Sudah bisa ditebak, bahwa laki-laki matang itu tidak ingin terikat apapun dengan Surti. Tetapi ia tak mau memaksakan kehendak. Bukankah cinta tidak bisa dipaksakan? Misalnya ia memaksa, harga dirinya sebagai perempuan tidak bisa menerima. Apa jadinya?
***
Matahari baru saja tumbang di ufuk barat, berpeluk dengan jingga yang menguasai warna langit kota. Surti memandang hiasan awan dari balik jendela kereta yang ditumpanginya sejak lima jam lalu. Jam menunjukkan pukul 18.22 pada arloji kesayangannya.
Surti beringsut memperbaiki posisi duduknya. Sedari dua jam lalu ia berusaha tidur menikmati perjalanan pulang ke kampung halaman. Namun matanya tak kunjung bisa terpejam, meski udara dalam gerbong cukup bersahabat dengan adanya alat pendingin ruangan. Ia pun hanya duduk sendiri tanpa penumpang sebelah yang biasanya berbasa-basi membuka obrolan seperjalanan.
Pikiran gadis muda itu menerawang. Tertuju pada lamunan beberapa hari lalu. Tentang permintaan Ibu akan kesediaannya untuk segera menikah dalam waktu dekat usai berlebaran.
Surti mendesah, lebih tepatnya menghela napas panjang. Terasa berat, sesak di dada. Ia usap wajah yang berusaha tak letih. Berharap senyumnya bisa tetap mengembang saat berjumpa dengan Ibu.
Kereta masih melaju untuk singgah ke satu stasiun berikutnya, hingga satu jam ke depan bakal tiba di kota tujuannya.
***
Becak dengan ukiran khas kotanya, telah mengantarkan gadis berhijab sampai di depan rumah yang dirindukan. Hanya butuh sepuluh menit dari stasiun. Ia mengulurkan uang duapuluh ribu pada abang becak, lalu ditambahkan sepuluh ribu. Sesekali, Surti ingin memberikan abang becak yang tampak kusut, karena malam telah menjelang.
Surti menyematkan senyum lega atas perjalanan yang cukup melelahkan raganya. Kebun dan halaman yang asri menyambutnya, memberikan semilir aroma bunga di malam hari hingga sampai pintu pagar. Ia hafal, bunga kemuning kesayangannya sedang mekar bergerombol. Harumnya membuat rileks.
Segera dibuka pintu pagar, menimbulkan bunyi klontang khas. Seraut wajah menyembul dari balik pintu yang awalnya terbuka sedikit.Â
Ibu. Wajah yang dirindukan sekian lama, muncul berlarian kecil menyambut Surti.
"MasyaAllah, kamu sudah datang tho, Nduk!" Teriakan senang membuncah bersamaan derap langkah perempuan sepuh menghampiri Surti dan memeluknya erat di teras.
"Akhirnya kamu pulang, Nduk!" Dia lepaskan pelukan dan memandang gembira putri semata wayangnya.
"Nggih, Bu. Alhamdulillah perjalanan lancar," Surti mencium punggung tangan yang sudah berkeriput dengan takzim.
"Yo wes, ndang diangkat tasmu. Ini bawa apa? Ada dua dus besar. Kuat, po?" Ibu menyelidik bawaan Surti.
"Lha, buktinya sudah sampai rumah, Bu. Ya, dikuat-kuatkan saja." Derai tawa mereka berdua mengiringi langkah ke dalam rumah.
***
"Kamar ini, masih sama seperti saat aku tinggalkan. Ibu merawatnya dengan baik."
Surti memandang plafon berwarna putih.
Tubuhnya terbaring di kasur dengan seprai kembang pink kesukaannya pada masa itu, saat masih nyaman tinggal di kota ini. Wangi aroma blossom menguar lembut. Semua yang ada di dalam kamar, masih sama. Baik barang maupun posisinya. Tak ada yang merubah. Segala kenangan ada di sini.
"Ibu pasti mengerti, bahwa aku dan kenangan yang ada di kamar ini..." Kembara pikiran Surti terhenti, ketika suara ketukan pintu berbunyi lembut.
"Nduk, ayo makan dulu, sudah ibu siapkan makanan kesukaanmu."
"Iya, bu. Nanti Surti nyusul. Sebentar, baru berganti baju,"
Kembara pikiran Surti berlanjut. Ia hanya beralasan, untuk melanjutkan apa yang ada di kenangan pikirannya.
"Mas Bayu, apa kabarnya hari ini? Apakah ia ingat padaku? Aku rasa tidak. Mana mau ia ingat padaku, sedangkan aku bukan siapa-siapa buat dia. Hem."
Surti menarik nafas panjang. Sepertinya, ingatan kenangan akan berseri dan memanjang.Â
"Jika bukan karena ibu memanggilku untuk pulang, aku tak akan sampai ke rumah ini kembali hanya untuk serpihan kenangan yang tak bermuara."
***
Suara angin sepoi, mengiringi langkah kaki Surti. Di sampingnya, seorang laki-laki matang, tampak harmonis saat berjalan. Hening, tanpa ada suara. Masing-masing berada dalam pikirannya sendiri.
Tiba-tiba suara pelan memecah keheningan.
"Maafkan aku tak bisa meneruskannya, Dik,"
"Kenapa? Bukankah kamu sudah berjanji padaku?"
"Tetapi ini menyangkut baktiku pada ibu,"
Sudah bisa ditebak, bahwa laki-laki matang itu tidak ingin terikat apapun dengan Surti. Tetapi ia tak mau memaksakan kehendak. Bukankah cinta tidak bisa dipaksakan? Misalnya ia memaksa, harga dirinya sebagai perempuan tidak bisa menerima. Apa jadinya?
Surti menarik nafas pelan. Malam ini ia sampai rumah, demi Ibu yang memaksanya untuk segera menikah. Ia belum memiliki pilihan. Bahkan hatinya masih belum bisa terbuka untuk menerima kehadiran laki-laki yang akan menjadi pendamping hidupnya.
Ibu berjanji akan mencarikan jodoh dan sudah menemukannya. Hanya membutuhkan jawaban iya atau tidak dari Surti. Apakah ia mampu menerima jodoh dari Ibu?
"Belajarlah untuk membuka hati, Nduk," kata Ibunya di ujung telpon pada saat itu. Ia hanya bisa patuh. Tentu saja semampunya. Jika tak mampu, mengapa dipaksakan? Surti mengusap tetes air mata yang menitik. Hatinya pilu.
Surti berusaha merubah ekspresi wajah, agar Ibu tak melihatnya sedih. Bagaimanapun, Ibu adalah segalanya buat Surti di dunia ini. Ia ingin membahagiakan semampu dan sekuat tenaga miliknya. Apa sih yang tidak buat Ibu?
Suara ketukan pintu kembali terdengar untuk kedua kali. Surti keluar kamar, bersiap makan malam.
"Besok persiapan ya, Nduk. Teman Ibu akan berkunjung kemari bersama putranya. Kamu tidak harus mengiyakan. Ibu tak mau jika itu tidak membuatmu bahagia dan nyaman," kata Ibu dengan nada bahagia.
"Baik, Bu. Surti percaya pada pilihan Ibu. Surti pengin Ibu bahagia."
***
Hari yang dinanti tiba. Tetapi ekspresi Surti datar. Ia berjanji, apapun pilihan Ibu, pasti ini yang terbaik. Ia akan menerimanya.
Suara Ibu tampak mengobrol dengan temannya di ruang tamu. Ramai seperti telah lama kenal dan akrab. Ia tidak menguping, tetapi mendengar jelas. Padahal, Ibu biasa berbicara lembut dan pelan. Kecuali hari ini. Suara derai tawa sesekali ada di obrolan itu.
"Mana Surti, Jeng?"
"Sebentar saya panggilkan, ya, Jeng."Ibu menuju kamar Surti.Â
"Ayo, Nduk. Teman Ibu sudah datang dan menunggu bersama calonmu," katanya.
"Ibu yakin pada pilihan Ibu?"
"Yakin, Ibu mengenalnya sejak lama. Tetapi karena pindah, lama tidak pernah ketemu. Tetapi Ibu sering telpon ibunya. Sahabat Ibu waktu sekolah. Pasti kamu cocok. Ibu tahu seleramu."
Ibu mengerdipkan mata menggoda pada Surti. Ia yakin putrinya pasti bahagia.
Surti teringat Ibu sering bercerita dulu memiliki sahabat, namanya Tante Hesti. Ia belum pernah ketemu, kecuali mendengar ibunya berbincang di telpon. Itupun tak sering.
Surti keluar berbarengan dengan Ibunya menuju ruang tamu.
"Kamu?"
Surti kaget dan marah, lalu hendak lari menuju kamar kembali. Ia tidak bisa menerima kenyataan ini. Mengapa harus dia?
"Kalian saling kenal?"
Putra teman Ibu mengejar Surti dan memegang bahunya.
"Dik, tunggu. Jangan salah paham. Aku mengerti kamu sakit hati. Tetapi inilah kenyataan yang kita hadapi saat ini. Ternyata kita berjodoh."
"Siapa bilang? Bukankah dulu kamu menolakku, Mas?"
"Mana aku tahu kalau jodoh pilihan Ibu itu kamu?"
"Tetapi kamu lebih memilih jodoh yang diberikan Ibumu daripada aku."
"Dik, awalnya aku tidak tahu. Aku berusaha menolaknya, karena tentu saja aku lebih mencintaimu. Aku memilihmu. Pada saat terakhir kita ketemu, aku masih bimbang. Kamu terlanjur marah dan meninggalkan aku, lalu pergi jauh. Aku tak sempat menjelaskan. Kamu menutup semua akses komunikasi."
"Jadi, sebenarnya kamu tahu perjodohan ini, Mas?"
"Iya, aku bahagia setelah tahu, bahwa pilihan Ibu itu kamu. Aku sabar menunggu hari bahagia ini, untuk memberikan kejutan padamu."
Iya. Jodoh memang tidak akan kemana. Tetapi Surti tetap meminta waktu untuk menjawabnya. Hatinya belum pulih, meskipun ia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa ia akan menerima apapun pilihan Ibunya.
Kota Tepian Mahakam - Kota Lumpia, Kamis 4 Mei 2023 pukul 13.25 WIB.
Cerpen kolaborasi garapan Siska Artati dan Wahyu Sapta
***
Artikel 41 -2023
#Tulisanke-486
#CerpenKolaborasi
#SiskaArtati
#WahyuSapta
#NulisdiKompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H