Hari ini aku kembali melihat anak itu duduk di tepian sungai, kali ini ia membawa kantung besar berwarna putih dengan tongkat kayu runcing ditangannya, ia mengorek – ngorek sampah yang menempel di tanah tepian sungai, ada banyak sampah plastik disana, mungkin itulah pikirannya saat itu.
Ia kembali melihatku namun ia tak lari seperti kemarin, ia melambaikan tangannya kepadaku, Aku terkejut dan takut, siapa tahu ia salah satu dari sekelompok anak kampung yang tidak menyukai kedatangan warga baru seperti ku.
Tapi aku mendekat padanya, memberanikan diri bertanya identitas lengkapnya. Aku seperti orang kebingungan yang sedikit idiot , bukan karena aku gugup atau semacamnya, tapi alangkah menarik nya anak itu untuk dijadikan teman sepermainanku di Tangerang saat itu.
Kami berjabat tangan dengan saling memandang, ia anak yang tidak begitu terawat, celananya tidak ganti dari kemarin, wajahnya kusam dan penuh dengan corengan debu, rambut nya yang ikal begitu kusut dan sepertinya ada beberapa dedaunan yang bersantai di rambutnya. Ah.. aku semakin teliti saja mengamati teman baruku yang satu ini.
Ya, namanya Cupling, nama yang aneh seperti kesan pertama saat aku melihatnya, ia tinggal tidak jauh dari rumahku, ia memang senang memancing di sungai kecil dekat rumahku itu.
Sambil sesekali mengelap ingusnya, Cupling mengajakku ke rumahnya, ia sangat pendiam , namun gelagatnya penuh antusias untuk ukuran orang yang baru Aku kenal. Sepanjang perjalanan, Aku juga bersikap sama sepertinya, hanya diam.
Saat tiba di rumahnya, jantungku berdebar, mataku tak berhenti melotot, imajinasi ku mengarah pada perabot apa saja yang ada didalam rumah kardus yang sudah usang itu. Ya, rumah Cupling berbahan kardus !
Aku tidak berkata apa-apa, aku diajaknya masuk, tidak ada siapa-siapa di sana, hanya ada tikar dari bambu yang tergelar dengan beberapa bantal tipis disana, ada juga beberapa piring dan gelas plastik bekas makanan yang ada dipojokkan tikar.
Dengan polos, Cupling mengambilkan beberapa kacang atom yang sudah tinggal setengah plastik. Mungkin bekas camilannya tadi malam. Rasanya masih renyah dan gurih. Ia tertawa kecil kepadaku, seolah ingin memulai obrolan. Aku pun membalas tawanya sambil terdengar bunyi “kriuk, kriuk” diantara kami berdua.
Akhirnya terucap satu pertanyaan dari bibir nya yang mungil, ia bertanya siapa namaku, mungkin tadi ia lupa saat kita bersalaman di tepian sungai. Ia juga menanayakn tempat asalku, hobi ku dan kesan pertamaku di Kota Tangerang.
Kami semakin akrab dengan percakapan ala anak kecil berusia 8 tahun. Dengan kacang atom yang tinggal beberapa biji, Cupling mengajakku keluar rumahnya dengan membawa karung putih besar di pundaknya. Dia pemulung ! pikirku.