BAB II
(Pulang)
Suara angin yang berhembus kencang, menyatu dengan suara mesin kapal laut yang menjadikannya bising. Dorojatun duduk dengan perasaan sedih masih tak menyangka kepulangan dirinya secepat cahaya. walaupun begitu, itu adalah keputusan sang ayahanda. Sri Sultan Hamengkubuwono VIII memutuskan memanggil pulang Dorojatun, meskipun yang bersangkutan belum menyelesaikan jenjang pendidikannya. Karena politik dunia bergerak begitu cepat, khawatir akan tanda-tanda meletusnya perang dunia II yang semakin jelas.
Dijemputnya dorojatun di sebuah pelabuhan, oleh seorang paman. Terlihat sang paman sudah berdiri menyambutnya, kemudian memberikan senyuman hangat pada dorojatun.
“Kulo aturaken, Sugeng rawuh gusti raden mas” sambut sang paman dengan hormat.
“matur nuwun, pak lek. sudah lama tidak bertemu dirimu, rasanya rindu sekali”
Dorojatun memeluk hangat pamannya, kemudian dirangkulnya pundak Dorojatun oleh pamannya. Menunjukkan pada kereta kuda yang telah menunggu di depan pelabuhan, para sang abdi dalem bergegas menaikkan tas besar milik dorojatun ke atas kereta.
Malam pun tiba, kereta kuda gemeratak menggiling batu jalanan. Lampu kecil yang temaram menyibak kegelapan dengan tak kenal damai. Hanya kereta kuda yang membawanya yang lewat pada malam ini. Tak disangka sudah 3 jam perjalanan ditempuh menuju sebuah hotel bernama des indes tempat sang ayah dan anggota keluarga lainnya menginap di Batavia.
Sang ibu dan sang ayah sudah bersiap menyambut dorojatun didepan pintu hotel. Dorojatun berlari kecil menuju padanya, memberi salam hormat kepada keduanya kemudian memeluk erat mereka satu persatu. Sang ibu terasa membeku saat melihat wajah dorojatun, sangat dimaklumi setelah sekian tahun dirinya tak melihat putra kesayangannya. Sang ibu tak kuasa menitikkan air matanya.
“anak ibu wes besar, yo” ucap kustilah seraya memegang pundak dorojatun dengan bangga.
“Alhamdulillah to bu, ndak mungkin saya jadi kecil terus” dorojatun terkekeh, mencairkan suasana.