Mohon tunggu...
Sifah Nur
Sifah Nur Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa, penulis -

Panggil aku Sifah. 20 tahun. Aku mencari kebebasan berbicara, meski hanya dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen] Sumur

8 Juni 2016   10:14 Diperbarui: 8 Juni 2016   10:32 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Kamu belain juraganmu? Takut dipecat? Jadi benar, yo, juragan Purwadi mau ambil ongkos buat air dari sumur itu?”

“Kamu itu emosi. Lastri sudah meninggal, ndak bakal balik.” Tris mengalihkan pembicaraan.

Marto menoleh tak percaya. Tris, sahabatnya sejak mereka masih SD berani mengatakan seperti itu tentang mendiang istrinya. Takdir mengatakan hal yang sama seperti apa yang dikatakan oleh Tris. Memang, Marto juga tahu. Kematian tidak bisa ditolak oleh siapapun. Dengan cara apapun juga. Hanya saja, Marto masih belum rela untuk sadar jika cinta pertamanya kini benar-benar telah pergi.

“Buat apa dipikirkan, sumur itu baik-baik saja. Kalau nanti kita mati, itu sudah takdir.” Kata Tris menyerahkan sebotol air mineral bersegel yang ia bawa dari kota. Marto ingat Asri, anaknya baru sedikit minum pagi ini. Mereka tak mengambil banyak air ketika bersama di sungai desa sebelah beberapa jam lalu. Biarlah enam ratus mili air pemberian Tris disimpan Asri untuk diminum nanti.

Tris tersenyum heran, karibnya itu terlalu takut hanya karena air sumur. “Rungokno6 aku, bisa saja aku pulang dari sini terus mati di kasur. Tanpa minum air dari sumur itu. Mar—“

“Aku paham. Aku ngerti. Tapi pagebluk iki bisa jadi datang dari air itu. Penyakit, Tris. Istriku, anak-anak muda beberapa hari lalu. Mati setelah minum air dari sumur itu.”

Bersihkeras, Marto tetap percaya jika air itu adalah sumber dari segala masalah. “Kalau kamu lebih percaya bukan dari air itu, kenapa kamu masih ke rumahku? Kamu bisa mati—“

“Yo, mati saja. Kalau itu sudah takdirku. Kamu jadi orang pertama yang paling lama aku ajak bicara. Wes, aku mau pulang, aku masih capek dari tempat kerja. Kota itu rame. Coba kamu keluar desa. Jangan jadi katak dalam tempurung. Glundang-glundung di desa ini terus,” kata Tris berpamitan pulang.

Daripada terus berdebat, Marto membiarkan sahabatnya pulang setelah oleh-oleh berupa air mineral ia terima. Sangat bermanfaat.

Berselang beberapa jam kemudian, takdir yang Marto dan Tris bicarakan menemui realita.

Sungguh malang nasib Marto, baru saja ia akan tidur, pintu rumahnya terdengar seperti diketuk. Temponya cepat mengindikasikan panggilan itu penting. Cepat-cepat Marto bangkit dari ranjangnya dan melihat siapa gerangan yang datang di tengah malam. Asri masih nyaman di balik selimut

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun