Tepat jam sembilan pagi Pak Doni dan Fina mengantar aku, Ranko, dan Tama menjelajah Kedai Oishi yang terdiri atas dua lantai. Lantai pertama merupakan dapur, toilet, dan ruang makan. Lantai kedua merupakan ruang makan dengan konsep roof top. Ada gazebo-gazebo kecil untuk pelanggan sehingga lebih privacy. Agar tampak asri, banyak tanaman hias yang digantung di sekat-sekat gazebo. Aku sangat menyukai deretan bonsai yang tertata rapi di antara gazebo. Desain kedai ini minimalis dan sangat cantik hingga Ranko melupakan tujuan utamanya datang ke kedai ini. Ia malah asyik selfie dan mem-vlog. Tama pun teracuni tingkah Ranko. Ia juga asyik menggesek-gesekkan tubuhnya ke tanaman rosemary.
Setelah puas berkeliling di lantai dua dan merasakan hangatnya sinar mentari, aku dan Ranko memutuskan untuk memeriksa halaman kedai. Khususnya, di area penampakan si kunti merah. Tapi, pencarian kami kembali nihil. Tidak ada yang mencurigakan. Tidak ada gundukan tanah yang mungkin merupakan area jimat ilmu hitam dikuburkan. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk memeriksa lantai satu kedai dengan lebih seksama.
Aku memimpin rombongan kecil ini menuju toilet yang berada di sudut lantai satu. Nihil. Tak ada yang ganjil baik di toilet pria maupun toilet perempuan.
CLAK. CLAK.
CLAK. CLAK.
"Ah, selalu saja keran di toilet perempuan ini bocor," keluh Pak Doni. Ia menutup erat keran itu. Tapi, tak berapa lama air kembali menetes.
"Ray, lihatlah. Air keran itu berubah menjadi darah," bisik Ranko. "Aku mulai merasakan kehadiran kunti merah."
Aku menatap keran itu dengan nanar. Tanpa menghiraukan tangan Ranko yang menahanku, aku menghampiri keran wastafel dan mengetuk dinding tempat menempelnya keran tersebut.
Jantungku berdegup kencang. Terasa ada gema pada ketukanku yang menandakan ada ruang kosong di dinding tersebut. "Pak Doni, bagaimana jika nanti kerannya dibongkar saja dan diganti? Lalu, tolong periksa di belakang keran apakah ada ruang kosong?"
Pak Doni mengiyakan tanpa banyak bertanya. Ia mengusap keningnya yang berkeringat.
"Di balik kain merah bertuliskan kanji ini apa, Pak?" Tanyaku sembari menunjuk area di bawah anak tangga.
"Itu ruangan penyimpanan sapu dan tongkat pel," jawab Pak Doni.
Ranko menyibak kain merah tersebut dan terkesiap. "Ada telapak tangan darah. Ray, coba kau lihat juga."
Aku pun menyentuh telapak tangan darah yang tercetak di atas pintu. Tama mendengus dan berkata, "Permainan hantu ini mulai serius. Berhati-hatilah."
"Aku tak melihat apa-apa?" Tanya Fina penuh rasa heran. "Lagipula ruangan itu begitu kecil. Mana mungkin Linda bersembunyi di sana?"
"Ranko indigo," jawabku singkat. "Bolehkah kami memeriksa?" Tanyaku pada Pak Doni.
Sejenak Pak Doni ragu. Ia memilin-milin kumisnya yang tebal. Tapi akhirnya, ia mengeluarkan serenceng kunci dari saku kemejanya dan memutar kunci. Pintunya tetap tidak terbuka walaupun aku mencoba memutar kunci lebih keras.
Setelah aku dan Pak Doni mendobrak 3 kali dengan bahu kami, pintu ruangan tersebut pun berhasil terbuka. Ruangan kecil tersebut sangat gelap dan pengap. Bau amis menyeruak begitu kami membuka pintu.
Aku mengarahkan senter ke sekeliling ruangan. Kami semua terpana melihat pemandangan mengejutkan itu. Si kunti merah melekat di langit-langit ruangan.
HIHIHI.
HIHIHI.
Kunti merah itu cekikikan. Lalu, melempar sebuah bola ke arah Pak Doni. Kemudian, ia menghilang.
"KE...KEPALA MANUSIA," teriak Pak Doni.
Tak hanya kepala manusia, ada potongan-potongan tubuh manusia yang tercecer. Tapi, yang paling mengerikan ialah kepala dengan mata melotot dan mulut menganga itu. Siapakah ia?
***
Polisi menyegel Kedai Oishi. Tak ada yang boleh memasuki kedai tanpa izin polisi penyidik.
"Sangat mengerikan. Bencana besar. Ray, Ranko, kalian tak akan percaya ini," kata Pak Doni.
"Percaya apa?" Tanyaku.
"Korban mutilasi itu Almarhum Pak Faiz. Aku tak mengenalinya karena kepalanya sudah membusuk. Ahli visum menyatakan Almarhum sudah meninggal dunia lebih dari seminggu. Jadi, siapa yang meneleponku dan Fina? Padahal suara di telepon itu jelas suara Almarhum. Memang suaranya agak berbeda dibanding biasanya. Suaranya lebih parau dan tak jelas pengucapan huruf r-nya. Dan ternyata lidah Almarhum hilang. Polisi belum menemukannya."
"Itu tak aneh, Pak. Almarhum sangat mencintai Linda, anak perempuannya dan ingin menyelamatkannya," timpal Ranko yang berdiri di sebelahku sembari menggendong Tama.
"Aku sangat takut. Sejak kita menemukan Almarhum, aku selalu bermimpi buruk setiap malam. Kepala Almarhum selalu mendatangi mimpiku dan memaksaku untuk mencari Linda. Tapi aku bingung harus mencari ke mana?" Keluh Pak Doni. Ia tampak begitu pucat. Matanya cekung seperti tuyul. "Lama kelamaan aku tak waras."
Aku terpekur dan terlonjak karena teringat sesuatu. "Pak, hasil pemeriksaan dinding keran bagaimana?"
"Ah, aku melupakannya. Dugaanmu tepat. Ada bilik kecil penyimpanan tepat di belakang dinding keran," sahut Pak Doni. Ia menunjukkan layar handphonenya. "Agak aneh. Hanya ada selembar foto gadis cantik, segulungan rambut panjang, dan kain putih kumal bertuliskan aksara Jawa kuno. Aku tak mengerti artinya. Polisi mengizinkan aku memfoto barang-barang tersebut. Siapa tahu ada di antara kita ada yang mengenalnya."
Aku, Ranko, dan Tama langsung berebutan melihatnya.
"Itu kan si kunti merah. Aku sangat mengingat lekuk wajah dan bibirnya," kata Ranko.
"Benar," sahutku.
"Tak diragukan lagi," timpal Tama. Suara Tama tentu saja hanya terdengar olehku dan Ranko.
"Aduh, kasus ini tambah seram saja. Bagaimana kita mengatakannya pada polisi bahwa gadis di foto ini ialah kunti merah yang merasuki Linda dan membunuh Almarhum," kata Pak Doni dengan gugup. "Polisi tak akan mempercayai perkataan kita."
"Tapi ini kemajuan. Kita tinggal menunggu identitas gadis itu dan misteri ini akan mulai terkuak," sahutku.
"Bagaimana dengan Linda? Apa polisi sudah menemukan titik terang?"
Pak Doni menggeleng-gelengkan kepalanya yang agak pitak. "Buntu. Tak ada yang mengetahui keberadaan Linda. Semoga Allah Swt melindungi gadis itu."
Seminggu setelah penemuan potongan jenazah Pak Faiz, Linda ditemukan sedang mengais sampah di dekat Kedai Oishi. Penampilannya acak-acakan. Gaun merahnya penuh dengan robekan dan kotor karena ia hidup menggelandang berhari-hari.
***
"Aku masih tak mengerti. Mengapa Linda mengakui dirinya membunuh ayahnya sendiri? Apa motifnya? Bukankah kunti merah yang membunuh Almarhum Pak Faiz?" Tanyaku pada Ranko dan Tama. Kami sedang berdiskusi setelah membaca liputan khusus pembunuhan Almarhum Pak Faiz melalui koran online.
Setelah menelan keripik singkong pedas kesukaannya, Ranko beropini, "Menurutku, memang benar Linda yang membunuh Almarhum Pak Faiz. Kau ingat kan perkataan Pak Doni bahwa Linda anak yang sangat penurut dan tak pernah membantah ayahnya. Lalu, sikap Pak Doni dan Fina yang sangat takut pada Almarhum. Aku tak bermaksud menjelekkan pribadi Almarhum. Tapi mungkin saja Linda merasa sangat tertekan berada di bawah bayang-bayang ayahnya. Pak Doni berkata ibunya Linda melarikan diri dengan pria lain."
"Ya, bisa saja teorimu benar," sahutku.
"Kalian sangat ceroboh," kata Tama meremehkan. "Aku beri petunjuk. Coba kalian bandingkan foto gadis yang ditemukan di dinding keran dengan foto Linda."
Jantungku berdebar kencang. "Mereka mirip, walaupun tak seperti pinang dibelah dua."
"Benar. Aku tak memperhatikannya," sahut Ranko dengan suara bergetar. "Ini benar-benar tragedi jika gadis di foto itu ialah ibu kandung Linda. Untuk apa ia merasuki Linda dan membunuh Almarhum Pak Faiz? Jadi, apa kesimpulannya, Tama? Walaupun aku indigo, kunti merah itu tak mau membeberkan perasaannya padaku."
Tama membusungkan dadanya. "Almarhum Pak Faiz melakukan pesugihan. Kalian ingat kan potongan kain kumal bertuliskan aksara?"
Aku dan Ranko menggangguk serempak.
"Nah, Almarhum Pak Faiz ingin menumbalkan Linda karena usaha Kedai Oishi hampir bangkrut walaupun memiliki banyak pelanggan. Aku menemukan foto Linda, untaian rambut, dan kain putih beraksara yang serupa di pojok ruangan saat kita menemukan potongan jenazah Almarhum. Aku segera memusnahkan kain itu karena berbahaya." kata Tama. "Saat kalian berkeliling di Kedai Oishi, aku juga membaca buku kas. Usaha tersebut memiliki pinjaman Bank yang besar."
"Tapi mengapa roh Almarhum Pak Faiz menelepon Pak Doni dan Fina?" Tanyaku penasaran.
"Almarhum tak senang rencananya gagal. Ia tak suka si kunti merah yang ingin menyelamatkan putrinya. Ia tak pernah menduga Linda berani melawan dirinya dan membunuh dirinya. Walaupun demikian, akhir kisah ini menyedihkan. Pikiran Linda terganggu dan harus dirawat psikiater. Semoga saja Linda segera sembuh," kata Tama.
"Aku masih tak mengerti mengapa Jurnal Hantu tak memerangkap si kunti merah saat awal pertemuan?" Tanyaku.
Tama tertegun. "Jurnal Hantu memang penuh rahasia. Hantu kucing sepertiku tak akan mengerti bagaimana mekanismenya."
"Ray, mengapa kau tercengang begitu?" Tanya Ranko sembari mengibas-ngibaskan kedua tangannya di depan mataku. Kemudian, ia menyadari arah pandanganku dan terkesiap.
Di teras rumah Ranko, si kunti merah sedang berdiri mematung. Ia tersenyum misterius. Kemudian, menghilang begitu saja di kegelapan malam.
- - - - -
Kisah kunti merah terinspirasi dari kejadian penampakan di depan pintu kamar kostan saat jam 10 pagi di tengah rintik hujan. Entah mengapa setelah itu tercium bau amis.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI