Mohon tunggu...
Sifah Nur
Sifah Nur Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa, penulis -

Panggil aku Sifah. 20 tahun. Aku mencari kebebasan berbicara, meski hanya dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen] Sumur

8 Juni 2016   10:14 Diperbarui: 8 Juni 2016   10:32 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara ribut di depan rumahnya membuat Asri tertarik ingin tahu. Dua orang ibu-ibu berjalan bersamaan sambil membawa ember besar menuju jalan ke arah sumur. Ya, sumur.

“Mau kemana?” tanya Asri pada salah satu ibu yang ia kenal sebagai bibi teman bermainnya.

“Beli air, Nduk. Hawane panas!7” jawab si ibu singkat.

Benar juga, Asri merasakan sendiri. Itulah mengapa air yang ia minum sama sekali tidak terasa segar karena hangat. Ia melihat ke arah ujung jalan desa. Tanda-tanda kedatangan bapaknya tak kunjung tiba. Ini sudah hampir dua jam sejak Marto pergi berpamitan untuk mengambil air.

Asri sudah tak tahan lagi. Ia haus. Ada uang lima ratus perak di kantung pakaiannya. Cukup untuk membeli satu botol sedang air sumur. Tiba-tiba, Asri teringat dengan Bapaknya. Ia pasti akan dilarang jika meminum air itu. “Tapi—maafkan aku, Pak. Orang-orang juga minum tapi ndak apa-apa,” batinnya.

Menunggu antrean hampir lima belas menit, Asri akhirnya mendapatkan air. Ia sangat bahagia melihat air yang jernih mengisi penuh botol bekas air mineral pemberian terakhir mendiang pakde Trisnya. Tanpa menunggu pulang ke rumah, Asri menghabiskan airnya sendirian di bawah pohon asam.

“Pulang, Nduk. Sisakan, jangan diminum semua.”

Suara perempuan menyadarkan Asri. Sungguh sebuah kenikmatan ketika rasa haus terganti dengan rasa segar dari sumber mata air asli. Benar juga, ia harus menyisakan air untuk ia minum bersama Bapaknya. “Tapi, Bapak lagi ambil air. Sudah pulang belum, ya?”

Asri menenteng botol airnya menuju rumah. Ia berharap bapaknya telah kembali dan menujukkan bahwa air sumur itu tak terjadi apa-apa padanya. “Bahkan rasanya segar.”

Tapi sungguh disayangkan, sesampainya di rumah, Asri memang melihat bapaknya telah kembali. Bahkan diantar oleh banyak orang yang sama sekali tidak ia kenal. Marto ditidurkan di atas tikar anyaman bambu. Badannya masih hangat dengan wajah pucat dan bibir kering pecah-pecah. Hanya saja, tidak ada nyawa yang lagi bersemayam di tubuh itu. begitu juga dirigen dan ember yang kosong tanpa air.

“Bapak belum minum, ya? Aku bawa air, Pak. Masih ada sedikit. Bapak mau?” dengan lugunya Asri menyodorkan sisa airnya untuk sang bapak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun