Mohon tunggu...
Siti Swandari
Siti Swandari Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

terbuka, ingin bersahabat dengan siapapun dan dimana saja,with heartfelt wishes. gemini, universitair, suka baca, nulis , pemerhati masalah sosial dan ingin bumi ini tetap nyaman dan indah.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Darah Biru yang Terluka ( 89 )

2 Juli 2015   18:24 Diperbarui: 2 Juli 2015   21:34 818
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagian ke Delapan Puluh Sembilan : PENJAGA MALAM SEREM

Dari kampus, aku dan Achsan mampir di mini market dekat rumah untuk membelikan sekedar kudapan buat Ria dan Made.
Mereka sedang duduk di gazebo ditaman halaman depan, dekat kolam.

Langsung Ria  lari membukakan pintu dan segera dibukanya tas kresek yang kubawa
“Waoo, asyik, …” dia tertawa dan membawanya dimeja gazebo itu, Made juga tertawa renyah.

Dan dimeja itu, aku lihat ada beberapa bungkus dan cup es cream, aku geleng-geleng kepala, Achsan tersenyum saja dan kemudian duduk dekat Made.

“Kamu nanti jadi ikut : “, tanyanya pada Made
“Iya dong, udah lama gak latihan, pengin pemanasan sebentar.” Jawab Made
“Mau kemana kalian ?” tanyaku
“Ikut latihan di-Karang Taruna deket situ. Achsan waktunya ngelatih karate , aku mau ikut latihan dikit nanti, biar badan radak segeran.” Jawab Made.

“Kalau gitu kita pamit dulu ya, mau tidur-tiduran, bisa ngaso bentar.”

Mengantarkan Made dan Achsan kepintu depan, kemudian aku dan Ria masuk kekamar.

“Kamu tadi udah makan ya ?” tanya Ria, aku menggeleng, buka baju dan ganti daster.

“Kamu tadi ngapain aja dirumah ?”

“Tadi Made pergi ketoko sport di mall situ, lihat-lihat alat kemah. Aku gak ikut, males. Aku mbantu mbak Murni masak bareng mbok Yah dan mak Suni.”

“Masak apaan kamu, masak air ?” tanyaku, dia tertawa

Kemudian aku ditariknya kemeja tulis dan

“Sim-salabim- adakadabra …. cling, …taraaaa...” dia menunjukkan sebuah macaroni schotel yang menantang dimeja tulis, aku terbelalak, tapi kemudian tertawa.

“Kata mbak Murni resepnya dari ibumu, aku tadi dah nyomot dikit , uenak banget. Gatot juga sudah kusuruh beli degan, itu ada di kulkas, pasti udah dingin,…” dia mengeluarkan schal besar yang berisi serbat degan..

“Silahkan tuan Puteri mencicipinya.” Dan diapun cepat mengambil gelas dan mengisinya dengan es degan itu, dan diminumnya sendiri dengan segera.

“Ngambil sendiri puteri cantik, jangan jadi kolokan.”

“Terima kasih sahabatku yang centil, tapi sapa suruh kamu ribet kayak gini.”

Aku ngakak dan segera meniru aksinya, mengambil es degan sambil mengiris macaroni schotel yang masih anget itu.

Kusruput es degan itu, bukan main, manisnya pas, degannya juga sedang, mantap.

Dia menunjukkan dua jempolnya, aku tertawa dan mengangguk.

 

Tiba-tiba dia keluar kamar, tengok kiri-kanan dan mengunci pintu.

“Put, aku tadi kan radak lama didapur, lihat mbak Murni masak. Tante Kamti pergi dengan sopir dan oom Darko.”

Dia melihat lagi lewat jendela kehalaman depan “Ada apa sih kamu ini ?”

“Kamu tahu, .. tante Kamti mengambil dua orang penjaga malam “ katanya , aku heran, kurang mengerti , kupandangi dia

“Aneh, kan dia lagi seret duit, kok ngambil lagi orang bayaran, … untuk apa ?”

Ria minum lagi dan mengunyah macaroni schotel, dipandangnya aku
“Dia bilang katanya non Puteri itu anaknya orang kaya, dulu itu mau dirampok, malam-malam , untung bisa lepas.”

“Lho dia cerita gitu ?” Ria mengangguk.

Tiba-tiba dia ngakak, tertawa geli, batuk-batuk, hampir tersedak
“Sejak kapan papahmu jadi kompeni, sehingga kamu minta dipanggil nonik Puteri ?”
“Aku tidak pernah minta dipanggil gitu kok, … ada-ada aja.”

Tapi aku juga terpaksa ikut tertawa, pikir-pikir kesambet dimana ya dia tadi ?

“Gini lho ceritanya, waktu aku di dapur tadi – salah satu dari penjaga malam itu minta kopi. Kaget lihat aku, mungkin dikira kamu, terus bilang - Non Puteri ya ?”

“Wuih orangnya serem, itu tante Kamti ngambilnya pasti dari * manusia masa lalu *, kale ya ?”
“Terus kamu gimana ?”
“Ya bilang, aku temannya non Puteri, namaku Ria.” Kembali dia tertawa.

Aku duduk ditempat tidurku, sambil kuminum sedikit demi sedikit es degannya.

“Dahulu yang ngeroyok kamu itu berapa orang ?” tanya Ria, aku ingat – ingat

“Dimukaku itu lima orang, terus dibelakang satu dan yang keluar dari pavilyun itu satu. Tujuh orang.” Ria memandangku tertegun.

“Dan kamu tetap bisa selamat tanpa luka dan cedera yang berarti – bahkan kulihat engkau tambah cantik saja … ckckck ..” dia geleng-geleng kepala.

“Pasti ada yang terjadi, tapi sengaja kamu lupakan ya ?” dia memandangku.

Aku menggeleng, tetapi sekilas rasanya kehidupan di Galuga seperti tergelar kembali.

Kumakan perlahan macaroni schotel itu , kukecap “ Enak sekali, mirip bikinan ibuku.” Kataku sambil bergumam

Ria memandangku, mengerutkan alisnya, berpikir , menarik nafas “Iya enak sekali “ katanya kemudian sambil tersenyum.

Diluar terdengar pintu pagar dibuka dan mobil masuk langsung ke belakang.
Aku duduk kembali dikursi meja tulis, Ria didepanku, kita seperti sedang asyik makan dan minum.

Terdengar langkah kaki dan ketokan dipintu, tante Kamti

“Ayuk maem yuk, ini tadi sekalian jemput Cantik. Wah, bikin macaroni schotel khas mbak Sri. . Pasti mbak Puteri sedang kangen dengan ibu ya ?”

Kita makan bersama, tetapi oom Darko tidak ikut makan seperti biasanya.
“Oom Darko tadi udah njajan soto dijalan, mungkin masih penuh perutnya.”
Aku dan Ria hanya tersenyum saja dan kita mulai menyedu makanan dan aneka lauk yang ada dimeja.

 

“Jam berapa latihan karatenya disini ?” tanya Ria setelah kita dikamar
“Jam tiga sampai enam biasanya.” Ria memandang jam didinding

“Kita bisa tidur aja dulu, aku ngantuk.” Dia memeluk guling dan membalik

Aku termenung, Ria kalau bicara memang seenaknya, tapi tebakannya sering tepat, jarang meleset – kadang dia seperti cenayang.

Dikeroyok tujuh orang dan selamat , tiada kurang suatu apa bahkan tidak cedera sedikitpun, bahkan makin tambah cantik ?
Aku tersenyum dan tunduk, menarik nafas panjang.

Kupandangi dia, rupanya dia sudah lelap, nafasnya tampak teratur, tenang.

Pintu diketuk, kusahut dan kubuka pintu, tante Kamti masuk.
“Enggak tidur, tante mau ngomong , kita kebelakang sebentar.”

Aku keluar kamar dan kebelakang mengikuti tante
Disana sudah ada oom Darko, mbak Murni , dua pembantu wanita , Gatot – situkang kebun, sopir dan dua orang tidak kukenal.

“Begini, .. ini non Puteri, .. dan ini pak Suro dan pak Wiro, penjaga malam baru dirumah ini.” aku tersenyum, mengangguk pada dua penjaga malam baru ini.

Benar kata Ria, kedua orang itu cukup menyeramkan, usia tengah baya, badannya besar gempal, ada beberapa bekas luka diwajahnya, yang seorang bertatto tengkorak ditangannya.
Yang satunya  lagi memakai gelang akar bakar besar ditangan dan agak gundul.

Tiba-tiba saja Ria sudah ada dibelakangku, memegang belimbing dan pisau serba gunanya.

Dia memandang kedua orang itu, tersenyum mengangguk.

“Saya temannya non Puteri, nama saya mbak Ria.” Katanya ramah.

Aku kepingin tertawa, tapi kutahan, lalu basa basi kutanya asal mereka, tampak agak kaget, tapi cepat dijawab oleh oom Darko.

“Mereka petani dari dusun, susah cari makan disana, jadi sambil menolong, kita terima dan tampung mereka berdua disini sementara.”

Karena kelihatan mereka gelisah dan salah tingkah, aku segera menarik Ria dan kita masuk kembali kedalam kamar.

“Petani dari dusun, susah cari makan,… tampakny tidak seperti itu.” Kata Ria

Dipandangnya aku, kita saling tatap, aku hanya mengangkat bahu

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun