Dada Lastri sakit setelah meminum air yang baru ia timba dari sumur dekat sawah meski sebelumnya ia bercerita air sumur itu sangat segar. Tidak berlangsung lama sejak cairan tawar itu menjalar ke seluruh tubuhnya. Memberikan kesegaran di awal, namun menyiksa di akhir. “Bapak ngangsu4 dari sumur tadi siang, air di luar belum Bapak ganti.”
“Tapi itu cuma air, Pak. Aku ndak mau minum, cuma buat—“
“Sama saja! Di luar bahaya, Nduk!”
Marto menarik lengan Asri memberikan tatapan ancaman. Butuh sedikit cara keras untuk mendidik anak perempuan satu-satunya yang wajib dilindungi oleh seorang ayah tunggal. Lastri meninggalkan Asri untuknya. Untuk ia jaga. Dan untuk perkara ini, Marto tahu itu hanya masalah air. Air yang diambil dari sumur tak jauh dari rumahnya.
Anak beranak itu saling melempar pandangan. Menyalurkan kekhawatiran akan sebuah ancaman kematian yang bisa datang malam ini juga. Seperti halnya Lastri, tidak hanya untuk Asri, bahkan Marto pun bisa jadi korban selanjutnya.
Asri menunduk tak berniat untuk melawan. Di hadapannya kini adalah bapaknya. Satu-satunya orang tua yang ia miliki. “Cukup hanya ibu yang pergi. Bapak butuh kamu,” kata Marto lagi-lagi berharap putrinya paham. Asri diam. Kemudian masuk ke kamarnya setelah sesuatu yang basah mengotori kain yang dipakainya. Ia masih butuh air besok, untuk mencuci.
***
Dipercayai oleh banyak penduduk desa, pagebluk tidak memandang siapa yang menjadi korban. Jika dalam satu musim warga telah mengatakan pagebluk datang, isyarat untuk waspada dan tak berjauhan satu sama lain dalam satu keluarga menuntut untuk segera ditaati.
Beberapa hari lalu, ada lima orang meninggal malam hari setelah panen raya usai. Menurut cerita warga, mereka minum air sumur di dekat sawah setelah pesta tayuban5usai. Sore itu, kelima pemuda melintasi depan sumur mengambil air untuk minum. Tidak jelas apa keluhan yang dirasakan. Berselang lima jam setelah mereka minum dan pulang ke rumah masing-masing, satu persatu pemuda itu mati di ranjang, teras depan rumah, bahkan ada yang terkapar di pematang sawah setelah mencari kodok untuk dijual.
Sementara dulu, Lastri, ibu muda dari desa itu hanyalah satu dari banyak warga desa yang meminum air sumur di dekat sawah milik juragan Purwadi ketika pagebluk datang. Sumber air yang terus tersedia di sana serta satu-satunya sumur yang dekat dengan pemukiman bisa dijadikan alasan untuk para warga desa memilih mengambil air di sana demi mencukupi kebutuhan hidup mereka. Lastri telah pergi, Marto paham itu dan kini ia tak ingin semua itu terjadi pada putri satu-satunya.
“Ini bukan perkara air, Mar. Pagebluk itu ndak jelas. Bisa saja cuma keluar rumah nanti malam juga meninggal. Jadi, jangan salahkan air dari sumur itu.”