Tiba-tiba, rambut yang kami pakai untuk syuting menyerang Daejon lalu melilitnya. Kini ia serupa kepompong. Rambut itu menggantungnya di palfon rumah sakit. Iya, ini rumah sakit peninggalan jaman Belanda yang dirawat keberadaannya untuk tempat wisata, disewakan untuk syuting hingga hunying foto demi pemasukan kas daerah.
Kini posisi Daejon seperti jambu monyet, kepalanya di bawah. Ia meronta dan berteriak. Tetapi suaranya terbenam oleh lilitan rambut itu. Tiba-tiba belasan, bahkan mungkin puluhan tusuk konde serupa wardrobe syuting meluncur bersamaan dari arah jam 12 lalu menusuk tubuh kepompomg Daejon. Darah segar menitik lalu mengucur. Aku tak menyangka scene ini ada versi aslinya.
Sayup-sayup terdengar tembang Jawa, Megatruh.
Sigra milir kang gethek siangga bajul (mengalirlah segera sang rakit dipikul buaya)
Kawan dasa kang njageni (empat puluh penjaganya)
Ing ngarso miwah ing pungkur (di depab juga di belakang)
Tanapi ing kanan kering (Tak lupa di kanan kiri)
Kang gethek lampahnya alon (Sang rakit pun berjalan pelan) *[Babad Tanah Jawi, Yasadupura]
*
"Apa kubilang? Dari naskahnya saja sudah kelihatan. Sekarang malah syutingnya harus dipending sampai kasus Daejon selesai. Seharusnya dari awal kota nggak pakai tusuk kondr tapi tusuk sate."
"Kok? Trus percakapannya ganti gimana dong, Bu?"