Mohon tunggu...
sisca wiryawan
sisca wiryawan Mohon Tunggu... Freelancer - A freelancer

just ordinary person

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Jurnal Hantu, Bab 19 - Pocong Hotel Bagian 2

19 September 2024   19:17 Diperbarui: 20 September 2024   10:45 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pixabay.com.

Aku mengerjapkan mata. Tiba-tiba pocong merah muda menampakkan diri.

       "Eh, ada pocong perempuan?" Tanyaku heran.

     "Pocong perempuan apa? Sudah jelas pocongnya pria berkumis tebal seperti singa laut. Kau ini perlu kacamata, ya?" hardik Ranko.

   Aku terkekeh. Hanya sedetik, tawaku berubah menjadi ringisan. Pocong yang super sensitif itu membuatku terjungkal ke belakang hanya dengan menatapku.

       "RAY, AWAS!" Seru Ranko.

     Pocong itu melemparkan kursi taman ke arahku. Tapi, aku berhasil meloloskan diri dengan berlari menjauh. Belum sempat aku mengucapkan mantera pengusir hantu, pocong itu bersiap melompat jauh menuju ke arahku. Kemudian, ia menghilang. Dan ia menampakkan diri dengan jarak yang lebih dekat denganku.

    Aku sangat panik. Tiba-tiba pocong itu sudah melayang di hadapanku. Kain kafannya sama sekali tak menyentuh tanah. Matanya seperti bola api.

     Pocong itu semakin mendekat. Aku bisa merasakan napasnya yang sepanas api neraka. Aku berusaha mundur dan tak sengaja menginjak bola-bola yang lunak dan basah. Apakah ini? Apakah itu? Rasanya, seperti pertanyaan beruntun pada Petualangan Dora. Tapi, berbeda dengan Dora, pengalamanku sangat menyeramkan karena saat kulirik, bola yang kuinjak ialah kepala orang. Tepatnya, kepala pocong yang ukurannya seperti kepala anak-anak. Kepala-kepala pocong itu terbang melayang di sekitarku. Mata mereka berpijar seperti bola kristal hijau.

      Karena terlampau terkejut, aku menendang kepala-kepala pocong tersebut yang langsung menghantam dinding gazebo. Ada 3 kepala pocong berwarna merah muda. Untungnya, setelah kutendang, kepala-kepala pocong tersebut langsung terbang melayang dan lenyap.

    Aneh juga. Apakah pocong-pocong ini menonton film Barbie sehingga mereka semua menggunakan kain kafan berwarna merah muda?

    Baru saja aku merenung, pocong berkumis tebal sudah siap menyerangku. Ia membuka rongga mulutnya dan keluarlah belatung seperti curah hujan.

      Aku memejamkan mata dan meyakinkan diri bahwa ini semua hanyalah halusinasi. Tapi, tetap saja aku merasa mual karena gerakan belatung yang menggeliat-liat. Aku sibuk melepaskan belatung yang hendak memasuki rongga telinga dan hidungku.

   Pocong berkumis yang melayang di udara itu mengibaskan diri. Tiba-tiba melayanglah gulungan kain kafan yang sangat panjang dan membelit diriku seperti kepompong. Kain kafan tersebut tersambung dengan kain kafan si pocong berkumis.

   Ranko menjerit histeris ketika melihat diriku melayang di udara setinggi dua meter. Ketika pocong berkumis hendak membanting diriku ke arah dinding gazebo, tiba-tiba Tama menampakkan diri. Ia menerjang si pocong berkumis sekuat tenaga hingga kain kafan yang menghubungkan si pocong berkumis dan diriku putus.

     Aku merasa inilah akhir dari riwayat hidupku. Tanpa kain kafan yang menahan, tubuhku meluncur karena gaya gravitasi. Tepat di bawahku, ada rumpun bambu China yang ujung-ujung batangnya berisiko menusuk diriku.

     Aku memejamkan mata dan mengingat wajah-wajah yang kusayang, yaitu Kakek Fandi, Ibu, Ranko, Tuan Kamizawa, Pak Rangga, dan Tama. Terutama Tama. Aku tak bisa menepati janjiku pada Nona Missy untuk menjaga Tama. Maafkan aku, Tama. Mungkin kita akan berjodoh untuk bertemu lagi di kehidupan yang lain.

     Ketika aku mengira diriku sudah tewas, terdengar suara raungan harimau yang menggetarkan seluruh penjuru Hotel Heart. Aku merasa diriku dibuai oleh sesuatu dan diletakkan dengan lembut di atas rumput. Sesuatu yang hangat menjilati pipiku hingga aku membuka mata dan terpana. Dua mata hijau sebesar bola tenis balik menatapku. Otomatis, aku berusaha menjauhi kepala harimau itu. Tapi, ia tak memberi kesempatan. Ia terus menjilati wajahku dan menggesek-gesekkan kepalanya ke dadaku.

      Harimau jadi-jadian ini berguling-guling kesenangan di atas rumput. Aku tercengang menatap dirinya yang seperti tak berdaging di bagian tubuh alias gepeng. Tapi, bagian kepala dan keempat kakinya tidak gepeng.  Walaupun ia bergerak maju dengan mengesot, tapi ia sangat lincah.

  "Ray, bantu aku. Jangan bermain terus dengan harimau itu!" Seru Tama yang mengalami kesulitan ketika melawan si pocong berkumis. Tubuh Tama tampak terbelit kain kafan si pocong berkumis.

     Tepat saat aku mengeluarkan Jurnal Hantu dari saku bagian dalam jaketku, harimau jadi-jadian itu menghilang seolah-olah ia mengetahui bahwa ia bisa terperangkap di dalam Jurnal Hantu. Aku segera merapal mantera.

Makhluk kegelapan kembalilah ke asalmu.

Aku membebaskanmu dari perjanjian terkutuk.

Mahkluk kegelapan terkurunglah kau di sini.

Abadilah dalam keheningan.

      Aku terpana melihat wujud asli si pocong berkumis. Tengkorak dalam kain kafan merah muda itu menari-nari. Dan dengan lolongan panjang yang mengerikan, ia terperangkap dalam Jurnal Hantu.

    Aneh sekali. Sudah jelas pocong itu menggunakan kafan merah muda. Tapi, tulisan di dalam Jurnal Hantu tertera sebagai berikut.

Pocong Hitam.

Pocong yang digunakan untuk pesugihan. Wujud aslinya ialah pocong tengkorak. Ia jauh lebih sakti dibandingkan pocong lainnya.

***

"Ranko, maafkan aku," kata Mia dengan raut sendu. "Kau masih marah, ya?"

Ranko membisu. Wajah imutnya merengut. Ia memainkan strawberry shortcake-nya dengan sebuah garpu kecil.

"Aku tidak berbohong ketika mengatakan aku dalam perjalanan ke Hotel Heart. Tapi, aku terlalu takut untuk mendatangimu."

"Lalu?" Tanya Ranko dengan nada datar.Kemudian, ia menyeruput Earl Grey Tea-nya dengan anggun.

Mia mendesah melihat tingkah laku sahabatnya. "Ketika perjalanan menuju Hotel Heart, aku diganggu hantu. Padahal aku tak pernah mengalami pengalaman mistis sebelumnya."

"Hantu apa?"

"Pocong," ujar Mia. "Pocong berkain kafan merah muda. Yang paling kuingat kumis tebalnya yang melintang."

Ranko terkikik dan berkata menggoda, "Apa yang kau alami? Apakah kau memboncengnya?"

Mia berkata dengan gusar, "Jauh lebih buruk. Setelah melintasi tanjakan, aku salah mengambil tikungan sehingga melintasi terowongan bambu. Kau bayangkan saja. Bagaimana aku tidak merinding? Terowongan bambu itu kan terdiri dari jajaran pohon bambu di kedua sisi jalan. Batang bambu yang melengkung sehingga membentuk terowongan tersebut perlahan berdiri tegak begitu aku melintasinya."

"Aku belum pernah mendengar pengalaman mistis seperti itu."

Mia mengerang, "Sebenarnya, aku tak ingin mengingat pengalaman buruk itu. Tapi, kau kan nanti mengira aku sengaja tak datang."

"Lanjutkan kisahmu! Seru juga," sahut Ranko. Ia menyeringai senang.

Mia menyugar rambutnya, "Kau ini tak ada empati sama sekali padaku."

"Sudah tahu ada pocong, tapi kau tak memberitahuku. Aku juga diganggu pocong berkumis saat berada di Hotel Heart."

"Aneh sekali. Apa kita diganggu pocong yang sama?"

"Sepertinya begitu. Lalu, bagaimana kelanjutan ceritamu?" Desak Ranko.

"Di setiap ujung batang bambu yang berdiri tegak itu ada pocong. Jadi, aku melihat banyak sekali pocong berkain kafan merah muda. Tapi yang paling menyebalkan ialah pocong merah muda berkumis tebal itu. Ia melompat turun dan menghadang motorku. Sepertinya, ia pemimpin para pocong karena ia bertubuh paling besar. Aku langsung berbalik arah, tapi ia membuat motorku mogok. Kemudian..." Mia bergeming.

"Kemudian? Ceritanya jangan terputus-putus," pinta Ranko dengan mata berbinar.

"Ini aib besar dalam hidupku. Pocong centil itu menciumku. Aku bisa merasakan kumisnya yang kasar menggesek pipiku. Napasnya sepanas api," ratap Mia. Ekspresi wajah Mia begitu menyedihkan.

"Mengapa kau tak lari?" Tanya Ranko. Ia berusaha menawan tawa.

"Bagaimana mungkin aku lari? Badanku kaku, tak bisa bergerak sama sekali."

"Oh begitu."

"Awas ya jika kau ceritakan aku dicium pocong berkumis tebal pada teman-teman sekelas."

Ranko tersenyum jail, "Hidup ini tak gratis. Semua hal ada imbalannya. Fakta kau seorang femme fatale bagi pocong tentu akan menjadi gosip seru."

"Ya, aku sangat mengerti. Apa yang kau inginkan?" Tanya Mia dengan pasrah.

"Aku berpikir dulu."

"Jangan yang mahal."

"Aib besar, imbalan tutup mulutnya tentu besar," kata Ranko. Tiba-tiba ia terpana, "Mia, kau jangan menoleh ke samping kirimu."

"Apaan sih, Ranko. Aku tahu kau indigo. Tapi, jangan menakut-nakutiku!"

Ranko meneguk ludah. Ada pocong muda yang duduk manis di samping kiri Mia.

- - - - -

Kisah pocong hotel yang berkumis terinspirasi dari pengalaman masa kecil penulis yang dikejar pocong berkumis saat Magrib. Saat itu penulis baru saja membeli tahu berontak. Sungguh tega mengejar anak kecil ... 😱

Kisah ini juga terinspirasi dari pengalaman adik penulis yang memergoki pocong sedang merenung dan duduk manis di ayunan taman hotel yang penuh dengan bunga dan hiasan papan love... so melancholic!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun