Marto menghela napas berat. Ia merasa kasihan pada putri sematawayangnya. Hari-hari selalu dilanda kehausan dan kelaparan. “Airnya cukup untuk apa?”
Anak sembilan tahun itu melihat lagi sisa air yang ada di dalam gentong penampung air miliknya. “Masak nasi dan minum segelas—eh, ndak sampai segelas. Bapak mau minum?”
Si bapak menggeleng pelan meski tenggorokannya kering kerontang. Liurnya tak mempan menghilangkan dahaga meski pasokan saliva yang ia hasilkan lebih dari cukup untuk membasahi mulutnya. “Minum kamu saja, tinggal sedikit, toh?”
Asri memejamkan matanya memberikan jawaban. Bapaknya sangat pengertian jika sudah mengenai urusan kebutuhan asupan tubuh. Marto sudah biasa menahan haus tapi jangan untuk Asri. “Bapak pergi sendiri?”
“Ya, kamu di rumah saja, Bapak yang ambil air.”
“Hati-hati, Pak.”
Marto mengendarai sepeda anginnya menuju perbatasan desa. Meninggalkan Asri dirumah dengan air yang tersisa beberapa mili. Ia harus membagi untuk memasak nasi dan minumnya siang ini.
Hampir satu jam, Marto pergi mencari air dan Asri selesai menanak nasinya. Asap dari tungku api dapurnya memberi sensasi panas di tubuhnya. Hari ini ia sudah tak mandi karena persediaan air menipis untuk memasak dan minum. Ia memperhatikan batas gelas yang tidak penuh dengan air.
Tiga perempat gelas terisi air. Air untuk minum.
Hanya tiga tegukan saja, Asri menandaskan airnya. Gelas kaca berlogo salah satu merek sabun colek tertelungkup di atas mulut yang ternganga. Asri menunggu satu tetes terakhir air minumnya jatuh dengan sabar. Tes! Air terakhir jatuh tepat di tengah indra pengecapnya. Asri kecewa.
“Ndak mempan. Aku masih haus.”