Tidak lama tampak Nyai Gandhes, Nini Sedah dan panglima Wulung juga beberapa panglima yang lain mengiringi kulihat juga mendatangi kita.
Ada rasa cemas dan gelisah di wajah Nyai Gandhes.
“Kita tunggu beberapa waktu lagi, mungkin ada sesuatu yang membuat pangeran Biru dan pasukannya terlambat datang.” Suara Nyai terdengar ragu.
Aku memandang puteri Kuning, dia tertunduk dan langsung berusaha menyembunyikan derai air matanya.
Aku peluk dia, terdengar tarikan nafasnya yang bisa kurasakan, kegelisahan dan rasa gundah dihatinya.
“Maaf, Nyai, saya ingin menyusul pangeran Biru ke Timur.” Nyai Gandhes memandangku, di peluknya aku dan di belainya punggungku.
“Saya akan selalu mengawal Puteri.” Hampir bersamaan jawaban senapati Warsih dan panglima Wulung.
“Aku juga ikut,…” Kuningpun berkata padaku, kupandang dia
“Kuning, lebih baik engkau tinggal di istana saja, menunggu.” Nyai Gandhes juga berusaha melerai Kuning.
“Nyai dan Puteri Puspita, saya akan bisa menjaga diri saya sendiri. Lagipula pangeran Biru itu saudara sekandung saya Puteri. Pertalian darahku dengan pangeran sangat dekat. Cobalah engkau mengerti.” Katanya bersungguh-sungguh padaku, kemudian diapun bersembah pada Nyai Gandhes.
Aku dan Nyai Gandhes saling pandang, Nyai kemudian mengangguk.
“Baiklah, bersiaplah, aku tunggu kalian semua di depan istana.” Kata Nyai Gandhes.
Aku berlari masuk kamar, cepat berganti baju dan mencari senjata yang kuperlukan. Aku mengambil Guntur Geni, puteri Kuning memandangku.