Aku gemetaran. Otakku kosong. Aku menutup mata sambil memegang tangan Sutradara.
Siapapun kamu, tolong, jangan ganggu. Kami cuma numpang lewat. Kami hanya cari makan. Baik-baik, ya. Tolong, batinku.
"Buā¦" suara Wahyu membuatku kembali membuka mata. Ia datang bersama Daejon. Wajah mereka panik. "Semua take malam ini kosong. Tidakbisa diview di lappy."
Mataku menatap lokasi scene 44. Kosong.
"Semua take kosong? Maksudnya?" wajah Sutradara nampak bingung.
"Ruang ganti juga penuh bercak darah. Darah beneran. Bau banget, Bu."
Kami berempat segera menuju ruang ganti, lebih tepatnya pojok ruangan yang disekat triplek, yang digunakan untuk ruang ganti dan makeup. Benar. Aroma anyir menyeruak ketika kami hadir. Ria terduduk lemas di dekat bibir pintu. Wajahnya pucat, dikelilingi kru dan pemain lain. Hanya berjarak sepelemparan batu, kru editing gaduh.
"Gimana, Mas Wahyu?" teriak sutradara ketika mendapati Wahyu berlari menuju timnya.
"Aaaaaa." Kali ini teriakan berasal dari dalam ruangan.
"Kalian jaga Ria. Aku cek ke dalem."
Sutradara berlari. Daejon mengikuti sambil menarik tanganku. Sesampainya di ruangan, tepatnya di lokasi scene 44, Hyuna terduduk lemas di lantai. Tangannya menunjuk-nunjuk sesuatu. Kami melihat kepala menggelinding, menyeringai dan tertawa-tawa beterbangan seolah ingin menyambar kami. Sigap, kami tiarap. Tubuhku bergetar. Aku seperti tak punya tenaga. Scene-scene yang tadi hanya tipuan kamera, kini menjadi nyata.