Mohon tunggu...
Sinna HeĀ®manto
Sinna HeĀ®manto Mohon Tunggu... -

the challenge-Ā®

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Fikber 2] Megatruh

3 Desember 2015   09:13 Diperbarui: 3 Desember 2015   09:13 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="pic: firetreefilms.com"][/caption]

Sinna Hermanto, No. 10

Fiksiana Production:

MEGATRUH

Sinopsis.

Hidup di desa dengan sawah-sawah hijau terbentang dan interaksi antar warga yang penuh kekeluargaan seharusnya menjadikan hidup lebih tentram. Tapi tidak demikian yang dialami Sukma (Hyuna Bae). Hidupnya penuh dengan misteri pembunuhan berantai yang terjadi usai kematian ayahnya Danang (Tom brush).

Kemudian disusul kematian Minah (Sulastri Mangku Bumi), tetangga depan rumah yang juga cinta pertama ayahnya. Kemunculan dokter desa, Saldi (Bayu Niagara), yang semula normal-normal saja ternyata memiliki hubungan dengan kematian Kades Sadikin (Daejon).

Nama Sukma sendiri memiliki arti jiwa atau ruh. Ia memiliki mantra yang membuatnya lolos dari percobaan perkosaan hingga pembunuhan. Ia juga memiliki senjata rahasia berupa titisan rambut panjang nan pirang serta tusuk konde milik ibunya, Savitri (Dewi Embun Pagi). Namun, mantra dan senjata itu pulalah yang menjerumusknnya dalam bahaya hingga nyawanya benar-benar pisah dari raganya. Meski demikian, kita akan tetap menemukan sosok pahlawan yang berusaha menyelamatkan Sukma.

Kadang, kita harus waspada bahwa orang paling baik pada kita justru orang yang menjerumuskan kita. Begitu juga dengan 'senjata', yang ternyata malah menjadi boomerang yang menyerang balik kita. Kita akan disuguhi ketegangan-ketegangan, berkali-kali. Untuk tontonan di akhir pekan, genre ini cocok untuk remaja usia 13 ke atas dengan bimbingan orang tua.

Genre: Horor

Jadwal Tayang : -

Sutradara : Dra. Sutradra Alam

Produser : Dra. Sutradara Alam dan Daejon and XXXL Management

Produksi : Fiksiana Pro

Durasi : -

Pemain:

  1. Sukma: gadis desa, sederhana, penyendiri, trauma korban percobaan perkosaan, fobia darah.
  2. Minah: penjual jamu gendong yang ramah tapi misterius, murah senyum, suka menolong.
  3. Sadikin: kepala desa yang kaya, istrinya banyak, mesum, pedofil.
  4. Saldi
  5. Danang
  6. Savitri
  7. Suro
  8. Ohed
  9. Maiyah
  10. Saiful
  11. Sukma kecil

*

01. Eks. Kuburan. Sore/senja

Pemain: Sukma

Est. Kuburan sepi. Rintik-rintik hujan, semakin lama semakin deras. Jajaran nisan basah. Tanah kuburan basah. Rumput-rumput basah. Pohon kamboja basah. Bunha kamboja uamg jatuh di dekat gundukan tanah kuburan baru juga basa. Kodok mengorek, berloncatan di atas genangan air.

SUKMA:

JONGKOK DEKAT GUNDUKAN TANAH KUBURAN, KUBURAN DANANG. TANGAN SUKMA MENGUSAP MATA DARI AIR HUJAN DAN AIRMATANYA SENDIRI. LALU, MENGATUPKAN KEDUA TANGAN DI DADA, MENGHALAU HAWA DINGIN.

SUKMA (voice):

Ayah, kenapa pergi secepat ini? Sebenarnya apa yang telah terjadi pada Ayah? Sukma takut sendiri.

SUKMA:

TANGAN KANAN SUKMA MENGUSAP NISAN DANANG. SUKMA BERDIRI, MENATAP NISAN SEBENTAR LALU PERGI.

Cut to.

02. Eks. Halaman Rumah Sukma. Malam

Pemain: Sukma, Minah.

Est. Kursi-kursi plastik berserakan, basah. Rangkaian bunga belasungkawa berjajar dekat pagar, di pinggir jalan, juga basah. Halaman rumah remang-remang dari lampu penerang jalan. Pintu pagar tertutup. Pintu runah dan jendela juga tertutup. Sepi.

SUKMA:

SUKMA MEMBUKA PINTU PAGAR, BERJALAN MENUJU PINTU RUMAH SAMBIL MRNGHINDARI KURSI-KURSI BASAH YANG BERSERAKAN. KAKI KIRINYA TERANTUK SEBUAH KAKI KURSI.

SUKMA:

(MEMBUNGKUK, MENGELUS KAKI KIRI) Auwwwā€¦!

MINAH:

(BERDIRI DI TENGAH-TENGAH PINTU PAGAR YANG TERBUKA SAMBIL MEMEGANG PAYUNG) Kamu sudah pulang, Ndhuk?

SUKMA:

(KAGET, BERDIRI TEGAK, MEMBALIKKAN BADAN) Oh, Mbok Minah ternyata. Mengagetkan saya saja, Mbok.

MINAH:

(BERJALAN MENDEKAT SUKMA, LALU MEMAYUNGI DENGAN PAYUNG YANH DIPAKAINYA) Kamu baru pulang? Kenapa hujan-hujanan begini? Nanti kamu sakit loh, Ndhuk. Cepat ganti baju trus pergi ke rumah Mbok, ya. Kamu pasti belum makan.

SUKMA:

Iya, Mbok.

MINAH:

Atauā€¦ Mbok temani?

SUKMA:

Ndak usah, Mbok. Mbok pulang saja dulu.

MINAH:

Ya sudah, kalo ada apa-apa, kamu langsung ke rumah Mbok, ya (MENEPUK PUNDAK SUKMA LALU PERGI MENINGGALKAN SUKMA).

SUKMA:

(MENGANGGUK, MENATAP KEPERGIAN MINAH LALU MENERUSKAN LANGKAH MENUJU PINTU RUMAH. SETELAH SAMPAI DI DEPAN PINTU, SUKMA JONGKOK, MENGAMBIL KUNCI RUMAH DI BAWAH KESET DARI ANYAMAN SERABUT KELAPA).

Cut to.

03. Int. Ruang Tamu Rumah Sukma. Malam

Pemain: Sukma

*

Blakkk. Perempuan itu menaruh segebog kertas dengan keras. Meja bergetar. Dekstop bergetar. Aku yang duduk di seberang meja ikut bergetar.

"Kamu bilang ini naskah? Sampah!"

"Mohon Ibu mempelajarinya lagi, tolong, Bu." Tanganku dingin, gemetar. Kaki-kakiku kaku.

"Ini sudah revisi ke-13, anak muda. Kami sudah memberimu banyak kesempatan."

Tok. Tok. Tok.

"Masuk."

"Ibu, bapak Daejon dari XXXL Management sudah datang. Beliauā€¦" Lelaki berseragam, mungkin office boy, itu masih mematung di depan pintu yang terbuka.

"Halo, Ibu Sutradara. Sibuk selali, sepertinya." Seorang lelaki tambun berdiri di balik lelaki berseragam tadi. Merasa menghalangi, ia menyingkir, memberi jalan sosok itu masuk ruangan.

Aku berdiri. Sutradara juga berdiri sambik pasang senyum. Mataku semakin terbelalak dengan debar-debar di dada yang makin kencangnya. Sosok itu mendekati meja.

"Ah, Bapak Daejon ini bisa saja bercandanya. Maaf, Pak, kami sedang membahas naskah skenarionya. Mungkin masih perlu revisi lagi."

"Ini siapa, ya? Penulis naskahnya? Bagus, kok. Saya dan tim XXXL Management sudah mempelajarinya. Kami sudah sangat puas. Kami siap dengan kesepakatan kerjasama yang telah kita bahas bulan lalu," sambil menjabat perempuan di depanku lalu memyalamiku.

"Tapi, Pak?"

*

"Rollll, eksyennnn!!!"

Kamera menyorot lelakon. Aku masih mendengar percakapan sambil memegang boomic.

"Kau dengar sesuatu? Seperti ada yang menjerit?" [*]

"Jangan-jangan rumah ini ada hantunya?" [*]

"Cuuuut. Kita break dulu," suara sutradara dari kursi lipatnya. Toa kecil masih ada di tangan kanannya. Sebagian kru berhamburan, sebagian lagi betgerombol dan berbincang dengan pemain.

Aku sebenarnya malas masuk tim pembantu umum begini. Ya bantu nulis naskah, ya bantu editing, ya bantu pegang mic, bahkan bantu-bantu ke warteg merangkap tim konsumsi. Di dunia nyata aku ini seorang pembantu. Kenapa di projek film ini aku juga jadi pembantu? Kenapa? Tanya kenapa?

"Hei, penulis naskah. Taruh micnya. Kita break," kembali suara Toa sutradara menggelegar, membuyarkan lamunanku.

Aku tergopoh-gopoh mendekati sutradara.

"Sudah saya bereskan, Bu," jawabku.

Sutradara menatapku aneh. Sorot matanya melihat ke arahku dan ke arah lokasi syuting untuk scene 44 berganti-ganti. Aku melihat diriku berdiri di sana sambil memegang boomic.

Aku gemetaran. Otakku kosong. Aku menutup mata sambil memegang tangan Sutradara.

Siapapun kamu, tolong, jangan ganggu. Kami cuma numpang lewat. Kami hanya cari makan. Baik-baik, ya. Tolong, batinku.

"Buā€¦" suara Wahyu membuatku kembali membuka mata. Ia datang bersama Daejon. Wajah mereka panik. "Semua take malam ini kosong. Tidakbisa diview di lappy."

Mataku menatap lokasi scene 44. Kosong.

"Semua take kosong? Maksudnya?" wajah Sutradara nampak bingung.

"Ruang ganti juga penuh bercak darah. Darah beneran. Bau banget, Bu."

Kami berempat segera menuju ruang ganti, lebih tepatnya pojok ruangan yang disekat triplek, yang digunakan untuk ruang ganti dan makeup. Benar. Aroma anyir menyeruak ketika kami hadir. Ria terduduk lemas di dekat bibir pintu. Wajahnya pucat, dikelilingi kru dan pemain lain. Hanya berjarak sepelemparan batu, kru editing gaduh.

"Gimana, Mas Wahyu?" teriak sutradara ketika mendapati Wahyu berlari menuju timnya.

"Aaaaaa." Kali ini teriakan berasal dari dalam ruangan.

"Kalian jaga Ria. Aku cek ke dalem."

Sutradara berlari. Daejon mengikuti sambil menarik tanganku. Sesampainya di ruangan, tepatnya di lokasi scene 44, Hyuna terduduk lemas di lantai. Tangannya menunjuk-nunjuk sesuatu. Kami melihat kepala menggelinding, menyeringai dan tertawa-tawa beterbangan seolah ingin menyambar kami. Sigap, kami tiarap. Tubuhku bergetar. Aku seperti tak punya tenaga. Scene-scene yang tadi hanya tipuan kamera, kini menjadi nyata.

Tiba-tiba, rambut yang kami pakai untuk syuting menyerang Daejon lalu melilitnya. Kini ia serupa kepompong. Rambut itu menggantungnya di palfon rumah sakit. Iya, ini rumah sakit peninggalan jaman Belanda yang dirawat keberadaannya untuk tempat wisata, disewakan untuk syuting hingga hunying foto demi pemasukan kas daerah.

Kini posisi Daejon seperti jambu monyet, kepalanya di bawah. Ia meronta dan berteriak. Tetapi suaranya terbenam oleh lilitan rambut itu. Tiba-tiba belasan, bahkan mungkin puluhan tusuk konde serupa wardrobe syuting meluncur bersamaan dari arah jam 12 lalu menusuk tubuh kepompomg Daejon. Darah segar menitik lalu mengucur. Aku tak menyangka scene ini ada versi aslinya.

Sayup-sayup terdengar tembang Jawa, Megatruh.

Sigra milir kang gethek siangga bajul (mengalirlah segera sang rakit dipikul buaya)

Kawan dasa kang njageni (empat puluh penjaganya)

Ing ngarso miwah ing pungkur (di depab juga di belakang)

Tanapi ing kanan kering (Tak lupa di kanan kiri)

Kang gethek lampahnya alon (Sang rakit pun berjalan pelan) *[Babad Tanah Jawi, Yasadupura]

*

"Apa kubilang? Dari naskahnya saja sudah kelihatan. Sekarang malah syutingnya harus dipending sampai kasus Daejon selesai. Seharusnya dari awal kota nggak pakai tusuk kondr tapi tusuk sate."

"Kok? Trus percakapannya ganti gimana dong, Bu?"

"Bang Bokir, sate ayamnya, Bang. Dibawa pulang 12 tusuk. Tapi sate sama ayamnha dipisah, ya. Takut satenya dihabisin agam."

Aku menganga.

"Trus ini. Kenapa pakai darah-darah lagi? Nggak cukup gitu kita, para wanita ini berdarah-darah tiap bulan?"

Aku melongo.

"Lagi pula rambut siapa sepanjang ini? Pirang, lagi. Yaā€¦ maksud Ibu sih pirang-pirang taun gak dikumbah (berapa tahun tidak dicuci)?"

Aku syok.

"Sudahlah, kamu juga kebanyakan masuk di berbagai tim pembantu. Maruk banget sih kayak Fir'aun. Kamu kan sudah sering akting jadi pembantu di depan kamera di rumah majikanmu. Bukannya kamu main di teveā€¦ Teve apa? Oh iya, CCTV!"

Gleg.

"Sudahlah, revisi lagi. Pokoknya hindari lokasi bangunan tua apalagi yang angker. Memangnya horor harus di kuburan? Di rumah sakit?

Lihat cermin tiap hari saja sudah berasa live horornya. Bukankah ibu-ibu muda itu merasa horor kalo melihat timbangan. Sama kayak kamu kalo malam Minggu. Horornya dobel-dobel apalagi saat ketemu mantan di pelaminan tadi cuman ngucapin selamat doang."

Aku pura-pura pingsan.

***

(selesai)

Fiksi Bersambung Lainnya || Grup FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun