Mohon tunggu...
Sinna HeĀ®manto
Sinna HeĀ®manto Mohon Tunggu... -

the challenge-Ā®

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fikber 2] Kumparan Waktu

28 November 2015   20:29 Diperbarui: 28 November 2015   20:41 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*

Zzzpppp.

Ā 

Aku merasakan udara hangat. Lorong ini terang. Tak ada aroma. Kelopak mawar merah bertaburan. Satu dua menempel di bibirku. Aku menjilatnya. Rasanya seperti gula-gula kapas. Manis.

Gelegak tawa bersahutan. Suara muda mudi. Aku terlempar di jajaran pohon cemara. Aku mengatur napas, mencari-cari di mana aku berada. Seorang perempuan muda seusiaku mendekat. Aku kerjap-kerjapkan mata. Aku didatangi diriku sendiri. Kebaya kutu baru warna putih polos begitu pas di badannya. Tubuhnya padat. Ia tersenyum. Bibirnya merekah, terlihat gigi-giginya serupa biji mentimun, rapi. Aku membalas senyuman itu dan bersiap-siap untuk bertanya. Agak tergesa, tubuhnya menabrak tubuhku. Dan hey, ia menembusku.

Tiba-tiba langkah terhenti tepat tiga langkah di depanku. Ia membelakangiku. Sanggulnya berhias tusuk konde, sepertinya terbuat dari kuningan. Ada ukiran bunga di sana.

Kuikuti arah pandangnya. Dua muda mudi berdiri di ujung jajaran cemara. Itu bapak. Satunya lagi mbok Minah. Mereka seusiaku.

"Weton kita ndak cocok, Minah. Arah rumah kita juga, kalo ditarik garis lurus, arahnya ke barat laut. Kedua orang tua kita bilang ndak elok. Nanti bisa menarik bala." Kalimat itu terdengar dengan jelas
dari tempatku berdiri.

Bapak meninggalkan perempuan itu. Mendung jatuh di kedua wajah muda-mudi itu. Seketika dedaun cemara berubah kecoklatan, berjatuhan. Cemara meranggas.

Diujung sana terdengar isak. Di kedua matanya tumpah airmata berwarna merah, darah, deras, makin mengucur serupa air bah, mengejar bapak yang menjauh darinya. Aku ingin menjauh dari air itu. Namun, kakiku kembali terpaku.

Perempuan yang wajahnya mirip aku segera menyongsong bapak, menggandeng tangannya erat. Air mata merah darah menerjang, menggulung keduanya hingga aku ikut terseret ke dalamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun