picture by : wallcate.com
....
Kala itu rintik hujan di pagi hari meriuhkan rumput gersang di depan rumah-rumah warga, jalanan yang masih berlapis tanah terasa becek dan syarat akan genangan air. Gemericik di atap-atap asbes juga terasa berisik sekali, terpaksa Aku terbangun dari tidurku yang cukup lelap.
Ibu dan bapak tampak asyik meramu kedelai bersama tukang-tukang yang lain, tumpukan ragi juga terlihat menjulang tinggi di pojokkan pintu dapur, seperti patung-patung dari batu kapur yang Aku baca di komik-komik , ah.. imajinasi yang sempurna pagi hari itu.
Ku tengokkan kepala ku ke ujung jalan di pinggir sungai, seorang anak dengan celana pendek tanpa atasan sedang duduk sendirian di tepian sungai, dengan pancing bambunya yang sudah reot dan bermodal seuntai kawat. Ingin sekali rasanya Aku mengajaknya berbicara dan bersendau gurau.
Aku terus mendekat dan mendekat padanya, ku amati pancing kawatnya dan daun pisang kering tempat ia menyandarkan pantat nya ketika memancing. Klasik sekali bocah seusia ku ini, dengan rambut cepak dan tak beralaskan kaki ia bermain ke tepian sungai yang becek bekas air hujan tadi, seakan tak peduli akan ada cacing atau hewan lain yang menggeliat di kulit kakinya.
Setelah tinggal beberapa jengkal lagi aku bisa meraih pundaknya, ia menengok kebelakang dan lari menghindariku, Aku berpikir, apakah aku kurang sopan padanya? Atau ia anak yang sangat pendiam?
....
Hari ini aku kembali melihat anak itu duduk di tepian sungai, kali ini ia membawa kantung besar berwarna putih dengan tongkat kayu runcing ditangannya, ia mengorek – ngorek sampah yang menempel di tanah tepian sungai, ada banyak sampah plastik disana, mungkin itulah pikirannya saat itu.
Ia kembali melihatku namun ia tak lari seperti kemarin, ia melambaikan tangannya kepadaku, Aku terkejut dan takut, siapa tahu ia salah satu dari sekelompok anak kampung yang tidak menyukai kedatangan warga baru seperti ku.
Tapi aku mendekat padanya, memberanikan diri bertanya identitas lengkapnya. Aku seperti orang kebingungan yang sedikit idiot , bukan karena aku gugup atau semacamnya, tapi alangkah menarik nya anak itu untuk dijadikan teman sepermainanku di Tangerang saat itu.
Kami berjabat tangan dengan saling memandang, ia anak yang tidak begitu terawat, celananya tidak ganti dari kemarin, wajahnya kusam dan penuh dengan corengan debu, rambut nya yang ikal begitu kusut dan sepertinya ada beberapa dedaunan yang bersantai di rambutnya. Ah.. aku semakin teliti saja mengamati teman baruku yang satu ini.
Ya, namanya Cupling, nama yang aneh seperti kesan pertama saat aku melihatnya, ia tinggal tidak jauh dari rumahku, ia memang senang memancing di sungai kecil dekat rumahku itu.
Sambil sesekali mengelap ingusnya, Cupling mengajakku ke rumahnya, ia sangat pendiam , namun gelagatnya penuh antusias untuk ukuran orang yang baru Aku kenal. Sepanjang perjalanan, Aku juga bersikap sama sepertinya, hanya diam.
Saat tiba di rumahnya, jantungku berdebar, mataku tak berhenti melotot, imajinasi ku mengarah pada perabot apa saja yang ada didalam rumah kardus yang sudah usang itu. Ya, rumah Cupling berbahan kardus !
Aku tidak berkata apa-apa, aku diajaknya masuk, tidak ada siapa-siapa di sana, hanya ada tikar dari bambu yang tergelar dengan beberapa bantal tipis disana, ada juga beberapa piring dan gelas plastik bekas makanan yang ada dipojokkan tikar.
Dengan polos, Cupling mengambilkan beberapa kacang atom yang sudah tinggal setengah plastik. Mungkin bekas camilannya tadi malam. Rasanya masih renyah dan gurih. Ia tertawa kecil kepadaku, seolah ingin memulai obrolan. Aku pun membalas tawanya sambil terdengar bunyi “kriuk, kriuk” diantara kami berdua.
Akhirnya terucap satu pertanyaan dari bibir nya yang mungil, ia bertanya siapa namaku, mungkin tadi ia lupa saat kita bersalaman di tepian sungai. Ia juga menanayakn tempat asalku, hobi ku dan kesan pertamaku di Kota Tangerang.
Kami semakin akrab dengan percakapan ala anak kecil berusia 8 tahun. Dengan kacang atom yang tinggal beberapa biji, Cupling mengajakku keluar rumahnya dengan membawa karung putih besar di pundaknya. Dia pemulung ! pikirku.
Aku tak memepermasalahkan bahwa pemulung akan terus berkutat dengan sampah, namun apa yang akan Cupling lakukan dengan mengajakku, apakah Aku akan memulung mengikutinya atau Aku hanya diajak untuk menjadi penonton baginya. Ya.. Aku pikir ini akan mengasyikan.
Jalan demi jalan kami susuri dengan riang, belum ada sampah layak ambil yang ditemukan Cupling dan karung besarnya. Kami selingi kegiatan kotor itu dengan berlarian saling mengejar, kami tertawa sangat kencangdan lepas, sesekali Cupling tersungkur karena tersandung, keringat nya bercucuran dan ingusnya semakin banyak ketika bercampur keringat. Lucu sekali pemulung kecil ini, pikirku.
Di suatu jalan kampung kami menemukan beberapa sampah plastik yang layak untuk di pulung , ada bekas air mineral dan bekas snack. Mungkin ada orang hajatan barusan . Cupling mengajakku dengan cepat memulung beberapa sampah tadi, agar tidak keduluan pemulung lain yang lebih tua, mungkin Cupling bisa di palak nanti , ujarku dalam hati.
Kami berjalan pulang dengan berlarian lagi, Cupling terlihat gembira saat itu, seolah baru saja menemukan harta karun yang melimpah.
Sesampainya di rumah Cupling, terlihat bapak-bapak berkumis tebal dan seorang wanita yang belum terlalu tua menggendong balita, mungkin itu bapak dan ibu Cupling. Mereka sedang memilah-milah sampah di dalam gerobak , sampah plastik dan lainnya dipisah sesuai tempatnya.
Aku dan Cupling mendekat, Cupling menyerahkan sampah di karungnya kepada bapak-bapak itu, Oh.. ternyata itu benar bapaknya, dan tentu saja wanita itu adalah ibunya dan balita itu adiknya.
Mereka tengah asyik memilah-milah sampah dan Aku harus pulang karena hampir gelap, aku hanya melambaikan tangan pada Cupling, lalu aku berlari pulang.
...
Keesokan harinya, aku memberanikan diri datang sendiri kerumah Cupling. Nampak sepi rumahnya pagi itu, pintu kardus yang tertutup begitupun jendela nya.
Aku mendekat ke arah pintu dan Cupling tiba-tiba keluar , seolah ia sudah mengetahui teman baru nya datang pagi itu. Ia mempersilahkan Aku masuk dan menggandeng tanganku, terlihat ibu nya sedang sibuk mengupas sesuatu dan adik Cupling masih tertidur pulas di tikar bambu. Mungkin bapak Cupling sudah berangkat memulung pagi itu.
Cupling mendekat pada ibunya dan meminta sesuatu berwarna kuning keputihan di atas piring plastik, ia memakannya dengan lahap dan disodorkan kepadaku juga. Aku juga memakannya , namun tak selahap Cupling, Aku takut sakit perut. Ya , Cupling sarapan dengan tebu pagi itu !
Ibu nya pun ikut melahap tebu di piring plastik itu, kami bertiga seolah sedang berada tempat makan mewah dengan hidangan lezat yang menggugah selera. Tak ada minum saat itu, namun Cupling memang bocah yang penuh kharisma, ia mencairkan suasana dengan lelucon yang membuat ibunya tertawa dan aku pun demikian. Sambil sesekali ibu nya mengelap ingus Cupling dengan daster batik nya yang dibagian pundak nya sobek sedikit.
Ibu Cupling memang pendiam dan tidak banyak bertanya kepadaku sebagai teman Cupling, seolah ia melihatku sebagai anak yang baik dan polos serta layak menjadi teman Cupling.
.....
Kehidupanku di Tangerang menjadi riang dengan bertemu Cupling, seorang pemulung kecil dan polos serta berteman dengan sampah-sampah yang bau. Ia sangat unik dan terlihat santai dengan kehidupannya yang miris, dengan rumah kardus sebagai tempat perlindungannya dari hujan dan terik matahari. Aku salut dengan anak kecil ber ingus ini.
Sesekali kami juga memancing di sungai kecil dekat rumahku, tak ada ikan yang layak disana, kami hanya basa-basi mengisi waktu dengan memancing ala anak-anak kampung lain.
Hal lain yang menyenangkan adalah ketika kami berlarian di jalanan kampung yang sepi, dan menyaksikan Cupling saat buang air kecil di semak-semak, air kecing nya yang panjang bisa Aku jadikan terowongan dan Aku membungkuk di sana. Cupling selalu tertawa terbahak-bahak saat hal itu Aku lakukan.
Setiap hari kami menjadi petualang di kampung, memulung, berlarian dan memancing di sungai . Semua jalanan kampung adalah singgasana kami, kami bebas tertawa dan berlarian disana.
Saat ini, Aku tak tahu bagaimana keadaan Cupling, bagaimana keadaan keluarga dan rumah kardusnya. Aku telah berada di kehidupan yang baru, Aku pindah dari Tangerang saat persahabatanku dengan Cupling menginjak usia 2 tahun. Orang tua ku memilih tinggal di Jawa Tengah, tempat kakek dan nenekku.
Hanya memori mengasyikan dengannya yang bisa Aku jadikan pelipur rindu pada Cupling, dengan mengingat kepolosan serta kekonyolannya, seolah Aku kembali pada masa-masa indah bersama sahabat ingus ku, Cupling.
Note : sertakan link jika ingin mengopy ya :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H