“Tris—Tris, di rumah—“ terbata-bata Hakim menjelaskan sebuah kabar terbaru.
Marto panik, “ada apa dengan Tris?”
“Tris.. meninggal.”
***
Dalam satu bulan saja, ada lebih dari sepuluh warga meninggal tidak wajar saling bergantian setiap minggunya. Isu air sumur yang sempat menggemparkan warga desa sebagai sumber kematian, kini tidak menjadi tersangka utama kematian banyak warga di desa. Perhatian warga mudah sekali teralihkan ketika beberapa dari mereka meninggal bukan karena air sumur itu. Jadi, dengan cepat warga bisa melupakan petaka air sumur begitu saja. Pagebluk masih di statuskan waspada serta masih mendominasi rasa takut yang timbul pada masing-masing pribadi.
Begitulah yang masih dirasakan oleh Asri.
Pagi ini, ia mengeluh kehausan. Stok air di rumah hanya tinggal untuk memasak saja. Asri menunjukkan isi gentongnya pada sang Bapak yang baru kembali dari ladang. “Buat masak nasi. Buat minum sudah ndak ada, Pak. Kita beli di sumur juragan Purwadi—“
“Ndak perlu, kita ke sungai sekarang. Sudah hampir siang.”
Marto meletakkan topi capingnya di satu buah paku menonjol pada tiang bambu rumahnya. Mengambil ember dan dirigen plastik tempatnya biasa menampung air-air dari sungai desa tetangga. Asri menahan Marto tepat saat siap mengeluarkan sepeda, “itu jauh, Pak. Bapak pasti juga capek baru kerja. Aku masih punya uang. Kita beli air di juragan—“
“Jangan, Bapak bilang ndak usah. Kita ke sungai cari air, ayo!”
“Tapi, aku capek, Pak. Aku baru mau buat nasi tadi, tapi aku bingung. Airnya tinggal sedikit. Nanti kita minum apa?” Kata Asri begitu memelas.