Mohon tunggu...
Siti Swandari
Siti Swandari Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

terbuka, ingin bersahabat dengan siapapun dan dimana saja,with heartfelt wishes. gemini, universitair, suka baca, nulis , pemerhati masalah sosial dan ingin bumi ini tetap nyaman dan indah.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Darah Biru yang Terluka (78)

1 Mei 2015   15:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:29 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14304675731798139008

[caption id="attachment_381167" align="aligncenter" width="454" caption="Sumber Gambar: www.anneahira.com"][/caption]

Bagian ke Tujuh Puluh Delapan :  LEDAKAN   KEMARAHAN  KELANA

Kita kemudian siap-siap untuk tidur kembali, kulirik Puteri Kuning, wajahnya tengadah.
Dia memandang keatas, menerawang, matanya berkedip-kedip, menarik nafas

“Puteri, tetapi sejujurnya, aku ingin engkau tetap disini dengan kita untuk selamanya. Aku seperti menemukan kembali sosok seseorang yang sudah terenggut dari sisi kehidupanku yang amat kusayang, ibundaku. Engkau mirip sekali dengan ibunda permaisuri, Puteri - kelembutan, kasih sayang, dan perhatiannya. Hanya kadang engkau jauh lebih keras dalam kemauan. .. “ dia memandangku, aku tersenyum.

“Adindaku tercinta, tidak ada yang abadi di dunia ini. Kalau ada ujung, pastinya juga ada akhir. Tidak mengerti kita, dimana semua akan bermula dan berakhir langkah kita. Kita hanya menjalani kehidupan ini sesuai dengan langkah kaki yang sudah disiapkan dan digariskan.”

Dia memelukku, ada tangis lirih pedih kudengar, getar dada ini kurasakan

“Kita lihat saja apa yang akan terjadi besok, itulah nanti yang akan terjadi, dan kita jalani dengan tegar dan tulus. Kuning. ” Kubelai-belai rambutnya

“Yuk kita tidur, ini sudah malam, sudah larut – aku nanti tidak bisa bangun besok pagi .” Kataku, kupandang dia, kucolek hidungnya, dia senyum dengan pedih.

Aku memejamkan mata, beberapa saat kudengar Kuning masih tetap gelisah disampingku.
Tangannya kupegang, kugenggam, kucium dan kutaruh didadaku, kita saling senyum.

Kemudian dia bergelung disampingku dengan nyaman.
Berangsur perlahan keadaan menjadi makin senyap, sunyi dan hening.

******

Kuraba Kuning sudah tidak ada disisiku, kulihat dia sudah duduk dan menghirup minuman yang terasa segar di pagi hari ini.

Dia tersenyum, menunjukkan minuman yang masih mengebul dan dia meniup-niupnya sambil memamerkan padaku, aku tersenyum.

Ada beberapa kudapan tersedia, dan kita menikmatinya dengan nyaman.
Ada ketukan dipintu, Puteri Kuning beranjak dan membuka pintu.

Empat orang ponggawa masuk, membawa beberapa masakan dan lauk pauk yang istimewa.

“Silahkan Puteri, Nyai Gandhes yang memasaknya sendiri tadi pagi. Kata beliau untuk puteri-puteri yang cantik disini.” Katanya bersembah

Kuning dan aku tertawa “Untuk calon permaisuri Galuga yang cantik dan doyan  makan itu ya. …Puteri, lihat ikannya besar sekali. ”

Kuning memandang padaku dengan geli
Keempat punggawa itu juga tertawa bersama, menyembah kemudian keluar dari kamar dan menutup pintu dengan perlahan.

”Ayuk segera kita serbuuu,… “ kubuka pepes ikan besar itu, masih hangat menantang, dipadu dengan sayuran segar dan pedas serta daging juga telur bumbu merah yang empuk pasti sedap bukan kepalang.

Tanpa banyak berkata, kita licin-tandaskan semua yang terhidang.
“Aduh kita bisa segera jadi gendut jika terus makan seperti ini.”

“Jangan-jangan sebentar lagi, kita bisa lebih gendut dari Warsih,…” kita terkikik bersama

“Kita harus banyak latihan, lihat saja Nyai Gandhes dan Nini Sedah, sampai sepuh  tetap sehat dan bagus badannya.”

Keempat ponggawa itu datang lagi untuk mengemasi segala yang ada di meja.

“Dimana Nyai Gandhes dan Nini Sedah ?”
“Masih dikamar beliau Puteri.”
“Pangeran Biru dan kakang Narpati ?” tanya Kuning lagi
“Semua masih dikamarnya masing-masing.”

“Tidak ada kabar tentang pasukan Kemayang ?” tanya Puteri Kuning lagi

“Belum mendengar tentang pasukan Kemayang Puteri. Tetapi pasukan Galuga sudah siap sedia di depan istana semua. Bahkan para panglima dan senapati juga sudah ada disana.”

Sampai agak siang belum ada kabar berita tentang pergerakan atau tanda-tanda penyerangan Kemayang ke Galuga.
Kita bersantai, bercanda dan berandai-andai saja di kamar, tidak ingin keluar

Tiba-tiba pintu di ketuk dari luar, agak keras seolah tergesa.

Terdengar diketuk lagi” Saya Warsih Puteri, …” kita saling pandang
Puteri Kuning segera melompat dan membuka pintu
Warsih segera menyembah “Air laut mulai masuk kehalaman istana Puteri.”

“Dimana Nyai Gandhes dan keluarga istana yang lain ?”

“Semua sudah ada disana, angin juga amat kencang bertiup. Puteri. Seluruh panglima dan senapati juga sudah siaga. Prajurit dan ponggawa di perintahkan naik ke istana semua oleh Nyai Gandhes.”

Kemudian Warsih menghadap aku dan menyembah
“Nyai Gandhes mengharapkan Puteri Puspita membawa ketiga senjata Yogi Puteri. Rupanya Baginda Kelana yang akan memimpin sediri pasukannya sekarang.”

Segera kusiapkan ketiga senjata Yogi Puteri, kuselipkan di pinggangku, aku mengambil cambuk cemetiku dan pedang panjang yang biasa aku bawa.

Kita berlarian kedepan istana, dan angin laut menderu menerpa , kurasakan menghentak dengan dahsyatnya.
Terasa menyeruak masuk membawa air laut yang seolah menerkam istana itu.

Kita terhenti, Warsih dan Puteri Kuning berusaha terus maju kedepan, tapi tidak berhasil...

Mereka terhempas dan jatuh bergulingan, kemudian saling tolong dan bersembunyi di balik pilar istana yang besar

Semua orang aku lihat berlindung dibalik pilar-pilar besar keraton itu, menutupi mukanya. Para jawara sepuh ingin maju tapi mereka semua terpelanting bergulingan jatuh dihempas angin bercampur air laut itu.

Banyak yang bergelimpangan tersapu prahara mengerikan itu.

Kulihat Nini Sedah dan pangeran Biru berusaha terus maju, tetapi terhalang oleh angin dan air laut yang menggila.

Suatu hentakan menerkam mereka, sehingga mereka terlempar dan jatuh terpelanting, bergulingan.

Kutolong mereka untuk berdiri, dan kemudian berlindung dibalik pilar istana.

Nini Sedah berkata “ Puteri terus saja, Nyai Gandhes ada didepan.

Aku terus maju, tanpa halangan sedikitpun

Seolah ada tirai didepanku yang tidak tampak, tapi mampu menghalau dobrakan angin dan air laut yang ganas menerjang.

Aku terus berjalan kedepan istana, angin dan air laut makin membahana.

Dan diujung undakan keraton, aku lihat Nyai Gandhes berdiri tegak, kokoh, teguh tak tergoyahkan.
Pandangannya kedepan, beliau melipat tangan, tak gentar diantara deru, debur dan desau air laut yang menggelora.

Aku cepat menghampiri dan bersembah, beliau tersenyum dan menunjuk ke halaman istana.

Rupanya prajurit Kemayang sudah berdatangan, beberapa panglimanya yang mumpuni bergerak dengan cepat, berusaha mengepung istana ini.

Aku cepat mengeluarkan Guntur Geni, kupadukan keduanya dan tiba-tiba ada petir halilintar yang memecah menggelegar di angkasa.

Serentak gerakan pasukan itu terhenti, semua menengok ke angkasa
“Guntuur G-e-n-i-i,…..” mereka semburat berlarian menyebar, berusaha kembali

Aaaaachch, …..kuayunkan dan kutujukan pada para panglima Kemayang yang akan memasuki undakan teras keraton, dan bersamaan - tampak nyala lidah api menyambar mereka dengan gempita.

Mereka terpelanting tersambar petir itu, jatuh terhempas dengan menebah dada, kemudian kulihat tidak bergerak atau bangun lagi.

Aku terus turun, Nyai Gandhes memegang tanganku, dipandangnya aku
“Hati-hati Puteri, … selamat jalan. “ Aku menyembah dengan penuh hormat

“Terima kasih Nyai, atas segalanya selama ini .” beliau mengangguk.

Aku terus turun dan sekali lagi menyabetkan Guntur Geni itu dengan sekuat tenaga, terjadi benturan dan ledakan yang membelah angkasa .

Lidah api membuat langit menjadi menakutkan, kilat sambung menyambung tanpa henti dan hujan turun dengan derasnya jatuh kebumi.

Didepanku ada bayangan besar, seekor ketam, kepiting  raksasa berjalan miring menghampiriku.

Kupandangi ketam itu, capitnya membuka dan menutup dengan dahsyatnya, matanya mengarah kepadaku dengan garangnya.

Aku cepat menarik cambukku, guntur Geni ada ditangan kananku
Secepat dia akan menyerangku , secepat itu pula aku lecutkan cambukku dengan dahsyat.

Didamping Guntur Geni, cambuk ini menjadi menakutkan.
Tanganku rasanya gemetar memegang cambuk ini, terasa amat berat tetapi menjadi semakin mantap.

Cambuk itu melecut dengan dahsyat dan seolah pisau gergaji raksasa yang berpijar, dia menghamtam, menghujam ketam yang sedang laju menerjang.

Pijaran api semburat sana-sini, ketam itu terbelah dua dengan ngerinya. Suaranya menciut –ciut dan mendesis dengan keras, masing-masing tubuh separuh itu bergerak bangkit lagi, menyerang kembali.

Guntur Geni aku pegang erat dan tiba-tiba seperti tidak sadar, ada tenaga gaib yang hebat menggerakkan , senjata itu mengayun dengan dahsyatnya.
Dan disertai sambaran petir dan kilat yang menghantam dengan cetar menggelegar , petir itu menerjang dan menghentak yang sedang menyerangku

Sejenak silau, dan kemudian kepingan-kepingan semburat cerat berai berhamburan kemana-mana, di sertai bau amis yang menyengat.
Aku dengar seperti ada jeritan yang mengerikan dan menyayat, jerit suara perempuan, siapa itu tadi ?

Kemudian semua berhenti tiba-tiba, seolah bumi berhenti berputar.

Tidak ada hujan, tidak ada angin dan tiada air laut yang menggelora, suasana cepat berubah, keadaan menjadi sunyi sepi senyap , dan mencekam.

Aku menoleh melihat kiri kanan, kemuka - dikejauhan aku lihat kapal perang Kemayang bergerak menjauh

Kutoleh keadaan istana, sepi dan hening, hanya kulihat Nyau Gandhes yang masih tetap berdiri tegak teguh kokoh di depan undakan, melipat tangannya.
Melihat semua dengan tenang dan wajah sedikit diangkat.

Kuperhatikan, tanganku yang memegang Guntur Geni masih bergetar. Demikian juga tangan kiri yang memegang cambuk pecut kurasakan masih gemetar.

Sepihan kulit ketam berdarah-darah , berserakan bertebaran mengerikan
dimana-mana

Nafasku masih memburu, kuatur perlahan nafas ini, aku tertunduk

Tiba-tiba suatu sambaran dahsyat bagai palu gondam menghantam, aku terpental terpelanting jatuh berguling- guling.

Cepat aku bangun, tapi sambaran itu menghentakku lagi, lebih dahsyat lebih mengerikan,  dan sebuah capit raksasa berbinar-binar  siap menghajarku lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun