*
Zzzpppp.
Ā
Aku merasakan udara hangat. Lorong ini terang. Tak ada aroma. Kelopak mawar merah bertaburan. Satu dua menempel di bibirku. Aku menjilatnya. Rasanya seperti gula-gula kapas. Manis.
Gelegak tawa bersahutan. Suara muda mudi. Aku terlempar di jajaran pohon cemara. Aku mengatur napas, mencari-cari di mana aku berada. Seorang perempuan muda seusiaku mendekat. Aku kerjap-kerjapkan mata. Aku didatangi diriku sendiri. Kebaya kutu baru warna putih polos begitu pas di badannya. Tubuhnya padat. Ia tersenyum. Bibirnya merekah, terlihat gigi-giginya serupa biji mentimun, rapi. Aku membalas senyuman itu dan bersiap-siap untuk bertanya. Agak tergesa, tubuhnya menabrak tubuhku. Dan hey, ia menembusku.
Tiba-tiba langkah terhenti tepat tiga langkah di depanku. Ia membelakangiku. Sanggulnya berhias tusuk konde, sepertinya terbuat dari kuningan. Ada ukiran bunga di sana.
Kuikuti arah pandangnya. Dua muda mudi berdiri di ujung jajaran cemara. Itu bapak. Satunya lagi mbok Minah. Mereka seusiaku.
"Weton kita ndak cocok, Minah. Arah rumah kita juga, kalo ditarik garis lurus, arahnya ke barat laut. Kedua orang tua kita bilang ndak elok. Nanti bisa menarik bala." Kalimat itu terdengar dengan jelas
dari tempatku berdiri.
Bapak meninggalkan perempuan itu. Mendung jatuh di kedua wajah muda-mudi itu. Seketika dedaun cemara berubah kecoklatan, berjatuhan. Cemara meranggas.
Diujung sana terdengar isak. Di kedua matanya tumpah airmata berwarna merah, darah, deras, makin mengucur serupa air bah, mengejar bapak yang menjauh darinya. Aku ingin menjauh dari air itu. Namun, kakiku kembali terpaku.
Perempuan yang wajahnya mirip aku segera menyongsong bapak, menggandeng tangannya erat. Air mata merah darah menerjang, menggulung keduanya hingga aku ikut terseret ke dalamnya.