Mohon tunggu...
Sigit R
Sigit R Mohon Tunggu... Freelancer - masjid lurus, belok kiri gang kedua

Pedagang tanaman hias, menulis di waktu senggang, prefer dari teh daripada kopi, tinggal di Batam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Balada Si Tukang Janji

2 Januari 2020   16:09 Diperbarui: 2 Januari 2020   16:21 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Benarkah? Ayah mau ke sekolah ambil bola atau beli ke kota?"

"Sudah nanti pokoknya ayah mau ajak kamu. Sekarang cuci muka lalu makan,"

Indra pun bergegas ke kamar main mencuci mukanya. Ia pun langsung makan dengan lahapnya. Ia membayangkan betapa bangganya saat membawa bola kulit ke lapangan sore nanti. Seusai makan, Indra lalu menemui ayahnya di ruang tamu yang rupanya telah ganti baju bersiap pergi.

"Sudah ayah. Ayo kita pergi. Indra juga sudah pamit sama ibu,"

Berboncengan sepeda motor, ayah dan anak itu pergi. Namun Indra merasa aneh. Rute yang dilakuinya bukan menuju sekolah ataupun kota. Justru sebaliknya. Ayahnya mengendarai sepeda motor menuju perkampungan. Sang ayah lalu menghentikan sepeda motornya di depan rumah Budi.

"Untuk apa ke rumah Budi, Ayah?"

"Agar kamu minta maaf," jawab ayahnya singkat sembari mengetuk pintu rumah Budi.
Seperti disambar petir, Indra tak bisa mengelak. Wajahnya memucat. Ia berusaha menahan tangisnya yang ketiga di hari itu.

Ternyata, Budi di rumah bersama Iwan. Mereka baru saja selesai menyampaikan perihal undangan Indra bermain bola di lapangan sore nanti. Sedangan bapak dan emak Budi masih berjualan di pasar.

"Ada apa Pak Guru?"

"Indra, kamu sekarang mengaku salah dan minta maaf pada Budi serta Iwan karena sudah berjanji di luar kemampuanmu,"

Indra hanya bisa terdiam. Ia menundukkan kepalanya. Sesekali matanya menatap ke atas. Saat matanya bertemu dengan tatapan sang ayah, ia jadi ngeri. Ayahnya benar-benar marah atas diamnya. Ia pun mengatakan apa yang diminta ayahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun