Mohon tunggu...
Sigit R
Sigit R Mohon Tunggu... Freelancer - masjid lurus, belok kiri gang kedua

Pedagang tanaman hias, menulis di waktu senggang, prefer dari teh daripada kopi, tinggal di Batam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Balada Si Tukang Janji

2 Januari 2020   16:09 Diperbarui: 2 Januari 2020   16:21 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.insieme.com

Sekumpulan bocah tengah bermain di tanah lapang. Minggu pagi itu, tanang lapang tersebut cukup  ramai. Mereka tampak duduk santai setelah lelah berlarian. Ada Budi, Rendi, Iwan, Indra, dan Ali. Kelimanya sebaya, sama-sama baru menginjak usia belasan dan menuntut ilmu di sekolah yang sama. Tak ayal, mereka berlima hampir selalu menghabiskan waktu bersamaan.

Meski selalu bersama, namun karakter mereka tidaklah sama. Rendi merupakan anak pendiam cenderung pemalu. Namun ia yang paling cerdas di antara teman-temannya. Sedangkan Indra merupakan anak orang terkaya di kampung itu. Ayahnya kepala sekolah dan ibunya kepala TU di sekolah yang sama. Ia pun paling jahil. Meski demikian, ia  sangat royal pada teman-temannya. Tak jarang Indra berbagi jajanan di sekolah pada empat karibnya itu.

Sementara Iwan punya karakter pandai bergaul. Ia gampang akrab dengan siapa saja. Meski badannya paling kecil di antara sahabat-sahabatanya, Iwan tidak pernah dipinggirkan ataupun dijahili. Sedangkan Ali, walaupun masih anak-anak, ia yang berpikiran paling dewasa. Ali selalu jadi penengah saat teman-temannya bertengkar hingga akhirnya kembali rukun dan bermain bersama lagi.

Budi lain lagi. Ia polos dan lugu bahkan bisa dikategorikan gampang tertipu. Acap kali, teman-temannya memanfaatkan keluguannya. Bahkan belum lama ini, Budi percaya saja saat Indra mengatakan jika liburan mendatang akan membawa bola milik sekolah agar mereka bisa bermain sepak bola di lapangan tanpa harus menunggu jam olahraga ataupun istirahat sekolah.

Pagi itu, Budi tiba-tiba ingat janji Indra. "Indra, kamu jadi bawa bola sepak sekolah saat liburan? Bola milik sekolah itu yang paling bagus. Pasti menyenangkan jika kita bisa tiap hari main di sini pakai bola itu," tanya Budi.

"Jadi dong. Aku tinggal ngomong ke ayah dan ibu agar mau meminjamkannya. Pasti diizinkan, kan ayahku kepala sekolah sedangkan ibuku kepala TU," sahut Indra.

"Wah, asyik kita bisa main bola tiap hari saat liburan. Kamu memang hebat, Indra," ucap Iwan memuji.

"Kenapa kamu tidak beli saja Indra? Nanti kalau bola sekolah rusak bagaimana? Itu kan bola mahal?" timpal Rendi.

"Justru karena mahal, aku tidak akan dibelikan. Itu bola yang dipakai Timnas," Indra membual.

"Tenang saja, setelah pulang aku akan bilang ke ayah dan ibu. Nanti sore kita sudah bisa main bola. Kita ajak teman-teman sekelas lainnya agar lebih seru," janji Indra ke teman-temannya.

"Kamu bilang dulu minta izin ke orangtuamu. Baru kami ajak teman-teman lain. Jangan-jangan tidak diizinkan, kasihan mereka nanti," pinta Ali yang diiyakan Rendi.

Namun Indra terlanjur percaya diri. Ia tidak mendengar nasihat Ali. Bocah itu tetap minta agar Iwan dan Budi mengajak teman-teman lainnya untuk bermain bola sore nanti. Namun tidak dengan Rendi dan Ali. Mereka tetap tidak mau mengajak teman-teman lainnya. Keduanya mengatakan, kalau sudah ada bola, akan mudah mengundang anak-anak lainnya agar mereka bisa bermain bola dalam dua tim.

"Ya sudah kalau kalian berdua tidak percaya. Nanti sore akan kubuktikan bisa bawa bola milik sekolah ke sini. Selama ini kalau aku minta selalu dikasih," ucap Indra percaya diri.

"Betul. Tapi kan yang kamu minta itu biasanya dibelikan. Sedangkan bola itu milik sekolah dan ada cap sekolah," tambah Rendi.

"Sudahlah Ren, percaya saja. Indra pasti bisa bawa bola yang ada cap sekolah itu. Dia tinggal ngomong ke orangtuanya. Iya kan Indra?" tanya Budi.

"Iya, betul kamu Budi. Pokoknya nanti sore aku bawa bola yang ada cap sekolahnya," yakin Indra ke teman-temannya.

Tidak ada kata sepakat antara mereka. Iwan dan Budi percaya jika Indra bisa meminjam bola milik sekolah sedangkan Rendi dan Ali meragukannya. Hingga akhirnya, mereka membubarkan diri karena matahari terus beranjak.

Sebelum pulang ke rumah, Budi dan Iwan pun mengabarkan pada teman-teman lainnya jika sore nanti Indra mengajak bermain sepak bola pakai bola milik sekolah. Ajakan Iwan dan Budi itupun langsung diiyakan. Anak-anak tersebut sangat suka bermain sepak bola, apalagi jika menggunakan bola milik sekolah yang terbuat dari kulit murni. Bukan dari bahan plastik tipis seperti yang biasa mereka tendang tiap hari. Sebaliknya Ali dan Rendi langsung pulang karena khawatir Indra tak bisa menepati janjinya.

Pun halnya dengan Indra. Ia langsung pulang. Sesampainya di rumah, ia langsung menemui ayahnya yang saat itu tengah mencuci sepeda motor dinasnya. Mengambil hati ayahnya, Indra lalu membantu mencuci motor. Apa yang dilakukan Indra itu pun memancing kecurigaan sang ayah.

"Tumben kamu bantuin ayah tanpa diperintah? Pasti ada maunya," tanya ayahnya.

"Iya ayah. Indra hari ini akan siap bekerja membantu pekerjaan ayah dan ibu di rumah. Tapi nanti Indra mau minta sesuatu," jawab Indra yang pada dasarnya juga pandai mengambil hati orang lain.

"Kamu itu. selalu minta imbalan atas segala yang kamu kerjakan. Itu tidak baik. Kita harus tulus mengerjakan sesuatu atau membantu orang lain. Nanti kita akan dapat balasan yang setimpal tanpa perlu memintanya," ucap sang ayah menasihati.

"Memang kamu mau minta apa?" korek ayah Indra.

Sembari mengelap sepeda motor menggunakan kanebo, Indra pun mengutarakan keinginannya untuk meminjam bola milik sekolah agar ia dan dan teman-temannya bisa bermain sepak bola. Namun jawaban ayahnya tak seperti yang diharapkan Indra.

"Tidak bisa. Itu barang milik sekolah. Untuk meminjamkannya harus ada prosedur yang ditaati," tegas ayahnya.
Namun Indra tidak menyerah. Ia masuk ke dalam rumah mencari ibunya. Indra berharap, agar sang ibu mau membantu merayu ayahnya untuk meloloskan keinginannya. Namun jawaban ibunya serupa.

"Besok saja jika nilai raportmu bagus, ibu akan belikan bola dari kulit sehingga kamu bisa main sepak bola saat liburan. Bola milik sekolah itu bukan punya ayah dan ibu," jelas ibunya.

Indra pun tak kehilangan akal. Ia lalu mengatakan jika sudah terlanjur berjanji pada Iwan, Rendi, Budi dan Ali. Bahkan, ia sudah minta Budi dan Iwan mengumpulkan teman-teman lainnya untuk bermain sepak bola sore nanti. Jika ia tak bisa menepati janjinya, teman-temannya tentu akan marah dan ia tidak akan punya teman lagi.

"Belikan sekarang saja, Bu. Tidak perlu menunggu liburan. Indra yakin kok nilainya akan bagus. Belikan ya, Bu. Ibu bilang ke ayah agar segera pergi ke kota beli bola dari kulit," rengek Indra.

Namun jawaban dari sang ibu tak berubah. Indra akan dibelikan bola kulit jika nilainya bagus. Sang ibu lalu menyarankan Indra untuk bermain menggunakan bola plastik seperti biasanya. Toh, kata sang ibu, sama saja. Yang penting adalah semangatnya bermain sepak bola.

"Makanya jangan gampang berjanji jika kamu tidak yakin mampu mewujudkannya, Indra. Janji itu adalah utang yang harus ditepati. Sedangkan sekarang ini kamu berjanji di luar kemampuan kamu. Itu sama saja kamu sedang berjalan menuju kebohongan," sang ibu memberi pengertian berbarengan dengan sang ayah masuk ke rumah.

Indra sudah terlanjur berjanji. Sedangkan orangtuanya bersikukuh tak bisa memenuhi permintaan anaknya meminjamkan bola milik sekolah. Keduanya pun meminta Indra datang menemui teman-temannya untuk minta maaf karena tak bisa menepati janji.

"Kamu itu laki-laki. Kamu harus berani mengakui kesalahan yang sudah kamu lakukan. Sekarang, ayo temui teman-temanmu dan katakan kalau kamu salah," kata ayahnya.

Indra pun diam seribu bahasa. Matanya memerah, bibirnya bergetar dan suara isak tangis mulai terdengar. Sang ibu sempat hendak luluh. Namun seolah tahu, ayah Indra mengatakan:

"Biarkan Indra belajar mengakui kesalahannya. Tidak semua permintaannya juga kita turuti saat itu juga. Dia harus berusaha mendapatkan apa yang diinginkannya. Dia laki-laki yang akan jadi pemimpin, minimal di keluarganya kelak."

"Sudah terlanjur berjanji, Indra harus berusaha maksimal untuk menepatinya. Ia sudah berusaha minta pada kita untuk menepati janjinya pada teman-temannya. Namun kita tak bisa mengabulkannya saat ini. Oleh karena itu, Indra harus mengakui jika itu salah dan meminta maaf. Jika kita menuruti segala yang diinginkannya saat itu juga, Indra akan jadi anak manja dan gampang tebar janji ke sana kemari. Ini baru hal kecil yang dijanjikannya. Bisa saja jika kita menurutinya, besok dia akan menjanjikan hal di mana kita saja tidak bisa melakukannya," ucap ayahnya lugas.

Indra pun tak bisa berbuat apa-apa. Ia masuk ke kamar sembari menangis. Ia langsung menutup pintu dan menangis sejadi-jadinya. Meskipun demikian, Indra masih punya rasa malu ke orangtuanya. Agar tangisannya tak terdengar, ia tengkurap dan menutupi mulutnya dengan bantal. Indra terus menangis hingga kelelahan dan tak terasa ia pun tertidur.

Sedangkan di tempat lain, Iwan dan Budi berpencar mendatangi satu per satu rumah teman-temannya. Kedua mengatakan jika Indra mengajak main sepak bola sore nanti. Ajakan Iwan dan Budi disambut antusias. Selama ini, anak-anak di kampung itu selalu menggunakan bola plastik saat sepak bola. Mereka bisa menggunakan bola bagus hanya saat pelajaran olahraga. Itupun tidak tiap minggu.

Matahari pancaroba kian menyengat. Indra pun belum terjaga hingga sang ibu membangunkannya untuk makan siang. Namun Indra enggan beranjak dari tempat tidurnya. Ia kembali merengek minta sang ibu mau meminjamkan bola milik sekolah atau membelikannya saat itu juga.

"Indra malu, Bu. Sudah berjanji pada teman-teman semua," ucap Indra namun lagi-lagi sang ibu bersikukuh.

Indra pun menangis. Kali ini, tangisannya tak lagi ditutupi hingga suaranya terdengar hingga ruang tamu di mana sang ayah saat itu tengah membaca buku. Bergegas, kepala sekolah yang dikenal bijaksana itu pun mendatangi anaknya. Dalam hatinya sempat terbersit untuk mengambilkan bola di sekolah karena tak tega mendengar tangisan anaknya. Namun, ia langsung sadar jika itu bukan miliknya.

Terbersit juga keinginan membelikan bola ke kota. Tapi lagi-lagi, ia tersadar jika keinginan anaknya selalu dituruti, justru akan berdampak yang jauh lebih buruk dibandingkan Indra sekadar bertengkar sesaat dengan teman bermainnya. Ia ingin anaknya jadi pemimpin yang bertanggungjawab suatu saat nanti. Dan pendidikan karakter harus ditanamkan kuat sejak Indra masih bocah.

"Inilah saat yang tepat," batin sang ayah.

"Indra, kamu makan dulu. Nanti ayah mau ajak kamu,"

Mata Indra langsung berbinar. Tangisannya tak lagi tedengar.

"Benarkah? Ayah mau ke sekolah ambil bola atau beli ke kota?"

"Sudah nanti pokoknya ayah mau ajak kamu. Sekarang cuci muka lalu makan,"

Indra pun bergegas ke kamar main mencuci mukanya. Ia pun langsung makan dengan lahapnya. Ia membayangkan betapa bangganya saat membawa bola kulit ke lapangan sore nanti. Seusai makan, Indra lalu menemui ayahnya di ruang tamu yang rupanya telah ganti baju bersiap pergi.

"Sudah ayah. Ayo kita pergi. Indra juga sudah pamit sama ibu,"

Berboncengan sepeda motor, ayah dan anak itu pergi. Namun Indra merasa aneh. Rute yang dilakuinya bukan menuju sekolah ataupun kota. Justru sebaliknya. Ayahnya mengendarai sepeda motor menuju perkampungan. Sang ayah lalu menghentikan sepeda motornya di depan rumah Budi.

"Untuk apa ke rumah Budi, Ayah?"

"Agar kamu minta maaf," jawab ayahnya singkat sembari mengetuk pintu rumah Budi.
Seperti disambar petir, Indra tak bisa mengelak. Wajahnya memucat. Ia berusaha menahan tangisnya yang ketiga di hari itu.

Ternyata, Budi di rumah bersama Iwan. Mereka baru saja selesai menyampaikan perihal undangan Indra bermain bola di lapangan sore nanti. Sedangan bapak dan emak Budi masih berjualan di pasar.

"Ada apa Pak Guru?"

"Indra, kamu sekarang mengaku salah dan minta maaf pada Budi serta Iwan karena sudah berjanji di luar kemampuanmu,"

Indra hanya bisa terdiam. Ia menundukkan kepalanya. Sesekali matanya menatap ke atas. Saat matanya bertemu dengan tatapan sang ayah, ia jadi ngeri. Ayahnya benar-benar marah atas diamnya. Ia pun mengatakan apa yang diminta ayahnya.

"Iwan, Budi aku minta maaf soal bola kulit. Ternyata itu punya sekolah dan ayahku sekalipun tidak boleh menggunakannya sembarangan. Aku mengaku salah telah berjanji hal yang tak bisa aku tepati,"

"Berarti nanti sore tidak jadi main sepak bola?" Iwan bertanya.

"Jadi tapi pakai bola plastik seperti biasa," ayah Indra yang menjawab.

"Kami sudah terlanjur mengajak teman-teman lain untuk main sepak bola pakai bola kulit, Pak Guru," terang Budi.

"Iya Pak Guru. Nanti jika mereka datang ke lapangan ternyata pakai bola plastik, kami dikira tukang bohong. Padahal kami hanya diminta Indra," tambah Iwan.

"Sudah begini saja. Karena ini semua bermula dari janji Indra, kita ke rumah teman-temanmu yang sudah kamu datangi tadi satu per satu. Nanti biar Indra minta maaf dan menjelaskannya,"

Indra kian tertekan karena harus datang, mengaku salah dan minta maaf ke tiap orang yang termakan janjinnya. Harga dirinya terkoyak. Namun Indra tak bisa lagi mencari alasan. Ayah dan ibunya yang selalu diandalkan selama ini, tak lagi berpihak. Ia sangat malu mengaku jika harus mengaku ia telah salah. Tapi andai tak dilakukannya, esok hari tak akan ada lagi yang percaya padanya.

Membulatkan tekad, membuang rasa gengsi dan malu, Indra menuruti kata ayahnya. Sepeda motor ditinggal di rumah Budi. Mereka berempat lalu berjalan kaki mengetuk pintu rumah yang sebelumnya didatangi Budi dan Iwan satu persatu.

Pada mulanya, ayah Indra lah yang mengawali pembicaraan dan meminta anaknya minta maaf. Namun lambat laun, Indra berani menegakkan kepala mengakui kesalahannya. "Maafkan aku karena telah berjanji yang tak bisa kutepati. Aku tahu aku tak bisa menepatinya. Itu hanya membual saja agar kalian makin suka bermain bersamaku," kata Indra di rumah terakhir yang harus didatanginya.

Perubahan sikap Indra tak luput dari perhatian ayahnya. Sang ayah merasa bangga karena anaknya berani mengakui kesalahan dan meminta maaf. Meski awalnya berat mengetuk satu per satu pintu rumah, tapi pada akhirnya Indra menyadari kesalahannya.

"Ayah bangga dengan kamu, Nak. Kamu berani mendatangi satu per satu teman-teman yang sudah termakan janjimu. Kamu secara terbuka mengakui kesalahan lalu meminta maaf dengan tulus. Ayah dan orang dewasa lainnya sekalipun, belum tentu bisa melakukan hal yang sama. Kamu luar biasa. Ayah bangga," ungkap ayahnya dalam perjalanan menuju rumah Budi.

Sesampainya di rumah Budi, Indra dan ayahnya pun bergegas pergi mengendarai sepeda motor. Tapi saat melintasi depan rumahnya, sang ayah tak membelokkan setang motornya. Ia mengarahkan motornya ke kota. Kebanggaan sang ayah pada sikap Indra membuatnya luluh. Mereka lalu pergi ke kota untuk membeli bola kulit seperti yang dijanjikan Indra pada teman-temannya. Bukan karena ingin membantu Indra menepati janjinya, tapi lebih karena keberanian Indra mengakui kesalahannya.

"Saat aku berbuat salah, belum tentu bisa seperti anakku. Mengetuk satu per satu pintu rumah, mengaku salah dan minta maaf. Ya Tuhan, lindungilah hamba-Mu ini agar terhindar dari kebohongan. Jagalah dan jauhkanlah mulut hamba dari janji yang tak bisa hamba tepati," ucap doanya dalam hati sembari melihat anak kesayangannya ceria saat memilih bola kulit yang telah dijanjikannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun