Mohon tunggu...
Sinar RahayuPutri
Sinar RahayuPutri Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Menulis dan membaca untuk mengenal dunia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setelah Wisuda

6 November 2021   20:20 Diperbarui: 6 November 2021   20:23 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

SETELAH WISUDA

(Oleh : Sinar Rahayu Putri)

Dua tahun yang lalu, aku baru saja merayakan hari kelulusan dengan suka cita. Memakai toga dan gaun cantik yang tersembunyi dibalik jubah hitam, serta polesan make up yang sangat natural menutupi lelahnya hari-hari yang  telah ku lewati selama mengerjakan skripsi. Hari itu seolah adalah perayaan yang sangat besar untuk ku. Tiga setengah tahun yang dihabiskan untuk menimba ilmu, bergelut dengan berbagai buku bacaan, tugas dan organisasi yang rasanya tak kunjung ada habisnya. Tapi hari itu dengan bangganya aku mengatakan bahwa aku telah BEBAS. 

Bebas dari berbagai beban tugas dan penelitian. Bebas dari tuntutan organisasi. Bebas dari mengejar dosen demi sebuah huruf diatas kertas. Dan tentunya bebas menjalani hidup setelah kuliah. Jika ingin diungkapkan, sebenarnya aku cukup menyesal. Bukan karena aku telah lulus kuliah, tetapi menyesal karena justru sudah lulus kuliah. Gelar dan ijazah yang selama ini ku kejar kini hanya tergantung rapi dalam bingkai yang cantik didalam kamar ku. Hanya bisa jadi pajangan dan beban ketika aku menatapnya. Disebelahnya terpajang foto wisudaku beserta keluarga dan kedua sahabatku, Karin dan Olive. Dan difoto itu kami terlihat benar-benar bahagia. 

"Rina, ada kawan kamu nih, si Nurul" suara ibu terdengar nyaring memanggil namaku.

Dengan perasaan penuh beban aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Bila diingat-ingat Nurul adalah teman sekelasku saat kuliah. Kami tidak terlalu akrab bahkan jarang bertegur sapa meskipun pernah berada disatu kelompok penelitian. Bukan kami saling benci atau ada perselisihan, tapi memang memiliki lingkar pertemanan yang berbeda. 

Dengan langkah gontai aku menghampiri Nurul yang duduk manis di sofa berwarna hijau muda yang ada diruang tamu. Tatapannya masih berfokus pada gawai model terbaru yang digenggamnya. Dia sama sekali tidak menyadari kehadiranku.

" Ehem, asik banget sih, dari tadi senyum-senyum sambil liat hp" tanyaku berbasa-basi. 

"Eh, Rina. Hehe, iya nih teman aku lagi cerita kantor tempat dia kerja sekarang"

Huft. Lontaran satu kata itu sungguh membuatku pusing tidak karuan. Kata "Kerja" seperti menjadi hal yang sangat sensitive aku dengar akhir-akhir ini. Terlebih jika itu didengar oleh ibuku. Ku lihat tampilan Nurul tidak seperti yang dulu. Kini dia terlihat semakin rapi dan lumayan cantik dengan polesan makeup. Tidak seperti saat masih kuliah, karena dia hanya memakai bedak tabur dan sedikit lip balm. 

"Tumben kamu main kesini, ada apa?" tanyaku penuh selidik karena tidak biasanya Nurul datang kerumahku meskipun jarak antar rumah kami tidak terlalu jauh. 

"Oh, iya aku hampir lupa. Aku kesini mau mengajak kamu keluar"

"Keluar? Maksudnya main?" 

"Iya, jalan-jalan sebentar. Sekalian aku mau traktir kamu karena aku baru aja diterima kerja di perusahaan BUMN" jelasnya dengan wajah kegirangan

Aku menatap Nurul tidak percaya. Entah mengapa ajakan itu terasa seperti sebuah sindiran untukku. 

"Wah, nak Nurul sudah diterima kerja? Hebat ya, ibu ucapkan selamat" ibu datang membawakan teh hangat dan beberapa toples camilan. 

"Kalo Rina, sampe sekarang masih betah dirumah. Kerjaannya cuma makan, tidur, main hp sama jailin adiknya" telingaku mulai panas mendengar kalimat-kalimat yang ibu ucapkan. Rasanya seperti tertampar secara halus.

"Mungkin belum rejekinya untuk Rina kerja, bu" jawab Nurul santai

"Dulu ibu juga mikirnya begitu, mungkin biar Rina istirahat dulu setelah kuliah. Eh, ternyata istirahatnya berlanjut sampai sekarang. Padahal ibu juga pengen nyicip hasil kerjanya Rina"

Aku hanya bisa terdiam mendengarkan percakapan yang berisi sindiran dari ibu dan Nurul. Mungkin benar yang ibu katakan bahwa aku butuh istirahat setelah kuliah. Tapi, bukan berarti aku tidak melakukan apa-apa. Seminggu setelah wisuda bahkan sebelumnya aku sudah beberapa kali mengirimkan lamaran pekerjaan ke berbagai perusahaan besar maupun kecil, swasta maupun lembaga pemerintah. Harapanku hanya satu, setelah lulus kuliah aku ingin langsung kerja dan membahagiakan orangtua. Tapi jawaban yang kuterima dari setiap lamaran, hanya penolakan. Bahkan yang lebih parah tidak ada informasi apakah aku diterima atau tidak. 

"Maaf banget ya Nur, aku gak bisa ikut acara traktirannya" ujarku berbasa basi

"Iya, mungkin lain waktu kita bisa main bareng. Kalau gitu aku pamit pulang ya, soalnya banyak banget nih kerjaan kantor" Aku hanya tersenyum kecut mendengarnya. Sindiran itu memang tertuju untukku. Sifatnya dari dulu memang tidak berubah suka sekali ikut merusak suasana hati orang lain.

"Iya hati-hati dijalan ya, kalau senggang main lagi kesini. Nanti ibu buatkan kue yang enak"

"Iya, bu. Nanti aku main lagi kesini. Aku pamit ya bu, Assalamualaikum" ucap Nurul sambil bersalaman dengan ibuku

"Waalaikumsalam"Aku dan ibu menjawab kompak

Setelah Nurul pergi aku langsung berjalan kedalam kamar. Sempat ku dengar suara ibu yang terus mengeluh jeritan token listrik yang sudah mulai habis. 

"Andai anakku itu sudah kerja, pasti sekarang gak terlalu pusing sama biaya ini itu"

Lagi. Selalu aku lagi yang ibu keluhkan. Apakah salah jika aku masih pengangguran sampai sekarang? Bukan aku tidak berusaha. Justru tidak adanya hasil dari usahaku itu sempat membuat putus asa. Rasa ingin membahagiakan orangtua jelas ada. Aku juga ingin membantu ekonomi keluarga, melihat ibu atau bapak tidak perlu lagi susah payah bekerja untuk membiayai aku dan adikku. 

Mungkin kebanyakan teman-temanku setelah lulus pasti berorientasi pada kesibukan mencari kerja atau mencari penghasilan sendiri seperti menjadi karyawan disuatu perusahaan atau mencoba peruntungan dengan mengelola bisnis. Untuk sekarang aku juga nggak bisa terus bergantung dengan biaya hidup dari orangtua, rasanya tentu tidak enak dan juga malu.

Mencari pekerjaan ternyata juga tidak semudah yang aku bayangkan, jika dulu aku bermimpi setelah lulus akan bekerja diperusahaan yang bagus dan wow. Mungkin, setelah berada di tahap ini, ternyata yang aku impikan itu bisa saja hanya berupa imajinasi dan khayalan belaka.

"Dari mana neng Rina, tumben rapi banget bajunya?"tanya seorang tetangga yang sedang duduk santai bersama ibu-ibu yang lain. Memang biasanya tetangga disamping rumahku ini sering kali ramai, entah ibu-ibu yang sedang bergosip atau anak-anak muda yang bersantai. 

"Iya bu, tadi dari luar ada wawancara kerja" jawabku singkat

"Wah, berarti sebentar lagi neng Rina udah bisa kerja, ya. Gitu atuh neng, jangan diem terus dikamar, kan kasian ibu bapak cari uang buat makan sama biaya adik kamu sekolah. Umur segini masih minta jajan sama orangtua, aduh, malu banget neng" ujarnya sambil tertawa kecil

"Eh, iya lho, kemarin anaknya bu RT juga baru lulus kuliah. kerja di perusahaan asing" timpal bu Astri yang sedang mengupas manga

"Hebat, ya, anaknya bu RT. Pantesan kemarin aku liat rumahnya banyak perabotan baru. Ternyata anaknya udah kerja" 

"Iyalah bu, kan kerja diperusahaan asing itu gajinya lumayan besar"

Ibu-ibu dikomplek perumahan ini memang senang sekali bergosip. Berita sekecil apapun akan jadi besar bila mereka jadikan bahan gossip dengan tambahan bumbu-bumbu kebohongan. 

"Emm, maaf bu, saya masuk dulu ya kerumah. Mau istirahat" 

"Oh, iya neng. Aduh maaf ya, ibu jadi asik sendiri. Kesini dulu mampir ikut ngerujak"

"Nggak usah bu, terima kasih udah nawarin. Tapi aku mau langsung pulang aja. Mari"

"Iya neng Rina. Semoga diterima kerja ya, biar gak nganggur lagi"

Aku pun berlalu sambil memberikan senyuman kecil. Ingin rasanya melampiaskan amarahku saat ini juga. Tapi aku selalu ingat pesan bapak, jangan sampai merusak tali silaturahmi dengan tetangga karena marah sesaat. Dan sekarang yang bisa aku lakukan hanya kembali kerumah dengan raut wajah yang tidak karuan. Antara capek dan kesal menjadi satu. Capek karena lokasi wawancara kerja yang lumayan jauh, dan kesal karena omongan tetangga yang selalu menyindir dan membandingkan kehidupan orang lain. Seolah mereka tahu segalanya.

Setelah beristirahat dan sholat aku pun beranjak ke dapur. Aroma masakan ibu memenuhi rongga hidung. Sambal goreng ayam dan sayur bayam nampak sangat lezat untukku yang memang sudah sangat kelaparan. Tadinya sebelum pulang aku ingin berjalan-jalan sebentar dan menikmati jajanan diluar setelah interview, tapi bapak hanya memberiku uang saku yang cukup bahkan sangat pas hanya untuk ongkos pulang pergi. 

"Sudah pulang kamu Rin" suara ibu mengagetkan ku, hampir saja aku tersedak. "Pelan-pelan makannya" sambung ibu

"I-iya, bu. Uhuk' aku meminum segelas air yang ibu tuangkan

"Gimana hasil wawancara tadi? Lancar?"

"Alhamdulillah, lancar bu"

"Syukur kalo lancer. Semoga nanti ada kabar baik ya. Ibu berharap banget lho Rin"

"Iya, bu. Aku juga berharap bisa diterima kerja kali ini. Doain ya bu"

"Iya, aamiin"

Ibu melihatku sekilas sambil tersenyum kecil. Tangannya sangat cekatan mengambil nasi dan lauk pauknya. Sejenak terlintas sesuatu dalam pikiranku. Aku teringat undangan reuni dengan teman-teman satu jurusan kuliah. Mulutku mengunyah dengan cepat dan meneguk sedikit air agar lebih mudah menelan makanan yang dikunyah. Dengan sangat hati-hati aku memberanikan diri meminta izin dari ibu untuk bisa ikut reuni. 

Selama beberapa bulan ini aku memang jarang atau bahkan hampir tidak pernah keluar rumah sekedar untuk jalan-jalan. Keluar pun hanya jika ada wawancara kerja. Malu rasanya jika harus meminta uang saku untuk jalan-jalan atau main dengan teman-temanku. Karena aku sadar, aku masih belum bisa membiayai diriku sendiri dan hanya bergantung dari orangtua. 

Sejenak aku perbaiki posisi duduk, dan meminum seteguk air. Sambil menarik napas perlahan aku mulai memberanikan diri untuk meminta izin.

"Emm, ibu. Aku mau ngomong sesuatu" Ibu masih diam dan sibuk merapikan wadah sayur. "Bu, aku mau minta izin ibu" baru mengeluarkan beberapa kata rasanya sudah mendebarkan.

"Izin apa?" tanya ibu

"Gini bu. Tadi siang aku dapat undangan dari teman-teman kuliahku dulu. Katanya lusa nanti mau ngadain reuni di villa sekitar Lembang. Jadi.... Apa boleh aku minta. Eh, maksudku pinjam uang ibu untuk ikut reuni lusa nanti?" 

Ibu masih terdiam. Kudengar ia sedikit menghela napas. Aku tidak berharap banyak dari ibu, tapi aku benar-benar ingin sedikit menyegarkan pikiran sambil bertemu teman-teman semasa kuliah dulu. 

"Kamu itu belum diterima kerja, sok-sok-an mau minjem uang ibu. Sekarang saja ibu masih pusing mikirin biaya sekolah adik kamu yang sebentar lagi mau masuk SMA. Kalo memang gak ada uang lebih baik kamu diam dirumah, atau bantu ibu jualan dipasar."

"Tapi aku juga lagi usaha bu, supaya bisa kerja, gak minta uang lagi sama ibu bapak. Lagian aku juga pengen sesekali ketemu teman-teman diluar sana" 

"Kamu ini ya. Ibu sekolahin kamu tinggi-tinggi supaya punya ilmu, adab, sopan santun. Tapi sekarang kamu berani ngomong teriak-teriak di depan ibumu sendiri"

"Aku udah coba ngomong baik-baik sama ibu. Tapi jawaban ibu malah nyakitin aku. Seolah aku ini beban untuk ibu. Padahal selama ini aku berusaha cari kerja kesana kesini juga demi bapak sama ibu. Tapi selalu aja ibu ngeluh kalo aku itu gak bisa ngapa-ngapain dan Cuma jadi beban"

PLAKK.

Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Seketika otakku rasanya berhenti berpikir, dan dadaku rasanya sangat sesak. Perih dan panas di pipi kanan ku seolah menghilang seiring rasa sakit yang lebih menusuk didalam hati. Karena untuk pertama kalinya dalam hidup sejak aku dilahirkan sampai sekarang, ibu memukul. Tangannya yang dulu sangat hangat memeluk ketika aku merasa sedih kini dengan sangat ringannya menampar wajahku.

Butiran hangat mulai terasa di ujung mata, tapi sekuat tenaga aku menahan supaya tidak mengalir keluar. Ku tatap ibu perlahan, wajahnya pun terlihat memerah dan dadanya naik turun seolah sedang mengatur napas dan emosi. 

"Aku benci ibu" Hanya itu kalimat yang keluar dari mulutku. Tanpa peduli tangan yang masih kotor berlumur sambal, aku langsung berlari kedalam kamar. Untungnya aku selalu membawa botol air minum sehingga tidak perlu repot bolak balik kamar dan dapur hanya untuk minum. 

Pintu kamar ku kunci rapat, dan aku langsung meringkuk dibalik selimut. Air mata yang sedari tadi ku tahan langsung mengalir membanjiri pipi dan bantal. Rasa panas dan perih masih ku rasakan dipipi. Tapi hatiku jauh lebih perih. Tidak pernah ku bayangkan ibu akan memukul ku. ibu yang selalu bersikap lembut seketika berubah menjadi monster yang menakutkan bagiku. 

Dalam isak tangis muncul berbagai pertanyaan dalam pikiranku. Apakah salah jika aku mengungkapkan segala keluh kesahku? Apakah salah jika masih menjadi tanggungan orang tua ku? Lagi pula aku juga tidak meminta dilahirkan seperti ini. Aku tidak meminta takdir seperti ini yang memaksaku menjadi pengangguran dua tahun lamanya. Belum lagi cibiran teman dan tetangga yang terus mengejekku beban dan pengangguran secara tidak langsung. Bukankah seharusnya ibu membantu menguatkan hatiku agar bisa terus semangat mencari kerja dan menghalangi segala cibiran dan hinaan itu agar tidak sampai ke telingaku.

Aku benar-benar marah pada diriku sendiri. Tapi aku masih tidak tau bagaimana meluapkan emosi itu. Dan yang bisa ku lakukan sekarang hanyalah, menangis. Aku terisak sendirian didalam kamar tanpa peduli waktu yang terus berlalu. Karena rasanya sangat sesak jika aku terus menahan rasa sakit hati yang ku terima setiap hari. Entah sudah berapa lama aku menangis, hingga air mata mulai mengering dan rasa kantuk mulai menggelayuti pelupuk mata. 

Hari acara reuni pun tiba. Aku sudah bersiap dengan gaun terbaikku. Memakai sedikit make up agar wajahku terlihat lebih cerah. Dengan santai aku pun keluar dari kamar. Ku lihat ibu sedang asyik menonton tv tanpa menoleh sedikitpun padaku. Entah karena ego atau keras kepala, karena setelah hari itu aku dan ibu tidak saling berbicara. Bahkan ketika makan pun aku lebih memilih untuk makan didalam kamar. Perlahan aku berjalan keluar rumah tanpa berpamitan pada ibu. Aku hanya menitip pesan berpamitan untuk bapak melalui adikku. 

Hampir setengah jam perjalan menuju Lembang. Aku sudah berjanji bertemu Karin dan Olive, dua sahabat baikku untuk bertemu digerbang villa. Rasa rindu pada mereka seketika membuncah dan kami pun saling berpelukan untuk melepas rindu. Senang rasanya bisa bertemu dengan teman-teman yang lain dan saling bertukar cerita. Ada yang sudah punya anak, baru menikah, baru lamaran bahkan ada yang menceritakan kesedihannya karena ditinggal menikah oleh kekasih tercinta.

Dalam ramainya suasana reuni seketika aku melupakan kesedihan dan rumitnya masalah dirumah. Rasanya tidak sia-sia aku membongkar tabungan untuk datang ke acara reuni ini. Ya, tabungan yang sudah lama ku persiapkan untuk menyewa indekos atau dana darurat lainnya, terpaksa aku bongkar. Karena aku sama sekali tidak mendapat pinjaman uang dari ibu dan bapak. 

Di Tengah riuhnya acara tiba-tiba ada yang memanggil namaku 

"Rina... hei, disini" Ku lihat dari kejauhan Nurul melambai dan berteriak memanggil namaku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Tapi tanpa ku sadari dia justru datang mendekat.

"Memangnya kamu sedekat itu ya, sama si Nurul?" tanya Olive

"Iya, nih. Tumben banget dia sok akrab manggil-manggil kamu" timpal Karin

Dua sahabatku ini memang paling mengerti aku. Dengan santai aku ceritakan pada mereka kalau rumah aku dan Nurul tidak terlalu jauh, juga tentang dia yang secara tiba-tiba datang kerumahku. Mereka berdua hanya mengangguk-angguk. 

"Hai, Rin. Ku kira kamu gak bakal datang kesini" sikap Nurul yang sok akrab itu membuat sahabatku saling pandang. 

"Iya, sekalian liburan" jawabku singkat

"Lho, tapi, bukannya ibu kamu gak kasih izin datang kesini ya? Kok bisa sih kamu keluar tanpa izin?" tanya nya lagi

Tangan Olive perlahan menggenggam tanganku, mencoba membantuku menahan emosi yang mulai meluap. Ini adalah hal yang paling aku tidak suka dari Nurul. Meski anaknya terlihat baik dan polos tapi kenyataannya sama sekali berbeda. Dia adalah orang yang berusaha menjadi perhatian dengan menceritakan sesuatu yang sifatnya pribadi bagi orang lain. Itu sebabnya banyak tidak menyukainya. 

"Heh, Nurul. Itukan masalah pribadi dia, ngapain kamu tanyain disini. Nggak bisa liat situasi ya?" Ucap Karin dengan nada tinggi. Aku tahu sahabatku yang satu ini sangat keras kepala dan juga sangat tegas jika tidak menyukai sesuatu. 

"Memangnya salah kalau aku tanya tentang itu? Aku cuma mau ingetin aja ke Rina, gak baik keluar rumah tanpa izin" Jawab Nurul dengan nada sinis

"Kalau memang niatnya mengingatkan, bukan disini tempatnya. Dah yuk, kita pindah tempat aja. Disini suasananya bikin mual" Karin dan Olive memegang tanganku dan mengajakku menjauh. Ku lihat sekilas wajah Nurul yang memerah karena kesal. 

Senang rasanya punya dua sahabat yang sangat mengerti kondisiku. Sebelum datang kesini aku sempat menceritakan kepada mereka tentang pertengkaran ku dengan ibu. Bahkan mereka sampai menawarkan diri untuk datang menjemputku jika nanti benar-benar tidak dibolehkan ikut reuni. 

Setelah agak jauh dari tempat sebelumnya kami mulai bisa mengobrol seperti biasa lagi. Olive yang memang paling bijak diantara kami, mulai memberikan ku sedikit saran ketika aku bercerita tentang aku yang belum juga mendapat pekerjaan.

"Kalau boleh aku kasih saran nih, Rin. Gimana kalau kamu buka jasa les privat untuk anak-anak sekitar komplek kamu" Olive mulai memberikan saran

"Bener banget tuh Rin, kan lumayan bisa ngisi waktu kosong kamu sekalian nambah sedikit penghasilan. Yaa, setidaknya untuk kuota kamu bisa beli sendiri" Karin menambahkan

Hal seperti itu memang sempat terlintas dalam pikiranku dulu ketika mulai merasakan sulitnya mencari pekerjaan setelah lulus kuliah. Lagi pula mengajar les privat bukan hal yang asing bagiku, karena sejak masih menjadi mahasiswa aku pernah sesekali membantu memberikan les privat untuk anak-anak dosen atau dari beberapa lembaga bimbingan belajar.

"Jangan terlalu dipikirkan hasilnya. Yang terpenting kamu mulai dulu aja untuk membuka les privat. Aku yakin pasti banyak yang mau, kok. Ya, kan Liv?" tanya Karin pada Olive

"Iya, kalau kamu butuh sesuatu nanti kita bantu sebisanya. Jangan sungkan deh"

"Makasih banyak ya, teman-teman" Kami pun berpelukan dan kembali menikmati acara reuni hari itu. Dengan dorongan dari sahabat-sahabatku, aku yakin pasti bisa membuka jasa les privat. Rasa semangat itu memenuhi dadaku. 

Esoknya aku mulai mendesain berbagai hal yang diperlukan untuk mempromosikan les privat milikku. Mulai dari desain poster hingga membuat berbagai modul efektif belajar. Laptop yang selama ini hanya ku gunakan untuk menonton film dan drama Korea, kembali ku gunakan secara produktif. Tapi, bagaimana dengan hubunganku dengan ibu? Tentu saja kami belum berbaikan meskipun sudah lewat lebih dari satu minggu lamanya. 

Hari-hari ku lewati dengan mempromosikan jasa les privat, mulai dari akun social media, hingga secara door to door. Lelah rasanya, bahkan aku hampir putus asa ketika kenyataannya belum ada yang berminat mendaftar ke jasa privat milikku. Tabunganku pun mulai menipis. Apakah aku harus meminta pada bapak? Rasanya sangat memalukan, karena sebelumnya dengan penuh percaya diri aku bilang pada bapak bahwa aku akan berhasil secepatnya. 

Sudah memasuki satu bulan sejak aku mulai merintis jasa les privat dengan penuh semangat. Tapi sekarang semangatku justru semakin mengendur. Tidak ada satu pun anak yang berminat untuk mendaftar. Aku berbaring menghadap langit-langit kamar dan berpikir keras. Adakah sesuatu yang kurang dari usahaku. Padahal aku sudah menyeimbangkan antara usaha dan doa. Lalu apa lagi yang kurang?

Ditengah pikiran yang masih berkecamuk, aku mendengar suara adikku Raihan, mengetuk pintu kamar dan memanggil namaku. 

"Kak, ada yang cari kamu nih. Buruan keluar"

"Iya sebentar, aku pake jilbab dulu"

Aku pun melangkah ke ruang tamu. Ku lihat ada ibu-ibu paruh baya yang terlihat bersahaja sedang duduk berdampingan bersama seorang anak perempuan yang kurasa itu adalah anaknya.

"Mohon maaf bu, apa ibu mencari saya?"tanyaku dengan nada sesopan mungkin

"Ah, neng Rina, ya? Perkenalkan nama ibu, Sumi. Ini anak bungsu ibu, namanya Vina baru kelas 3 SD" jelasnya sambil memperkenalkan anak perempuannya. aku hanya tersenyum kepada keduanya

"Ibu langsung sampaikan aja ya, maksud kedatangan ibu kesini mau mendaftarkan Vina les privat disini. Sebelumnya ibu dapat informasi melalui teman ibu, kalau disini ada yang membuka jasa les privat. Kebetulan saya juga sekarang lagi kewalahan ngurusin toko dan juga kungurusin yang dirumah. Jadi ibu mau minta tolong bantu anak ibu belajar" jelas bu Sumi lebih lanjut.

Aku yang mendengarnya benar-benar merasa terharu. Usaha dan kerja kerasku selama ini ternyata membuahkan hasil. Meskipun baru ada satu murid tapi bagiku ini sudah cukup membanggakan. 

"Sebelumnya aku mau mengucapkan terima kasih, karena ibu sudah mempercayakan saya mengajar les privat dek Vina. Terima kasih banyak bu"

"Justru ibu yang berterima kasih karena neng Rina sudah mau membantu anak saya belajar"

Kata apa yang harus aku ungkapkan kala itu. Tapi aku benar-benar terharu dan bersyukur atas kerja kerasku selama ini. Dan hari-hari ku sekarang mulai terasa berbeda. Aku mulai disibukkan dengan mengajar Vina selama beberapa hari dalam seminggu. Pengalaman mengajar les selama aku masih menjadi mahasiswa benar-benar bisa terealisasikan lagi sekarang.

Waktu terus berjalan dan anak-anak murid les privatku semakin bertambah banyak, meskipun jumlahnya tidak sampai dua puluh orang. Tapi aku tetap bersyukur untuk itu. Hasil mengajar selama beberapa bulan pun sudah bisa digunakan untuk menambah biaya sekolah adik, membantu bapak membayar listrik dirumah dan untuk kebutuhan pribadiku. Karin dan Olive yang melihat perkembangan jasa les privatku pun turut ikut senang karena apa yang aku kerjakan mulai membuahkan hasil. Dan aku perlahan melupakan email balasan dari lamaran pekerjaan yang ku kirim.

Di Tengah pesatnya pencapaianku tentunya tak semua orang menyukainya. Masih ada beberapa orang yang mencibir dan menghinaku. Ada yang mengatakan "Percuma sekolah tinggi-tinggi tapi cuma jadi guru privat" atau ada yang lebih parah seperti ini "Wah, sayang banget gelar sarjananya gak kepake" 

Tapi lagi-lagi aku tanggapi semua itu dengan senyuman. Seperti yang bapak ajarkan, anggap saja semua cibiran itu seperti dorongan untuk aku terus maju dan sukses. Dan ternyata benar apa yang bapak katakan. Beberapa orang tetangga bahkan mulai berani meminta pinjaman uang dariku, padahal sebelumnya pernah menghinaku sebagai pengangguran. Tapi dengan halus aku mengatakan bahwa aku belum bisa memberinya pinjaman uang. Dan besoknya ia langsung memusuhiku. Lagi. Ternyata lagi-lagi masih ada yang tidak suka padaku.

Hari-hari terus ku jalani seperti biasa. Pagi sampai sore mengajar les, kemudian malam membuat modul belajar. Melelahkan, tapi lebih lelah ketika harus menunggu hasil lamaran kerja. Malam itu ketika aku sedang fokus membuat modul belajar, tiba-tiba bapak datang dengan membawa secangkir teh manis hangat di tangannya.

"Kamu belum tidur Rin?"tanya bapak lembut

"I-iya pak, masih bikin modul untuk belajar" jawabku singkat

Perlahan bapak meletakkan secangkir teh yang dibawanya kemudian duduk di tepi tempat tidurku. 

"Jangan terlalu capek, tidak baik untuk Kesehatan kamu"

"Aku gak terlalu capek kok, pak. Ini masih kuat hehe" ku lihat bapak hanya tersenyum

"Bapak mau tanya sesuatu sama kamu" nada suara bapak mulai serius tetapi masih dengan kelembutan

"Mau nanya apa pak?" tanyaku balik

"Kamu sudah berbaikan sama ibu?"

Seketika aku langsung terdiam. Dadaku terasa sakit dan sesak ketika mendengar pertanyaan dari bapak. Aku hanya bisa menunduk dan menggelengkan kepala. Bapak kemudian mengelus kepalaku dengan lembut dan kembali berbicara.

"Minta maaflah nak sama ibu mu. Minta maaf bukan karena kamu salah, tetapi untuk menghormatinya sebagai orangtua kandung kamu. Bapak tau yang diucapkan ibumu tidak baik. Ibumu juga manusia biasa yang sewaktu-waktu pasti bisa berbuat salah. Saling memaafkan itu lebih baik dari pada terus menerus saling diam, itu tidak baik Rin. Apalagi dia ibu kandung kamu yang mengajari kamu berbicara."

Ucapan bapak seperti sesuatu yang menampar hatiku. Benar, bahwa ibu lah yang mengajariku berbicara. Dan aku gunakan kemampuan itu untuk mendebat ibuku bahkan berteriak didepannya. Aku ingin menangis, tapi aku tidak mau menangis didepan bapak.

"Ya sudah, sekarang selesaikan pekerjaan kamu. Jangan tidur terlalu larut, ini teh manis bapak yang buat supaya kamu tidak kedinginan kalau begadang. Bapak tinggal dulu ya" 

Aku hanya mengangguk pelan. Kemudian bapak perlahan berjalan keluar kamar, tapi gerakan tangannya berhenti ketika ingin menutup pintu kamarku. 

"Nak, kalau nanti mau minta maaf sama ibumu, sekian ucapkan terima kasih juga. Karena ibumu yang sudah membantu kamu mencari murid les"

Ucapan terakhir bapak benar-benar mengagetkanku. Ibu yang selama ini hanya diam ketika berpapasan denganku atau selalu cuek ketika melihat kesibukan ku. Justru adalah orang yang paling bersusah payah agar kerja keras anaknya tidak sia-sia. Sebelum bapak menutup pintu kamar, aku langsung berlari menghampiri ibu yang baru saja selesai sholat Isya. 

Tangisku pecah ketika aku memeluk tubuhnya yang mulai renta. Aku benar-benar merasa malu dan berdosa sudah mengabaikan ibu selama berminggu-minggu. Tangan ibu yang hangat mulai mengusap kepalaku dengan lembut. 

"Maaf bu" hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku. Dan selebihnya aku hanya terus menangis. Malam itu aku dan ibu saling memaafkan dan kembali berbaikan. 

Terhitung sudah tiga tahun aku menjalankan jasa les privat yang kini telah berubah menjadi lembaga les resmi. Rasa iri yang kurasakan ketika melihat orang pulang dari tempat mereka bekerja, dan membayangkan kapan aku akan seperti itu, kini sudah tidak lagi bisa kurasakan. 

Dulu aku sempat bertanya pada diri sendiri kenapa jalan yang harus dilewati terasa sangat begitu panjang dan terkadang menjatuhkan. Entah apa yang kurang, mungkin usaha atau apa. Dulu, aku juga tidak begitu mengerti. Padahal sudah banyak lamaran kerja yang dikirimkan, hanya saja selalu berujung penolakan dan tidak membuahkan hasil. Beban batin yang sudah terlalu besar untuk dipangguh. Hal itu membuatku enggan untuk membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan meskipun yang dibahas hanya lowongan kerja. 

Menjadi seseorang dengan memiliki gelar sarjana bukanlah sesuatu yang bisa terlalu dibanggakan, karena akan selalu ada orang yang menghina ketika gelar sarjananya yang kita punya tidak bisa digunakan untuk mendapat pekerjaan yang bagus. Tapi bagiku memiliki gelar sarjana juga sesuatu hal yang sia-sia tetapi sebuah kebanggaan tersendiri. 

Aku adalah orang yang akan mengusahakan sesuatu yang masih bisa diusahakan. Bayaran dari hasil mengajar privat mungkin tidak sebesar gaji karyawan di kantor. Tapi setidaknya dengan ini membuatku jadi lebih bersemangat dan cukup untuk menyibukkan diri. Tentu ini lebih bermanfaat dibandingkan dengan berdiam diri dirumah dan hanya berkutat pada kesibukkan mencari kerja lebih dari itu aku bahkan bisa membuka lapangan pekerjaan. Karena aku sadar masih banyak waktu dan kegiatan bermanfaat lainnya yang bisa aku lakukan di masa-masa ketika masih menjadi pengangguran. 

Meskipun aku bukanlah mantan mahasiswa dan sarjana yang luar biasa, yang memiliki segudang prestasi, tapi aku berharap bisa memberikan sesuatu yang bermanfaat dibalik gelar sarjanaku itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun