"Terima kasih banyak, Kakek. Salam untuk Ibu."
Kakek Fandi tersenyum manis. "Kakek percaya kau akan bisa mengatasi bocah iblis." Kemudian, ia menutup sambungan Zoom.
***
"Tama, menurutmu bocah iblis akan mendatangi kita?" Tanyaku.
"Tentu saja. Ia pasti sangat membenci kau yang yang merupakan keturunan manusia yang telah memerangkapnya dalam Jurnal Hantu. Tenang saja! Aku akan selalu mendampingimu."
Aku memeluk erat Tama hingga ia mengeong marah. Ia mendesis, "Dasar bocah!"
Gerutuan Tama membuatku tersenyum geli. Aku sudah terbiasa dengan tabiatnya yang sering berpura-pura kasar.
  Aku memandangi langit-langit kamarku dengan perasaan tak menentu. Profesi pemburu hantu membuatku memikirkan kehidupan dan kematian dalam perspektif yang berbeda. Sejak mewarisi usaha perburuan hantu Kakek Fandi, nyawaku seringkali terancam. Tapi, aku tak pernah memikirkan cara kematianku secara mendalam. Aku tak ingin mati konyol di tangan bocah iblis seperti kematian Pak Romi yang mengerikan.
Rintik hujan yang turun membuat sejuk cuaca yang akhir-akhir ini sangat menyengat. Lama-kelamaan rasa kantuk pun mulai menyerang diriku.
Aku yang sedang terlelap, tak pernah menyadari ada seraut wajah tampan yang muda dan kekanak-kanakkan yang memandangku dan Tama dari cermin dinding di kamar tidurku. Tapi, Tama menyadarinya.
"Ray, ia sudah datang! IA SUDAH DATANG! IA ADA DI DALAM CERMIN."