Aku terus mengamati mereka. Nampak lelaki itu merogoh saku celana hitamnya, mengambil sebungkus rokok. Ia mengambil sebatang dan memenggal sekitar satu senti. Selanjutnya, ia meremas potongan rokok itu hingga tembakau kering berjatuhan ke dalam cawan. Air kendi
dituangkannya kemudian.
"Ini air sakti,"senyumnya pun mengembang. "Perhatikan, Sukma."
Iya, Bapak, aku juga memperhatikannya. Tiba-tiba sesak memenuhi rongga dada, naik hingga ke tenggorokan. Mataku panas, pedih menahan sesuatu di sana agar tak menuruni pipi-pipiku.
Lelaki itu mengaduk-ngaduk sebentar air tembakau itu dengan telunjuk kanannya. Kemudian, disiramkannya air itu tepat di jempol Sukma yang dihisap lintah. Tak menunggu lama, lintah gendut itu jatuh di rerumputan berlumpur.
Lintah gendut tadi pecah. Derah bersimbah, melahirkan bayi-bayi lintah, merah. Satu, dua, empat, delapan, enam belas, beratus-ratus, mungkin. Mereka lebih gesit, merayap sandal jepit bapak lalu naik ke betis dengan cepat seperti ulat. Permukaan tubuh bapak dipenuhi lintah. Aku sempat mendengar tangis dan jeritan Sukma. Telingaku masih merekam teriakan bapak. Dan mataku menemukan mbok Minah berdiri di ujung pematang sawah dengan tatapan dingin. Tangannya menggendong lintah sebesar labu di dadanya, mengelus-ngelus tubuhnya yang licin dan gendut berwana hitam kemerahan.
"Bapakkk, Bapakkk," teriakanku beradu dengan suara-suara dua sosok di gubuk itu. Tanganku menggapai-gapai.
Lagi, kumparan waktu menyedotku. Semua di depan mataku mengabur.
Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku
Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku
Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku[*]
Ā