Mohon tunggu...
Simon Sutono
Simon Sutono Mohon Tunggu... Guru - Impian bekaskan jejak untuk sua Sang Pemberi Asa

Nada impian Rajut kata bermakna Mengasah rasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ricuh (1)

2 Maret 2021   04:37 Diperbarui: 4 Maret 2021   09:40 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ricuh! Pertandingan futsal di halaman sekolah berujung protes.

"Sekarang kita kembali ke aturan." Jimmy sang Ketua OSIS mencoba tenang. Dia dirubungi para pemain futsal dan supporter dengan beragam sikap.

"Ini namanya tidak fair. Masa kelas kita sudah mimpin 2 - 0 didiskualifikas," ujar salah satu supporter yang diamini yang lain.

"Ketua OSIS apaan ini."

"Huuu.. pecat.. pecat!"

Suasana mulai memanas. Muka Jimmy memerah. Rahangnya mengeras menahan emosi.

"Siapa yang bilang pecat-pecat?" Jimmy mengedarkan pandangannya. "Kalian tahu tidak aturan mainnya apa?"' lanjutnya berang.

"Sekarang begini, saya minta perwakilan 2 orang dari tim untuk ikut saya ke ruang OSIS. Roy, panggilkan Pak Husni ke ruang OSIS."

Yang dipanggil Roy segera beranjak sementara Jimmy mulai meninggalkan lapang. Ketika sadar tidak ada yang mengikutinya ia berbalik, "Ayo, mau dibereskan tidak masalahnya?"

Kerumunan siswa pun bubar seiring kepergian Jimmy dan perwakilan kelas.

*****

"Bisa-bisanya anak itu bohong." Pak Husni yang baru memasuki kantor guru berkata setengah mengeluh.

"Kejadian di lapang tadi?" tanya Pak Joni pada Pembina OSIS itu.

"Iya, dari awal aturan mainnya kan jelas. Pemain yang terdaftar tidak boleh diganti kecuali tidak masuk atau sakit. Penggantian pun mesti sepengetahuan wali kelas. Ini, jelas-jelas anaknya masuk dan sehat malah dikatakan tidak masuk."

"Lha, kok bisa. Memang dari awal tidak dicek?" tanya Pak Joni lagi.

"Ya itu tadi, OSIS juga tidak detil mengecek kehadiran. Ada siswa lain yang tahu kejadiannya dan lapor."

"Jadi didiskualifikasi?"

"Tidak ada pilihan. PR tuh buat Bu Wanti," kata Pak Husni ke Ibu Wanti yang baru masuk ruang guru.

"Futsal ya?"' tanya Bu Wanti. "Ini saya baru masuk kelas. Yang marah, nangis, kesel," ujar wali kelas itu."'Mau gimana lagi. Anak harus tahu aturan main. Mau menghargai. Ini mah sudah keterlaluan. Hampir saja saya meledak marah di kelas, kalau tidak ingat punya darah tinggi. Bisa stroke saya," omelnya.

Pak Joni tersenyum kecil. Ya, dia bisa memahami Bu Wanti. Dia pun wali kelas, yang harus mendampingi sekian puluh siswa dengan karakter yang berbeda, dan itu bukan pekerjaan mudah.

***

"Eko," Gilbert memanggil temannya ragu. Eko yang baru ganti baju berbalik. "Futsalnya sdh mulai," lanjut Gilbert.

"Mulai?" tanya Eko heran.

"Iya, dan kamu tidak dimainkan, diganti Rio. Aku sudah bilang kamu lagi ganti baju," lanjut Gilbert. "Tapi kamu tahu sendiri."

"Braak!" Eko menampar pintu toilet seraya bergegas meninggalkan toilet. Gilbert melonjak kaget.

"Ko.. Eko! Mau kemana? Tunggu!" Gilbert mengejar Eko.

"Damn it!" ujar Eko.

"Lho, kok jadi gua yg dimarahin." Gilbert garuk-garuk kepala.

***

Pak Joni meraih gagang pintu perpustakaan. Belum juga masuk seorang siswa mendekat dan bertanya, "Boleh masuk, Pak?"

"Aturannya bagaimana?" jawab Pak Joni

"Selama class meeting sekolah tidak membolehkan siswa ke perpustakaan."

"Tuh kamu tahu aturannya."

"Ya memang. Kami disuruh jadi supporter teman-teman yang lomba makanya tidak boleh ke perpustakaan. Sekarang bagaimana mau jadi supporter kalau lombanya sudah kalah semua."

Pak Joni terdiam. "Iya juga ya," pikirnya.

"Ya, kamu bisa buat kegiatan lain. Kan temanmu banyak tuh. Pasti ada ide," timpalnya sambil membuka pintu perpustakaan.

"Bosan, Pak." Pak Joni masih mendengar sahutan siswa tadi.

"Siang Pak Andi. Ikutan baca ya," sapa guru muda tersebut pada pustakawan sekolah. Ia mengedarkan pandangan. Perpustakaan tidak seratus persen minus siswa. Gilbert duduk sendiri sementara dari jendela kaca pembatas lia meihat sosok Eko menelungkup di meja di ruangan baca.

"Lho, Gilbert, sedang test susulan?" tanya Pak Joni. Anak muda itu menggeleng.

"Lagi nungguin Eko," jawabnya

"Eko?" tanya Pak Joni. Ia teringat pembicaraannya dengan Pembina OSIS, dan Bu Wanti, wali kelas Gilbert.

"Bukankah..." Ucapanku terhenti.

"Memang apa yang terjadi?" tanyaku berlagak tidak tahu.

"Itu Pak, Eko kesal. Semestinya dia main futsal, tapi malah digantikan. Dan sekarang kelas kami didiskualifikasi."

"Maksudmu?" tanya Pak Eko.

"Aturannya kan pemain tidak boleh diganti, kecuali sakit atau tidak masuk. Itu juga mesti sepengetahuan wali kelas," jawabnya.

"Memang siapa yang mengganti Eko? Kamu tahu?"

"Hmm.. saya.. saya kurang tahu, Pak." Gilbert terbata mengelak.

"Wali kelasmu sudah tahu?" tanya Pak Joni lagi.

"Tadi Bu Wanti sudah ke sini, ketemu Eko. Hanya Eko diam saja. Bu Wanti bilang biar Eko tenang dulu."

Pak Eko menatap Eko bimbang dari balik kaca. "Perlukah aku temui?" pikirnya.

"Pak Andi, boleh minta kertas dan pinjam pulpen?" pintanya pada pustakawan kelas sambil beranjak ke mejanya mengambil kertas.

Ia menoleh pada Gilbert, "Mau terus menunggu Eko?"

"Ya Pak. Lagian di luar tidak seru. Yang tanding basket bukan kelas saya."

Pak Joni mengangguk. Setelah mendapatkan kertas dan pulpen ia menuju ruang sebelah.

"Ternyata kamu di sini, Eko," sapanya sambil mendekat. Pak Joni berdiri di samping remaja itu.

"Bisa dipahami kalau kamu kecewa, kesa," katanya hati-hati. Kepala Eko bergerak.

Pak Joni duduk di sampingnya, terdiam sesaat, mencoba memilih kata-kata.

"Kadang bicara sama seseorang bisa menenangkan perasaan. Kamu boleh sharing sama Bapak kalau kamu mau," kataya menawarkan diri.

Eko bergeming. Pak Joni menatap kertas yang sedang ia pegang. Keramaian dari lapang basket menerobos jendela perpustakaan.

"Atau Bapak tinggalkan kertas dan pulpen ya, kalau-kalau kamu ingin menuliskan perasaanmu," lanjutnya perlahan.

"Tinggalkan saja kertasnya di sini atau titipkan ke Pak Andi."

Pak Joni meletakkan kertas dan pulpen di depan Eko. Sejenak ia memandangi Eko yang sedang telungkup di meja sebelum meninggalkannya. (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun