Mohon tunggu...
Sigit R
Sigit R Mohon Tunggu... Freelancer - masjid lurus, belok kiri gang kedua

Pedagang tanaman hias, menulis di waktu senggang, prefer dari teh daripada kopi, tinggal di Batam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Balada Si Tukang Janji

2 Januari 2020   16:09 Diperbarui: 2 Januari 2020   16:21 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Iwan, Budi aku minta maaf soal bola kulit. Ternyata itu punya sekolah dan ayahku sekalipun tidak boleh menggunakannya sembarangan. Aku mengaku salah telah berjanji hal yang tak bisa aku tepati,"

"Berarti nanti sore tidak jadi main sepak bola?" Iwan bertanya.

"Jadi tapi pakai bola plastik seperti biasa," ayah Indra yang menjawab.

"Kami sudah terlanjur mengajak teman-teman lain untuk main sepak bola pakai bola kulit, Pak Guru," terang Budi.

"Iya Pak Guru. Nanti jika mereka datang ke lapangan ternyata pakai bola plastik, kami dikira tukang bohong. Padahal kami hanya diminta Indra," tambah Iwan.

"Sudah begini saja. Karena ini semua bermula dari janji Indra, kita ke rumah teman-temanmu yang sudah kamu datangi tadi satu per satu. Nanti biar Indra minta maaf dan menjelaskannya,"

Indra kian tertekan karena harus datang, mengaku salah dan minta maaf ke tiap orang yang termakan janjinnya. Harga dirinya terkoyak. Namun Indra tak bisa lagi mencari alasan. Ayah dan ibunya yang selalu diandalkan selama ini, tak lagi berpihak. Ia sangat malu mengaku jika harus mengaku ia telah salah. Tapi andai tak dilakukannya, esok hari tak akan ada lagi yang percaya padanya.

Membulatkan tekad, membuang rasa gengsi dan malu, Indra menuruti kata ayahnya. Sepeda motor ditinggal di rumah Budi. Mereka berempat lalu berjalan kaki mengetuk pintu rumah yang sebelumnya didatangi Budi dan Iwan satu persatu.

Pada mulanya, ayah Indra lah yang mengawali pembicaraan dan meminta anaknya minta maaf. Namun lambat laun, Indra berani menegakkan kepala mengakui kesalahannya. "Maafkan aku karena telah berjanji yang tak bisa kutepati. Aku tahu aku tak bisa menepatinya. Itu hanya membual saja agar kalian makin suka bermain bersamaku," kata Indra di rumah terakhir yang harus didatanginya.

Perubahan sikap Indra tak luput dari perhatian ayahnya. Sang ayah merasa bangga karena anaknya berani mengakui kesalahan dan meminta maaf. Meski awalnya berat mengetuk satu per satu pintu rumah, tapi pada akhirnya Indra menyadari kesalahannya.

"Ayah bangga dengan kamu, Nak. Kamu berani mendatangi satu per satu teman-teman yang sudah termakan janjimu. Kamu secara terbuka mengakui kesalahan lalu meminta maaf dengan tulus. Ayah dan orang dewasa lainnya sekalipun, belum tentu bisa melakukan hal yang sama. Kamu luar biasa. Ayah bangga," ungkap ayahnya dalam perjalanan menuju rumah Budi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun