"Ray, wajahmu pucat sekali. Kau sakit?" Tanya Ranko sembari menyentuh dahiku yang tak panas sama sekali.
Untuk sejenak, aku menikmati keharuman tubuh Ranko yang beraroma wood dan citrus. Aku ingin tangan halus itu berlama-lama di dahiku.
"Ehem, Ranko. Ia tak sakit. Tapi, ia begadang main games Banana Kong," seru Tama, hantu kucingku yang suka menghancurkan suasana romantis. Memang hantu kucing jomblo seringkali menyebalkan.
Aku memberi kode dengan mataku pada Tama agar ia menghentikan laporannya. Tapi, ia berpura-pura tak melihat. Ia malah mendengus dengan gayanya yang khas.
 "Ray, bagaimana dengan persiapan ujian masuk Universitas-mu? Kau tak menelantarkan studimu, kan?" Selidik Ranko. Ia tampak curiga dengan karakterku yang santai.
"Tenang saja. Tama ini mentor yang luar biasa sadis. Aku tiap hari belajar keras hingga otakku mendidih jika tak ada tugas berburu hantu."
"Aneh sekali yang Tama kisahkan padaku. Malam tadi Jurnal Hantu-mu diantarkan oleh Tuyul?" Tanya Ranko.
"Bukan sembarang Tuyul. Ia Tuyul Hitam yang dipiara oleh dukun," seru Tama.
"Ah, bukankah Ray pernah mengisahkan dulu kalian gagal menangkap Tuyul Hitam?"
Aku dan Tama menggangguk serempak.
"Tadi pagi di Breaking News disiarkan kematian Pak Romi. Ia salah satu klien lama yang memintaku untuk menangkap Tuyul Hitam. Tapi, yang tertangkap malah Tuyul biasa. Polisi menemukan banyak benda mistis di rumahnya," jelasku.
"Wah, kebetulan sekali dengan munculnya Tuyul Hitam di rumahmu. Apa penyebab kematian Pak Romi?"
Tama menggelengkan kepalanya. "Kematiannya mengerikan. Gadis manis sepertimu sebaiknya tak mengenal kejahatan dunia. Apa kau sanggup mendengarnya?"
Ranko merengut. "Aku bukan gadis kecil yang harus diperlakukan seperti porselen yang mudah pecah."
Tama menghela napas. "Ia mati dengan rongga dada yang kosong. Ada yang mengambil jantungnya."
"Mungkin ia korban penjualan organ tubuh?" Tanya Ranko sembari mengerutkan kening. "Bukankah sedang marak penjualan organ tubuh?"
"Mungkin saja," ujarku membenarkan dugaan Ranko.
"Jika hanya itu, mungkin disebabkan perbuatan manusia. Tapi, ada keganjilan lain," kata Tama.
"Apa?" Tanya Ranko. Matanya yang jernih membulat karena penasaran.
"Ia tak memiliki darah setetes pun."
"Maksudnya darahnya membeku setelah dibunuh?" Tanyaku.
"Bukan. Darahnya seperti diisap habis. Aku yakin ini perbuatan iblis," ujar Tama.
"Ah, Tama, kau ingat perkataan Tuyul Hitam, tidak? Dia membunuh Tuan Majikan dan aku harus membalas dendam perbuatan Dia," kataku dengan nada misterius.
Ranko ternganga. "Mengerikan sekali. Apa yang harus kita lakukan jika berhadapan dengan iblis? Aku tak mau jika kau atau pun Tama sampai celaka."
"Tenang saja, Ranko-ku Sayang! Aku ini hantu kucing. Ia tak akan bisa berbuat banyak. Lain halnya dengan Ray yang manusia," desah Tama dengan pandangan meremehkanku. Hantu kucing ini memang level keangkuhannya 100.
"Kau tetap saja harus berhati-hati, Tama. Tuyul Hitam saja berubah menjadi abu dan lenyap," seruku mengingatkan.
"Ya, kau benar. Kita semua harus berhati-hati. Termasuk kau, Ranko. Mungkin sebaiknya kau jangan mendatangi kami dulu hingga kami berhasil menangkap iblis ini."
Ranko langsung memprotes, "Ah, kalian curang! Ini diskriminasi. Aku kan termasuk kelompok pemburu hantu bersama kalian."
"Tapi, kali ini kita menghadapi iblis. Ia bukan hantu biasa," sahutku dengan nada khawatir.
"Kau kan bisa saja menanyakan pada kakekmu tentang iblis ini. Siapa tahu ia pernah menangani iblis yang suka makan jantung dan mengisap darah," usul Ranko.
Tama melompat dan mencium kening Ranko. "Ah, gadisku ini memang jenius. Tak seperti majikanku."
Lagi-lagi aku menjadi korban bully Tama. Tapi, harus kuakui usul Ranko memang logis. Apa salahnya bertanya pada Kakek Fandi yang jauh lebih berpengalaman dari diriku.
***
"Mendengar kisahmu, Kakek jadi teringat bocah iblis yang pernah kakeknya Kakek tangani. Ia memakan jantung puluhan warga Desa Kemuning. Tubuh mereka pun tak memiliki darah setetes pun," kata Kakek Fandi.
"Lalu, bagaimana cara Beliau memerangkap bocah iblis?"
Kakek Fandi tercenung. "Beliau memiliki warna iris mata persis diriku dan dirimu. Mata kiri cokelat kelam dan mata kanan abu-abu. Itu merupakan ciri-ciri kemampuan untuk memanggil roh nenek moyang. Hanya kekuatan roh nenek moyang yang bisa melawan kekuatan iblis yang berusia ratusan atau pun ribuan tahun."
"Memanggil roh nenek moyang?"
"Tak pernahkah kau merasakan hadirnya roh nenek moyang saat kau memburu hantu?"
"Tidak. Aku hanya dibantu Tama, hantu kucingku."
Kakek Fandi tersenyum. "Masa?"
Aku berpikir sejenak, "Aku pernah dibantu oleh harimau jadi-jadian jinak saat bertempur melawan pocong hitam. Setelah membantuku, ia lenyap begitu saja."
"Tak ada kejadian aneh lagi?"
"Saat rohku terperangkap dalam mutiara hitam oleh jin ular pria yang mengambil alih tubuhku, tiba-tiba rohku bisa kembali masuk. Ranko yang dirasuki jin ular perempuan pun pulih seperti sedia kala."
"Jadi, apa kesimpulanmu?"
Aku ternganga. "Tak mungkin!"
"Apa yang tak mungkin? Awas ada lalat yang masuk ke dalam mulutmu," goda Kakek Fandi. Ia mengedipkan mata kirinya dengan jenaka.
"Masa roh nenek moyang kita ialah harimau jadi-jadian?"
Kakek Fandi tersenyum misterius. "Apa pun mungkin di dunia ini. Roh nenek moyang bisa menampilkan diri dalam wujud apa pun. Kebetulan roh nenek moyang yang melindungimu memilih wujud harimau saat menampakkan diri padamu."
"Aku tetap tak mengerti. Apakah kita keturunan manusia harimau? Cool!" Sahutku antusias.
"Dasar tukang berkhayal! Memangnya kau pernah berubah menjadi harimau?"
Aku menggelengkan kepala dengan sedih. Pupus sudah khayalanku.
Kakek Fandi mengerutkan kening. "Aku berharap roh nenek moyang tetap melindungimu saat berhadapan dengan anak iblis. Tapi, tentu kau tetap harus berhati-hati dan tidak hanya mengandalkan 100% roh nenek moyang."
"Lalu, bagaimana cara memanggil roh nenek moyang saat keadaanku terdesak?"
"Pijakkan kaki kananmu tiga kali sembari berkata seperti ini. Maung pundung datang derung. Tulung abdi katurunan pituin anjeun. Ridhona Gusti Allah Swt. (Harimau marah datanglah. Tolong saya yang merupakan keturunan asli Anda. Ridho-nya Allah Swt.)"
"Terima kasih banyak, Kakek. Salam untuk Ibu."
Kakek Fandi tersenyum manis. "Kakek percaya kau akan bisa mengatasi bocah iblis." Kemudian, ia menutup sambungan Zoom.
***
"Tama, menurutmu bocah iblis akan mendatangi kita?" Tanyaku.
"Tentu saja. Ia pasti sangat membenci kau yang yang merupakan keturunan manusia yang telah memerangkapnya dalam Jurnal Hantu. Tenang saja! Aku akan selalu mendampingimu."
Aku memeluk erat Tama hingga ia mengeong marah. Ia mendesis, "Dasar bocah!"
Gerutuan Tama membuatku tersenyum geli. Aku sudah terbiasa dengan tabiatnya yang sering berpura-pura kasar.
  Aku memandangi langit-langit kamarku dengan perasaan tak menentu. Profesi pemburu hantu membuatku memikirkan kehidupan dan kematian dalam perspektif yang berbeda. Sejak mewarisi usaha perburuan hantu Kakek Fandi, nyawaku seringkali terancam. Tapi, aku tak pernah memikirkan cara kematianku secara mendalam. Aku tak ingin mati konyol di tangan bocah iblis seperti kematian Pak Romi yang mengerikan.
Rintik hujan yang turun membuat sejuk cuaca yang akhir-akhir ini sangat menyengat. Lama-kelamaan rasa kantuk pun mulai menyerang diriku.
Aku yang sedang terlelap, tak pernah menyadari ada seraut wajah tampan yang muda dan kekanak-kanakkan yang memandangku dan Tama dari cermin dinding di kamar tidurku. Tapi, Tama menyadarinya.
"Ray, ia sudah datang! IA SUDAH DATANG! IA ADA DI DALAM CERMIN."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H