"Biarkan Indra belajar mengakui kesalahannya. Tidak semua permintaannya juga kita turuti saat itu juga. Dia harus berusaha mendapatkan apa yang diinginkannya. Dia laki-laki yang akan jadi pemimpin, minimal di keluarganya kelak."
"Sudah terlanjur berjanji, Indra harus berusaha maksimal untuk menepatinya. Ia sudah berusaha minta pada kita untuk menepati janjinya pada teman-temannya. Namun kita tak bisa mengabulkannya saat ini. Oleh karena itu, Indra harus mengakui jika itu salah dan meminta maaf. Jika kita menuruti segala yang diinginkannya saat itu juga, Indra akan jadi anak manja dan gampang tebar janji ke sana kemari. Ini baru hal kecil yang dijanjikannya. Bisa saja jika kita menurutinya, besok dia akan menjanjikan hal di mana kita saja tidak bisa melakukannya," ucap ayahnya lugas.
Indra pun tak bisa berbuat apa-apa. Ia masuk ke kamar sembari menangis. Ia langsung menutup pintu dan menangis sejadi-jadinya. Meskipun demikian, Indra masih punya rasa malu ke orangtuanya. Agar tangisannya tak terdengar, ia tengkurap dan menutupi mulutnya dengan bantal. Indra terus menangis hingga kelelahan dan tak terasa ia pun tertidur.
Sedangkan di tempat lain, Iwan dan Budi berpencar mendatangi satu per satu rumah teman-temannya. Kedua mengatakan jika Indra mengajak main sepak bola sore nanti. Ajakan Iwan dan Budi disambut antusias. Selama ini, anak-anak di kampung itu selalu menggunakan bola plastik saat sepak bola. Mereka bisa menggunakan bola bagus hanya saat pelajaran olahraga. Itupun tidak tiap minggu.
Matahari pancaroba kian menyengat. Indra pun belum terjaga hingga sang ibu membangunkannya untuk makan siang. Namun Indra enggan beranjak dari tempat tidurnya. Ia kembali merengek minta sang ibu mau meminjamkan bola milik sekolah atau membelikannya saat itu juga.
"Indra malu, Bu. Sudah berjanji pada teman-teman semua," ucap Indra namun lagi-lagi sang ibu bersikukuh.
Indra pun menangis. Kali ini, tangisannya tak lagi ditutupi hingga suaranya terdengar hingga ruang tamu di mana sang ayah saat itu tengah membaca buku. Bergegas, kepala sekolah yang dikenal bijaksana itu pun mendatangi anaknya. Dalam hatinya sempat terbersit untuk mengambilkan bola di sekolah karena tak tega mendengar tangisan anaknya. Namun, ia langsung sadar jika itu bukan miliknya.
Terbersit juga keinginan membelikan bola ke kota. Tapi lagi-lagi, ia tersadar jika keinginan anaknya selalu dituruti, justru akan berdampak yang jauh lebih buruk dibandingkan Indra sekadar bertengkar sesaat dengan teman bermainnya. Ia ingin anaknya jadi pemimpin yang bertanggungjawab suatu saat nanti. Dan pendidikan karakter harus ditanamkan kuat sejak Indra masih bocah.
"Inilah saat yang tepat," batin sang ayah.
"Indra, kamu makan dulu. Nanti ayah mau ajak kamu,"
Mata Indra langsung berbinar. Tangisannya tak lagi tedengar.