Tak mengapa datang terlambat, masih disambut oleh si empunya hajat. Bahkan beberapa rekan kantor dan pimpinan suami ada di tempat.
Kami pun kembali menyusuri area menu hidangan yang disajikan dengan tatanan lapak berjajar membentuk huruf L.
Suami langsung menuju ke menu Bakso Malang. Mengambil satu mangkok dan dilayani oleh pramusaji untuk kuah dan baksonya.
Saya cukup tertarik, tapi menahan diri dulu. Agak bosan juga mau makan bakso. Jadilah saya minta izin ke suami,"Bunda keliling dulu ya, lihat-lihat menunya apa saja."
Ada nasi goreng yang menarik perhatian saya. Mirip Nasi Biryani, tapi ternyata nasi goreng dengan menggunakan beras yang berbeda. Lengkap dengan tatanan telur ceplok atau telur rebus yang sudah dibelah dua, ayam goreng, sambal merah, acar, kerupuk dan pritilan lainnya.
Beralih menu lain, ada lontong dan sate ayam, sup kimlo, soto banjar, dan.. hei! Apa itu?
Dalam wajan besar terlihat mie dengan kuah segar dan aroma rempah yang mengulik serela makan. Mie-nya besar dan tidak nyemek, berbaur dengan potongan sawi, ayam dipotong dadu dan irisan udang.Â
"Mie Kluntung. Wah, dari daerah mana ini, Mbak?" Saya membaca judul menu makanan yang tersemat pada pilinan hiasan pagar mini di meja sajian, sekaligus bertanya pada si Mbak Pramusaji.
"Menu kuliner khas Malang-Jawa Timur, Bu. Silakan," jawabnya ramah sembari menyodorkan mangkuk berikut sendok.Â
Akhirnya saya memutuskan menikmati hidangan ini, yang baru saya temukan pada sebuah resepsi pernikahan.Â
"Apa itu, Bun?" Suami turut penasaran ketika saya duduk mendekatinya.