[caption id="attachment_370030" align="aligncenter" width="320" caption="Sumber Gambar: smart-actives.blogspot.com"][/caption]
Bagian ke Enam Puluh : DIMANA SANG PANGERAN ?
Nyai Gandhes berbicara dengan panglima Rahasta dan Andaga, kemudian
memacu kudanya dengan cepat diiringi Nini Sedah dan beberapa panglima.
Beliau juga mengajak aku dan Kuning ikut serta.
Panglima Rahasta dan Andaga ditugasi tinggal dengan pasukannya menjaga wilayah di sekitar tempat itu.
“Kita segera melihat keadaan panglima Maruta di istana, …sepertinya Maruta bertahan, dia kuat orangnya.” Beliau memandang lagi ke langit.
Aku dan puteri Kuning saling lirik dan langsung memacu kuda mengikuti Nyai Gandhes dan Nini Sdeah.
Setiba di istana kita semua berlarian ketempat perawatan, disana ada Aki Sedah dan kakang Narpati dan banyak penyembuh yang lain.
Paman Maruta duduk ditempat tidurnya, panah dipunggung sudah di cabut, dan luka di badannya sudah ditutup dengan ramuan daun dan rempah.
Dibadannya masih terdapat banyak bercak-bercak darah yang keluar dari luka-lukanya, terutama di bekas panah di punggungnya.
Panglima langsung bersembah melihat Nyai Gandhes dan Nini Sedah, dan beliau langsung bersembah padaku, aku membalasnya dengan kagum.
“Terima kasih Puteri Puspita, saya berhutang nyawa pada Puteri.” Katanya bersungguh-sungguh, kemudian paman tertunduk berusaha menahan rasa nyeri dan sakit yang amat sangat.
Peluh bercampur darah larut lumat dengan ramuan rempah dan daun di sekujur tubuhnya. Teriakan tertahan mendesis dari mulut paman Maruta.
Nyai Gandhes memegang kedua tangan panglima, dihentak dengan sentakan dan paman Maruta langsung lemas, jatuh tertidur, tak sadarkan diri.
“Coba panglima Maruta ditata yang baik dan,…” beliau memanggil Nini dan Aki Sedah, memberikan pengarahan tentang jamu-jamuan untuk di minum paman Maruta jika nanti sudah siuman.
Kemudian Nyai Gandhes mengunjungi ke beberapa ponggawa dan senapati juga para prajurit yang luka-luka di sekitar ruang perawatan itu.
“Engkau senapati yang tadi mengawal panglima Maruta ?” seorang senapati bersembah hormat pada Nyai Gandhes.
Ketika ditanya, dia berceritera bagaimana pasukannya terkepung oleh pasukan Kemayang, tetapi panglima Marita dengan berani selalu maju ke depan.
“Tadi panglima hampir di panah dari depan oleh pasukan Kemayang, tetapi untungnya pasukan Puteri Puspita datang dan kuda mereka di cambuk hingga semua kocar-kacir , tetapi sebelumnya panglima sudah terpanah di punggungnya.”
Dia langsung menyembah ketika melihat aku “Terima kasih Puteri, saya amat berhutang nyawa pada Puteri .” aku juga membalas sembahnya denga hormat, kulihat badannya juga luka parah.
Aku ingat dia tadi hampir tersambar pedang senapati Kemayang, tapi secepatnya kucambuk pedang musuhnya dan dia kemudian bisa balik menyerang dengan ganas.
Nyai Gandhes, puteri Kuning dan aku, setelah berkeliling, keluar dari ruang perawatan.
Nini dan Aki Sedah serta kakang Narpati dan penyembuh yang lain masih merawat beberapa prajurit yang terluka di ruang perawatan itu.
“Sebaiknya Puteri dan Kuning istirahat saja dikamar, kalau ada sesuatu yang terjadi, nanti biar senapati Mayang yang menyampaikan kekamar.”
Aku lihat Nyai Gandhes kemudian masih berbincang dengan beberapa panglima dan para empu sepuh di depan istana.
Kuning dan aku segera berjalan kekamar, aku langsung mandi membersihkan diri dan berganti baju.
Dimeja tersedia beberapa hidangan dan minuman, juga jamu, yang pasti dibuat oleh Aki dan Nini Sedah untukku dan Kuning.
Meminum beberapa jamu yang tersedia dan aku langsung meloncat ketempat tidur. Kuning menata bantal dan guling kita dan aku langsung menjatuhkan diri di bantal yang empuk dan merangkul guling.
“Untung paman Maruta masih bisa diselamatkan, engkau tadi cepat bertindak Puteri.” Aku hanya mengangguk
“Paman Maruta itu memang sifatnya tidak sabaran, seharusnya beliau menunggu paman Rahasta dan paman Andaga.”
“Untung baginda Kelana belum turun sendiri, pasti berbahaya jika sampai ketemu paman Maruta. Samudera Laksa itu murid tersayangnya.” Kata Kuning.
“Kemana ya baginda Kelana, yang tampak hanya beberapa panglima Kemayang dan Nini Rumping.” Aku memandang Kuning, dia hanya mengangkat bahu.
“Oh iya, sejak tadi aku tidak melihat pangeran Biru, engkau tadi sempat melihatnya Kuning ?” tanyaku, tiba-tiba ingat pada pangeran
Puteri Kuning memandangku, berpikir, mengingat-ingat.
“Dari kita datang, tidak kulihat pangeran Biru ya ?” dia seolah ganti bertanya.
“Mungki senapati Mayang mengerti, kita tanya padanya.” Kuning mengangguk.
Kita turun lagi dari peraduan dan membuka pintu, aku lihat senapati Mayang dan beberapa pasukannya sedang duduk mengelilingi meja dengan minuman yang sedang mengepul. Dia langsung berlari kearah kita
“Puteri membutuhkan sesuatu ?” tanyanya santun
“Apa senapati tahu dimana gerangan pangeran Biru, saya sejak tadi tidak melihatnya . Sudah di cari oleh Puteru Puspita.ini.” tanya puteri Kuning
“Tidak Puteri, belum ada kabar – pangeran Biru bertugas di Timur dengan pasukannya,” jawab senapati Mayang sambil memandangku.
“Senapati tahu kenapa tadi Baginda Kelana tidak jadi mencari Panglima Maruta … padahal kabarnya sudah mengancam mencari Puteri Puspita dan panglima Maruta ?”
“Katanya baginda Kelana pergi ke tempat padepokan Puser-Segaran, tempat gurunya berada. Juga katanya melapor kematian Samudera Laksa.”
“Siapa gurunya baginda Kelana.?” Aku tanya
“Namanya Buyut Segaran, sudah amat tua Puteri, juga tidak bisa berjalan, pernah di gigit ular welang laut, hampir mati tetapi bisa bertahan hidup.”
“Sepertinya engkau mengerti keadaan mereka ?” tanyaku
“Berita seperti itu cepat tersebar diantara rakyat kecil Puteri, terlebih yang rumahnya di pinggir laut. Rumah saya ada dipinggir pantai .” aku mengangguk mengerti/
Beberapa orang bergegas mendatangi kita, aku lihat Aki Sedah, kakang Narpati dan senapati Warsih, kelihatan tergesa dan was-was.
Sesudah menyembah, mereka mengatakan kalau sampai sekarang pangeran Biru dan pasukannya belum kembali dari Timur.
Aku dan puteri Kuning saling pandang, sejak tadi kita memang tidak melihat pangeran Biru.
Tidak lama tampak Nyai Gandhes, Nini Sedah dan panglima Wulung juga beberapa panglima yang lain mengiringi kulihat juga mendatangi kita.
Ada rasa cemas dan gelisah di wajah Nyai Gandhes.
“Kita tunggu beberapa waktu lagi, mungkin ada sesuatu yang membuat pangeran Biru dan pasukannya terlambat datang.” Suara Nyai terdengar ragu.
Aku memandang puteri Kuning, dia tertunduk dan langsung berusaha menyembunyikan derai air matanya.
Aku peluk dia, terdengar tarikan nafasnya yang bisa kurasakan, kegelisahan dan rasa gundah dihatinya.
“Maaf, Nyai, saya ingin menyusul pangeran Biru ke Timur.” Nyai Gandhes memandangku, di peluknya aku dan di belainya punggungku.
“Saya akan selalu mengawal Puteri.” Hampir bersamaan jawaban senapati Warsih dan panglima Wulung.
“Aku juga ikut,…” Kuningpun berkata padaku, kupandang dia
“Kuning, lebih baik engkau tinggal di istana saja, menunggu.” Nyai Gandhes juga berusaha melerai Kuning.
“Nyai dan Puteri Puspita, saya akan bisa menjaga diri saya sendiri. Lagipula pangeran Biru itu saudara sekandung saya Puteri. Pertalian darahku dengan pangeran sangat dekat. Cobalah engkau mengerti.” Katanya bersungguh-sungguh padaku, kemudian diapun bersembah pada Nyai Gandhes.
Aku dan Nyai Gandhes saling pandang, Nyai kemudian mengangguk.
“Baiklah, bersiaplah, aku tunggu kalian semua di depan istana.” Kata Nyai Gandhes.
Aku berlari masuk kamar, cepat berganti baju dan mencari senjata yang kuperlukan. Aku mengambil Guntur Geni, puteri Kuning memandangku.
“Engkau membawa Guntur Geni Puteri ?” tanya puteri Kuing
“Ya, aku khawatir nanti ternyata bertemu dengan Baginda Kelana, aku harus berjaga-jaga.” Aku lihat Kuning juga membawa Guntur Geni yang ketiga.
“Apa ini bukan suatu jebakan lagi untuk kita ?”
Aku dan Kuning cepat lari ke depan istana, cuaca masih tampak terang, meskipun hari sudah jelang sore.
Nyai Gandhes dengan beberapa panglima sudah ada di depan istana, berbincang dengan mereka.
Dipelataran istana sudah bersiap pasukan pengawalku dan pasukan pengawal puteri Kuning.
Panglima Wulung berpamit pada Nyai Gandhes dan segera berlari ke pasukannya, juga panglima Dargo dengan pasukannya sudah siaga.
Aku dan Puteri Kuning bersembah pada Nyai Gandhes, untuk pamit, Kulihat Kuning juga pamitan dengan kakang Narpati, aku juga berpamitan pada Aki dan Nini Sedah, juga pada kakang Narpati.
Nyai Gandhes merangkul kita berdua menuruni tangga istana, tiba-tiba beliau
Berkata :” Sebentar, sebaiknya ini kalian pakai.”
Beliau mencopot dua gelang dikakinya, diberikan padaku dan puteri Kuning.
“Pakai saja.” Kata beliau, aku dan Kuning memasukkan gelang itu dipergelangan kaki kita dan gelang itu masuk dengan pas, seperti sudah diukur dan dipersiapkan.
Aku segera meloncat kekudaku, juga Kunng segera bersiap diatas kudanya.
“Nanti sebentar lagi ada dua panglima dengan pasukan yang menyusul kalian. Hati-hati.”
Warsih memacu kudanya dengan cepat, kitapun berderap mengikuti dia.
Keadaan sekitar sudah sepi, tidak tampak ada prajurit atau ponggawa kerajaan yang kita temui.
Aku menyusul Warsih “Rumah mu di sekitar sini Warsih ?” aku tanya
“Masih jauh Puteri, rumah saya didekat bandungan Prapat.” Warsih memperlambat kudanya, aku bareng mengikutinya.
“Pasti engkau hapal dengan jalan-jalan trobosan di daerah sini ya ?”
“Betul Puteri, daerah sini merupakan daerah bermain waktu kecil” katanya sambil tersenyum.
“Si Lurik ini sudah hapal daerah sini, sambil meram juga dia akan sampai di kandangnya di istana.” Kulihat dia membelai surai si-Lurik kudanya yang tampak begitu perkasa.
“Warnanya bagus sekali, itu dari istana atau milikmu sendiri.”?” Tanyaku.
“Ini milik saya sendiri Puteri, hadiah dari ayahanda saya sejak lama. Saya lebih cocok dengan Lurik daripada kuda istana. Kuda istana galak dan garang,seperti kuda Puteri, saya sering tidak bisa menguasai.”
“Engkau belum kenal saja, kalau sudah kenal, pasti mereka juga menyenangkan.” Aku belai surai kuda yang kunaiki dan tampak kuda itu senang dengan belaianku. Dia seperti mendengus.
“Engkau tahu ini dahulu kudanya siapa ?” tanyaku
“Itu dahulunya kuda kerajaan, Puteri, kudanya permaisuri Galuga, Puteri Setyawati.”
“Ibundanya pangeran Biru dan Puteri Kuning ?”
“Betul Puteri, kuda itu, namanya Gringsing, dahulu amat bagus perangainya. Tetapi semenjak puteri Setyawati wafat, dia menjadi garang dan liar, tidak ada yang berani menaikinya. Pawangnya sendiri pernah di banting waktu mencoba menaikinya.”
“Oh iya ? Sepertinya dia baik dan cekatan.” kataku
“Semua juga heran, dia sekarang jadi baik dan lembut lagi sesudah menjadi milik Puteri. Tetapi tetap bisa beringas jika diajak berperang.” Aku tertawa, kuelus lagi surai si Gringsing ini.
Aku lihat dia seolah mengangguk-anggukkan kepalanya dan meringkik dengan pelan. Berderap seiring dengan kuda senapati Warsih.
“Dia pasti juga mengerti dengan bincang kita. Kapan-kapan aku ingin belajar bahasanya binatang kepada Nyai Gandhes.”
Aku dan senapati Warsih sama-sama tertawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H