Mohon tunggu...
Sinna HeĀ®manto
Sinna HeĀ®manto Mohon Tunggu... -

the challenge-Ā®

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fikber 2] Kumparan Waktu

28 November 2015   20:29 Diperbarui: 28 November 2015   20:41 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku terus mengamati mereka. Nampak lelaki itu merogoh saku celana hitamnya, mengambil sebungkus rokok. Ia mengambil sebatang dan memenggal sekitar satu senti. Selanjutnya, ia meremas potongan rokok itu hingga tembakau kering berjatuhan ke dalam cawan. Air kendi
dituangkannya kemudian.

"Ini air sakti,"senyumnya pun mengembang. "Perhatikan, Sukma."

Iya, Bapak, aku juga memperhatikannya. Tiba-tiba sesak memenuhi rongga dada, naik hingga ke tenggorokan. Mataku panas, pedih menahan sesuatu di sana agar tak menuruni pipi-pipiku.

Lelaki itu mengaduk-ngaduk sebentar air tembakau itu dengan telunjuk kanannya. Kemudian, disiramkannya air itu tepat di jempol Sukma yang dihisap lintah. Tak menunggu lama, lintah gendut itu jatuh di rerumputan berlumpur.

Lintah gendut tadi pecah. Derah bersimbah, melahirkan bayi-bayi lintah, merah. Satu, dua, empat, delapan, enam belas, beratus-ratus, mungkin. Mereka lebih gesit, merayap sandal jepit bapak lalu naik ke betis dengan cepat seperti ulat. Permukaan tubuh bapak dipenuhi lintah. Aku sempat mendengar tangis dan jeritan Sukma. Telingaku masih merekam teriakan bapak. Dan mataku menemukan mbok Minah berdiri di ujung pematang sawah dengan tatapan dingin. Tangannya menggendong lintah sebesar labu di dadanya, mengelus-ngelus tubuhnya yang licin dan gendut berwana hitam kemerahan.

"Bapakkk, Bapakkk," teriakanku beradu dengan suara-suara dua sosok di gubuk itu. Tanganku menggapai-gapai.

Lagi, kumparan waktu menyedotku. Semua di depan mataku mengabur.

Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku

Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku

Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku[*]

Ā 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun