnya.
"Bisa masuk angin kalau kelamaan disini, ... " selorohku.
Dia merogoh sakunya, ada obat flu, juga beberapa macam obat gosok, aku jadi geli.
"Ini ada penangkalnya, komplit, tidak usah khawatir ... "
"Eh, iya juga, siipp ... jadi siapa takut ?"
Pak Achsan menunjukan dua jempolnya padaku, kita saling menahan gelak.
Diluar gerimis teramat lembut masih menyapa, kita saling berpandangan.
Suasana terasa cukup indah serta romantis dan ... mmm, kurasakan ada yang perlahan  membelai halus dijantung ini.
Ditambah dengan hawa sekitar nan sejuk segar, amat syahdu, kita saling tersenyum.
Ah, rupanya selera humor SANG SABDA ALAM yang sangat jeli ini, dengan canda kocaknya, masih sanggup menggelitik hati dua insan sepuh serta mulai rapuh ini, untuk bisa kembali senyum dan berbunga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H