Demokratisasi yang kebablasan melalui media sosial merupakan bentuk malfungsi terhadap demokratisasi yang disebut sebagai produsage konten.Â
Produsage merupakan gabungan dari kata "production" dan "usage" di mana pengguna media sosial tidak hanya berperan sebagai konsumen media namun lebih dari itu perannya saat ini sebagai penghasil konten (Bruns, 2008).Â
Banyak kasus yang sudah ditemui dalam ruang publik secara digital di mana publik melakukan distribusi informasi secara elektronik untuk melakukan pencemaran nama baik orang lain bahkan kepada pemerintah untuk memenuhi nilai kepuasan pribadi maupun bentuk ekspresi kekecewan yang kebablasan.Â
Praktik produsage dilakukan untuk penebaran kebencian dan hasutan serta menghasilkan berbagai konten negatif lainnya yang tidak didasarkan kebenaran yang sesungguhnya. Tentu hal ini mencoreng warna sebuah demokrasi yang sesungguhnya.Â
Sejalan dengan hal ini bentuk kekecewan terhadap produsage konten ini disampaikan dalam pidato Presiden Joko Widodo pada kegiatan pengukuhan pengurus DPP Hanura di Sentul Bogor (2017) bahwa pada demokrasi yang kebablasan membuka peluang artikulasi politik yang ekstrem seperti liberalisme, radikalisme, fundalisme, sekretarianisme, terorisme, serta ajaran-ajaran yang betentangan dengan ideologi Pancasila.
Persoalan demokrasi yang kebablasan ini tentunya memberikan tantangan yang dilematis bagi pemerintah kepada publik karena batasan informasi menjadi transparan.Â
Demokrasi disalahgunakan sebagai sarana untuk membangun konflik, kompleks, dan mengabaikan batasan nilai-nilai privasi akses informasi yang memang juga dibutuhkan oleh setiap masyarakatnya.Â
Publik mulai mengabaikan rasa menghargai, menghormati kerasionalan dalam menyampaikan pendapat dan aspirasi, kesantunan dalam berkomunikasi sendiri mulai ditinggalkan.
Dalam memaknai demokrasi yang mulai kebablasan, tentunya pemerintah tidak bersikap diam namun tidak juga mengambil sikap yang represif.Â
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengambil peran penting dalam menjaga stabilitas demokrasi masyarakat, menjembatani setiap bentuk eksplorasi ekspresi demokrasi sehingga publik diajak untuk tetap bertanggungjawab atas akses pemanfaatan TIK agar berfungsi sebagaimana mestinya.Â
Melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) diharapkan dapat menjaga ruang digital publik dapat tetap menjaga rasa demokrasi serta melindungi hak publik dalam menyampaikan pendapat.Â