Surti menarik nafas pelan. Malam ini ia sampai rumah, demi Ibu yang memaksanya untuk segera menikah. Ia belum memiliki pilihan. Bahkan hatinya masih belum bisa terbuka untuk menerima kehadiran laki-laki yang akan menjadi pendamping hidupnya.
Ibu berjanji akan mencarikan jodoh dan sudah menemukannya. Hanya membutuhkan jawaban iya atau tidak dari Surti. Apakah ia mampu menerima jodoh dari Ibu?
"Belajarlah untuk membuka hati, Nduk," kata Ibunya di ujung telpon pada saat itu. Ia hanya bisa patuh. Tentu saja semampunya. Jika tak mampu, mengapa dipaksakan? Surti mengusap tetes air mata yang menitik. Hatinya pilu.
Surti berusaha merubah ekspresi wajah, agar Ibu tak melihatnya sedih. Bagaimanapun, Ibu adalah segalanya buat Surti di dunia ini. Ia ingin membahagiakan semampu dan sekuat tenaga miliknya. Apa sih yang tidak buat Ibu?
Suara ketukan pintu kembali terdengar untuk kedua kali. Surti keluar kamar, bersiap makan malam.
"Besok persiapan ya, Nduk. Teman Ibu akan berkunjung kemari bersama putranya. Kamu tidak harus mengiyakan. Ibu tak mau jika itu tidak membuatmu bahagia dan nyaman," kata Ibu dengan nada bahagia.
"Baik, Bu. Surti percaya pada pilihan Ibu. Surti pengin Ibu bahagia."
***
Hari yang dinanti tiba. Tetapi ekspresi Surti datar. Ia berjanji, apapun pilihan Ibu, pasti ini yang terbaik. Ia akan menerimanya.
Suara Ibu tampak mengobrol dengan temannya di ruang tamu. Ramai seperti telah lama kenal dan akrab. Ia tidak menguping, tetapi mendengar jelas. Padahal, Ibu biasa berbicara lembut dan pelan. Kecuali hari ini. Suara derai tawa sesekali ada di obrolan itu.
"Mana Surti, Jeng?"
"Sebentar saya panggilkan, ya, Jeng."Ibu menuju kamar Surti.Â