Perkembangan teknologi selalu memberikan hal yang menarik untuk dibahas hal ini terjadi karena perkembangan teknologi bersifat dinamis utamanya dengan derasnya arus informasi dan teknologi selama lebih dari satu dekade belakangan ini.Â
Kemunculan perangkat keras dan lunak yang selalu berubah-ubah mulai dari gawai ponsel yang selalu berdaya saing tinggi dengan menawarkan fitur-fitur serupa namun tidak sama, gawai elektronik seperti perangkat komputer, laptop, kamera, dan hal lainnya.Â
Bila dahulu perangkat teknologi yang kita gunakan masih banyak yang bersifat analog, namun tidak dengan zaman sekarang ini, basis teknologi berkembang pesat menjadi digital di mana akan melepaskan sekat-sekat ekspolarasi komunikasi hal inilah yang memunculkan revolusi digital dan sedikit banyak juga menggeser kemampuan manusia dalam berkomunikasi.
Seiring dengan laju yang begitu cepat dari perkembangan teknologi, semua orang yang mampu menggunakan perangkat teknologi dapat menjadi produsen konten media sosial karena perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) memang dirancang untuk pengguna dapat mengakses, menulis, mengkaji, maupun menyebarkannya secara lebih luas dan digunakan lebih mudah karena praktis untuk dibawa.Â
Dapat dikatakan bahwa TIK merupakan sebuah wadah seluruh perangkat untuk memproses dan menyampaikan informasi.
Pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia sepanjang tahun 2020 hingga kini telah banyak memberikan pengaruhnya kepada sistem kerja dan kerangka pikir masyarakatnya termasuk Indonesia.
Dalam hal pemanfaatan TIK pun tidak kalah tertinggal bahkan saat ini sudah menjadi sebuah aktivitas sehari-hari menggeser aktivitas kontak fisik dan mengalihkannya melalui kegiatan platform digital.Â
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) (2021) disebutkan bahwa perkembangann penetras internet di Indonesia mengalami kecenderungan positif yaitu dari 25,37 persen pada tahun 2016 menjadi 53,73 persen pada tahun 2020.Â
Peningkatan internet ini semakin terkonfirmasi meningkat karena aktivitas masyarakat saat ini memanfaatkan aktivitas secara daring dari berbagai perangkat digitalnya.
Masa pandemi Covid-19 mengubah sikap dan perilaku setiap orang dalam menyikapi perkembangan TIK hal dikarenakan adanya pembatasan aktivitas sosial masyarakat saat ini untuk melakukan pekerjaan dari rumah (Work From Home) dan sekolah dari rumah (School From Home).Â
Belum ditambah adanya kenaikan tingkat kejenuhan (burnout) seseorang akibat pembatasan sosial sehingga untuk memenuhi aktivitas sosialnya saat ini, masyarakat dunia menemukan gaya hidup baru atau dikenal dengan tataran hidup new normal yang dilakukan berkat kemajuan teknologi seperti memanfaatkan berbagai layanan sosial internel untuk mendukung eksistensi setiap orang dalam bermedia sosial banyak memanfaatkan layanan situs jejaring sosial seperti Youtube, Instagram, Facebook, Twitter, Tiktok, Whatsapp, Skype, Wechat, dan sebagainya.
Bahkan dalam mendukung kinerja masyarakat penggunaan aplikasi Zoom Meeting kembali meroket walaupun aplikasi ini sudah ada sejak lama.Â
Jika dilihat dari data platforms media sosial yang banyak digunakan di Indonesia Tahun 2021 adalah pengguna Youtube di Indonesia sebanyak 93,8% dari jumlah populasi disusul dengan pengguna Whatsapp di Indonesia sebanyak 87,7% dari jumlah populasi, pengguna Instagram di Indonesia sebanyak 86,86% dari populasi, dan pengguna Facebook di Indonesia sebanyak 85,5% dari jumlah populasi.
Seturut dengan hal itu, pemanfaatan platform-platform digital digunakan sebagai wadah aspirasi atau pendapat, Â sarana berkomunikasi aktif sehingga terjadi interaktif secara terbuka dalam berbagi dan memberikan respon secara daring dalam waktu yang cepat.Â
Pemanfaatan media sosial ini semakin meningkat pada beberapa event besar seperti agenda politik.
Melalui Pemilu terlihat bahwa era keterbukaan berpendapat dalam masyarakat tidak dapat dibendung dan media sosial turut memberikan kontribusi dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia.Â
Orang-orang semakin terbuka dan berani dalam berpendapat dan berserikat dalam menyampaikan serunnya kepada kinerja pemerintah melalui media sosial yang semakin mudah diakses oleh seluruh komponen masyarakat.
Tentunya kebebasan berpendapat dan menyalurkan aspirasinya ini sudah dijamin sejak zaman kemerdekaan di tahun 1945 melalui Konstitusi yang menegaskan bahwa kebebasan berkespresi dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) Â yang menyatakan bahwa, "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat". Hal ini pun memiliki makna bahwa ada pengakuan atas kebebasan setiap orang dalam berpendapat.Â
Namun, seiring dengan perkembangan zaman hingga kini, kebebasan berpendapat, berserikat, dan berekspresi sepertinya dirasa mulai kebablasan.
Kemunculan berita hoax, opini bernuansa fitnah dan kebencian, minimnya literasi masyarakat dalam bermedia sosial turut mendukung cara seseorang menyampaikan pendapat melalui proses demokrasi mulai dirasa kebablasan.
Hal ini terjadi bukan tanpa sebab, keberadaan media sosial berbanding terbalik dengan kemampuan literasi digital sehingga menyebabkan media sosial dijadikan ruang publik yang sarat dengan konten negatif.Â
Selain itu, media sosial menyebabkan munculnya karakter pribadi yang baru yang dikenal dengan istilah audience generated yang memungkinkan pengguna media sosial dapat mendistribusikan konten yang dihimpun secara sendiri.Â
Gambaran tersebut merupakan kondisi kebebasan berpendapat yang terjadi di Indonesia dan mungkin bahkan di seluruh dunia.
Demokrasi yang Kebablasan pada Tatanan New Normal
Proses demokrasi memiliki dua sisi mata uang yang saling mempengaruhi. Pada satu sisi memang memberikan kebermanfaatan dalam menciptakan partisipasi publik, namun di sisi lain proses demokrasi menjadi sebuah penguat pemerintah dalam mengambil keputusan terhadap kebijakan yang akan dijalankan.Â
Demokrasi memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk menjalankan hak publiknya dan kebebasan berpendapat sangat dihargai dalam proses bedemokrasi karena konstitusi di Indonesia sudah menjamin hak setiap warga negaranya. Peniadaan terhadap kebebasan berpendapat tentunya akan menjadi sebuah negara menjadi otoriter dan cenderung represif.
Pemahaman terhadap demokratisasi pada tataran masyarakat sangat bervariasi. Terdapat pemahaman bahwa demokratisasi identik dengan proses politik berdasarkan suara terbanyak, pendapat lainnya ada yang mengartikan bahwa demokrasi merupakan perubahan ke arah perbaikan, demokratisasi sebagai keputusan dengan musyawarah mufakat, kemudian pandangan lainnya juga menyepakati bahwa demokrasi sebagai nilai-nilai kebebasan, hak bersuara dan menghargai sebuah kebebasan.Â
Tentunya pemahaman yang bervariasi dari beberapa kelompok masyarakat dimaksud adalah dampak dari adanya era reformasi di Indonesia yang memberikan perubahan bagi sistem politik dan memberikan perubahan tatanan masyarakat dalam memaknai demokratisasi dimaksud.
Polarisasi demokrasi mulai mengalami perubahan kembali semenjak terjadinya penerapan new normal pada masa pandemi Covid-19.Â
Ruang demokrasi pada tataran new normal seperti saat ini menjadikan warna berpendapat menjadi lebih lepas dari sekat-sekat karena proses demokrasi seseorang terletak pada ujung jempolnya sebagai dampak terbatasnya pertemuan masyarakat secara fisik karena kebutuhan partisipasi publik kini berpindah ke ruang digital.
Namun, akses partisipasi publik secara digital memberikan tantangan yang sangat panjang karena bentuk penyampaian pendapat setiap orang sepertinya terkesan kebablasan dengan mengatasnamakan demokrasi.Â
Keberadaan TIK menjadi perantara yang melintasi batas dalam masyarakat untuk mengakses informasi. Demokrasi seringkali diartikan bahwa setiap orang bebas melakukan apa saja.Â
Demokratisasi yang kebablasan melalui media sosial merupakan bentuk malfungsi terhadap demokratisasi yang disebut sebagai produsage konten.Â
Produsage merupakan gabungan dari kata "production" dan "usage" di mana pengguna media sosial tidak hanya berperan sebagai konsumen media namun lebih dari itu perannya saat ini sebagai penghasil konten (Bruns, 2008).Â
Banyak kasus yang sudah ditemui dalam ruang publik secara digital di mana publik melakukan distribusi informasi secara elektronik untuk melakukan pencemaran nama baik orang lain bahkan kepada pemerintah untuk memenuhi nilai kepuasan pribadi maupun bentuk ekspresi kekecewan yang kebablasan.Â
Praktik produsage dilakukan untuk penebaran kebencian dan hasutan serta menghasilkan berbagai konten negatif lainnya yang tidak didasarkan kebenaran yang sesungguhnya. Tentu hal ini mencoreng warna sebuah demokrasi yang sesungguhnya.Â
Sejalan dengan hal ini bentuk kekecewan terhadap produsage konten ini disampaikan dalam pidato Presiden Joko Widodo pada kegiatan pengukuhan pengurus DPP Hanura di Sentul Bogor (2017) bahwa pada demokrasi yang kebablasan membuka peluang artikulasi politik yang ekstrem seperti liberalisme, radikalisme, fundalisme, sekretarianisme, terorisme, serta ajaran-ajaran yang betentangan dengan ideologi Pancasila.
Persoalan demokrasi yang kebablasan ini tentunya memberikan tantangan yang dilematis bagi pemerintah kepada publik karena batasan informasi menjadi transparan.Â
Demokrasi disalahgunakan sebagai sarana untuk membangun konflik, kompleks, dan mengabaikan batasan nilai-nilai privasi akses informasi yang memang juga dibutuhkan oleh setiap masyarakatnya.Â
Publik mulai mengabaikan rasa menghargai, menghormati kerasionalan dalam menyampaikan pendapat dan aspirasi, kesantunan dalam berkomunikasi sendiri mulai ditinggalkan.
Dalam memaknai demokrasi yang mulai kebablasan, tentunya pemerintah tidak bersikap diam namun tidak juga mengambil sikap yang represif.Â
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengambil peran penting dalam menjaga stabilitas demokrasi masyarakat, menjembatani setiap bentuk eksplorasi ekspresi demokrasi sehingga publik diajak untuk tetap bertanggungjawab atas akses pemanfaatan TIK agar berfungsi sebagaimana mestinya.Â
Melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) diharapkan dapat menjaga ruang digital publik dapat tetap menjaga rasa demokrasi serta melindungi hak publik dalam menyampaikan pendapat.Â
Hal ini didukung dalam pasal 28J ayat (2) UUD 1945 mengatakan bahwa, "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap rang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis".
Pemanfaatan Media Sosial sebagai Komunikasi Pembelajaran
Diksi media sosial bagi banyak ahli memiliki banyak arti. Dalam definisi yang diungkap dalam tulisan ini adalah merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa media sosial merupakan laman atau aplikasi yang memudahkan penggunanya dalam membuat dan berbagi isu atau terlibat dalam jaringan sosial.Â
Media sosial digunakan sebagai media berbasis internet untuk mempermudah ruang publik untuk memproses transmisi informasi lebih cepat sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.
Banyak jaringan media sosial yang sudah dimanfaatkan oleh publik untuk menghasilkan, membagi, bahkan menikmati hasil informasi yang telah menjadi kepemilikan publik.Â
Semua saluran media sosial dimaksud tentunya memberikan dampak yang positif. Bila dahulu pada era sebelum tahun 2000-an, komunikasi publik masih mengandalkan kedekatan ruang fisik atau tatap muka, terbatasnya akses internet yang merata, dan pola pikir yang masih konvensional membuat transisi komunikasi masih banyak memiliki hambatan kini akses internet sudah diperluas ke seluruh lapisan masyarakat.
Penggunaan media sosial sudah sangat mudah untuk mendukung komunikasi yang tidak memungkinkan dilakukan secara face to face karena terbatasnya jarak dan ruang waktu.
Semua orang sudah dapat saling melengkapi kebutuhan informasi, saling bertukar foto, dokumen, data, dan akses informasi lainnya menjadi lebih real time. Sehingga tidaklah mengherankan jika banyak kita temui bisnis online seperti Tokopedia, Shoppee, Blibli.com, Lazada, Bukalapak, dan sebagainya sebagai sarana pertumbuhan ekonomi masyarakat dan transaksi dagang masa kini.Â
Selain itu, media sosial juga digunakan sebagai ruang politik yang paling ampuh untuk menarik simpati publik dengan menawarkan beragam program dan opini politik terutama bila menjelang Pemilu.
Di samping dampak positif di atas, sisi lain dari sebuah media sosial juga memiliki pengaruh yang negatif.Â
Media sosial sebagai sarana untuk produsage konten dan hal ini sangat membahayakan bagi stabilitas kenegaraan.Â
Bahkan media sosial juga dapat merusak akhlak generasi muda, tatanan lingkup keluarga, lingkup pergaulan sosial juga terkena imbasnya bila penggunaan media sosial ini tidak disikapi dengan kontrol yang tepat dan bijak.
Penggunaan media sosial sebagai ruang belajar diharapkan dapat menjadikan setiap orang yang mengelola konten media dapat memahami benar fungsi akses ruang publik secara digital ini perlu disikapi dengan penuh kehati-hatian jika tidak akan membawa perubahan perilaku kepada publik.Â
Karena saat ini banyak orang jatuh akibat penyalahgunaan media sosial bukan karena diakibatkan oleh pepatah lama "mulutmu adalah harimaumu", namun yang tidak kita sadari adalah media sosial menjadikan perubahan perilaku seseorang menjadi "jempolmu adalah harimau".
Pemanfaatan media sosial saat ini memang sudah menjadi sebuah keharusan dan kebutuhan.Â
Pada dunia kerja pergeseran bekerja dalam ruangan secara fisik sudah berubah ke ruang remote workplace dan WFH.Â
Hal ini pun terjadi dalam dunia pendidikan. Penggunaan media sosial dalam berbagai aspek baik dunia kerja, dunia usaha, dunia kesehatan, maupun dunia pendidikan akan sangat mempengaruhi setiap orang untuk dapat saling belajar secara digital.Â
Pola-pola perubahan ini akan menjadi sebuah kebiasaan baru untuk membangun fungsi komunikasi dalam pembelajaran yang berperan sebagai penghubung terhadap perkembangan TIK.
Peran Humas Pemerintah melalui Pengelolaan Komunikasi Krisis
Pergeseran pola komunikasi publik melalui media sosial tentunya mendorong humas pemerintah mengubah metode komunikasi yang dimilikinya utamanya saat memasuki era new normal di mana pemerintah perlu dengan cepat mengambil keputusan dalam pelayanan publik terkait dengan kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan lainnya untuk masyarakat.
Pada saat krisis seperti ini tentunya masyarakat akan mengandalkan kinerja pemeirntah. Selain itu, sejalan dengan perkembangan teknologi informasi yang cepat dan munculnya polarisasi terhadap demokratisasi yang digunakan sebagai sarana menyampaikan aspirasi, pendapat, dan opini publik.Â
Peran pemerintah melalui humas pemerintah harus bekerja pada basis TIK dengan menerapkan e-government, menyediakan informasi publik dengan tujuan pelayanan.Â
Paradigma baru humas telah mengalami perubahan yang signifikan dari reaktif ke responsive dan proaktif.Â
Humas pemerintah perlu membangun hubungan yang baik dengan media untuk memperoleh kepercayaan, saling memahami, saling menghargai, bertoleransi, dan bekerja secara kreatif secara harmonis dengan publik.
Tim humas pemerintah perlu memahami salah satu jenis komunikasi untuk menjembatani konflik akses informasi secara digital melalui komunikasi krisis.Â
Komunikasi krisis merupakan penyampaian pesan antara instansi pemerintah dan publik untuk menyamakan persepsi dalam penanganan krisis.Â
Secara umum Wasesa mengatakan bahwa komunikasi krisis adalah strategi mengkomunikasikan apa yang dikatakan, ingin dilakukan dan apa yang sudah dilakukan organisasi dalam merespon krisis.Â
Pengelolaan krisis dilakukan melalui internvensi potensi krisis, komunikasi krisis yang berkaitan erat dengan media, membentuk tim komunikasi krisis, penguasaan dalam penanganan krisis, kemampuan kepemimpinan, dan budaya organisasi.Â
Perencanaan komunikasi krisis disusun tidak hanya pada saat instansi pemerintah sudah menghadapi krisis. Namun pada saat krisis sebelum terjadi dan setelah krisis berhasil diidentifikasi.
Strategi komunikasi krisis merupakan bagian yang penting dan memiliki peran dalam membantu pemerintah untuk melakukan komunikasi yang intens kepada publik dan menyaring informasi yang dibutuhkan.Â
Keterampilan komunikasi krisis ini diperlukan sebagai pendekatan kepada seluruh pemangku kepentingan utamanya humas pemerintah untuk mengantisipasi kebutuhan informasi masyarakat, pemangku kepentingan, dan media.
Tujuan humas pemerintah ke depan harus menginformasikan, menjelaskan, memberikan saran, mempengaruhi, dan mengemas informasi  untuk memanfaatkan teknologi informasi dalam memberikan pelayaan publik yang profesional dan bertanggung jawab.
Harapan
Fenomena kehadiran media sosial memang sangat luar biasa dan mempengaruhi seluruh lini kehidupan.Â
Hal ini juga memberikan dampak juga kepada setiap masyarakat dalam belajar berdemokrasi melalui media sosial utamanya pada tatanan new normal. Dengan berbagai layanan media sosia telah mengubah caa berkomunikasi dalam masyarakat.
Demokratisasi akibat perubahan komunikasi yang tidak terkontrol membuat orang menyalahgunakan fungsi sesungguhnya demokrasi yang seharusnya.Â
Peran pemerintah melalui humas diposisikan sebagai garda depan komunikator untuk menyampaikan pesan kepada publik karena menjadi mediator yang proaktif dalam upaya menjembatani kepentingan instansi pemerintah dan menampung aspirasi atau opini publik.
Malfungsi media sosial memang tidak dapat diatasi dengan satu arah saja, namun membutuhkan kolaborasi, kerja sama, dan harmonisasi semua kepentingan dari seluruh lapisan masyarakat.Â
Setiap orang diharapkan dapat berperan untuk bisa memfilter, memilah, mempertimbangkan, dan mengutamakan kebenaran tanpa terburu-buru menyalurkan aspirasi yang kebablasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H